close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Carstensz Pyramid tahun 1936./Foto MONGO/commons.wikimedia.org
icon caption
Carstensz Pyramid tahun 1936./Foto MONGO/commons.wikimedia.org
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 05 Maret 2025 06:35

Jan Carstenszoon: Penjelajah Belanda yang namanya abadi di Puncak Jaya

Nama Piramida Carstenszoon diambil dari nama penjelajah Belanda.
swipe

Dua orang pendaki berusia 60 tahun, yakni Lilie Wijayanti Poegiono dan Elsa Laksono meninggal dunia akibat acute mountain sickness (AMS) dalam perjalanan turun dari Piramida Carstensz di Mimika, Papua Tengah, Jumat (28/2). Peristiwa itu menjadi sorotan lantaran dalam rombongan tersebut ada penyanyi Fiersa Besari yang turut.

Piramida Carstensz berada di Pegunungan Sudirman. Selain Piramida Carstensz, di pegunungan ini terdapat tiga puncak lagi, yakni Carstensz Timur, Sumantri, dan Ngga Pulu. Di antara puncak-puncak itu, Piramida Carstensz yang paling tinggi, 4.884 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Piramida Carstensz atau Puncak Jaya merupakan gunung tertinggi di Indonesia, Australia, dan Oseania. Kelima tertinggi di Asia Tenggara. Piramida Carstensz menjadi salah satu dari World Seven Summits atau puncak tertinggi di dunia. Puncak-puncak tertinggi ini mewakili setiap benua.

Britannica mencatat, World Seven Summits terdiri dari Kilimanjaro di Afrika, Gunung Elbrus di Eropa, Denali di Amerika Utara, Gunung Aconcagua di Amerika Selatan, Evereset di Asia, Vinson Massif di Antartika, Kosciuszko di Australia, dan Puncak Jaya di Oseania.

Daya tarik Piramida Carstensz adalah keberadaan salju abadinya. Penjelajah Belanda, Jan Carstenszoon merupakan orang yang pertama mengabarkan kepada dunia kalau ada gletser alias gunung salju di garis lintas khatulistiwa.

Penjelajahan Carstenszoon merupakan lanjutan dari misi Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang menjadi ekspedisi eksploitasi dagang dan militer. Penjelajahannya bersifat geopolitik.

Menurut Barbara A. West dan Francis T. Murphy dalam buku A Brief History of Australia (2021), perang 80 tahun antara Belanda melawan Spanyol dan Portugal membuat Belanda kehilangan akses ke rempah-rempah yang dijual di pasar Lisbon.

Jawaban atas masalah ini adalah mencari jalur menuju kepulauan rempah, yang menghasilkan misi pada 1595 melewati Tanjung Harapan dan wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Salah satu kapal dalam misi pertama pada 1595 adalah Duyfken atau Merpati Kecil. Pada 1606, kapal ini mencatat sejarah sebagai kapal Eropa pertama yang terdokumentasi singgah di benua Australia di bawah pelaut Willem Janszoon.

“Misinya, ketika dia (Janszoon) berlayar di bawah bendera VOC dari Banten adalah mencari tahu apakah kekayaan besar berupa emas benar-benar dapat ditemukan di Nugini, seperti yang sering dirumorkan,” tulis West dan Murphy.

“Selain emas, dia juga mungkin mencari komoditas lain yang dapat dijual, mulai dari rempah-rempah hingga bulu hewan.”

Benua Australia oleh para pelaut VOC ini disebut New Holland. Mereka lalu memetakan sebagian besar garis pantainya seluas 11.713 mil atau 52,5% dari benua tersebut, mulai dari Nuyts Archipelago di Great Australian Bight di bagian selatan, sepanjang pantai barat dan utara, hingga ke bagian barat Cape York.

Donald F. Lach dan Edwin J. Van Kley dalam Asia in the Making of Europe, Volume III A Century of Advance (1993) menulis, setelah itu banyak kapal Belanda melihat pantai Australia dalam perjalanan mereka ke Batavia.

“Rute baru ini menjadi wajib bagi kapal-kapal VOC pada 1617,” tulis Lach dan Van Kley.

Namun, pantai yang dilintasi itu berbahaya. Maka, para pejabat VOC di Batavia dengan hati-hati memetakan semua hal. Pada masa itu mulai menampilkan bagian pantai Australia yang cukup panjang.

Tahun 1622, sebuah kapal Inggris bernama Tryall karam di sepanjang pantai tersebut. Di tahun berikutnya, sebuah kapal Belanda nyaris mengalami nasib serupa. Atas dasar itu, para pejabat VOC terpantik untuk mengirim kapal guna memetakan dengan cermat pantai tersebut, serta pulau-pulau dan terumbu karang di sekitarnya.

Lach dan Van Kley menulis, setelah beberapa kali ditunda, akhirnya pada awal 1623 Gubernur VOC di Ambon, Herman van Speult, mengirim dua kapal kecil, yakni Pera dan Arnhem di bawah pimpinan Jan Carstenszoon untuk menjelajahi lebih jauh pantai selatan Nugini.

Dalam situs Project Gutenberg Australia disebutkan, pada 11 Februari 1623 Carstenszoon berlabuh di pantai Nugini. Di sini, nakhoda kapal Arnhem dan 10 orang lainnya tewas dalam konflik dengan penduduk lokal.

Lalu, menurut Lach dan Van Kley, dia berlayar mencapai Selat Torres, yang dianggap sebagai sebuah teluk dangkal. Dari sana, dia berlayar ke selatan, mencapai Semenanjung Cape York, yang dia pikir masih merupakan bagian dari Nugini. Dia berlayar sepanjang pantai barat semenanjung itu, beberapa kali mendarat dan bertemu dengan penduduk setempat.

“Carstensz hampir saja menemukan jalur antara Cape York dan Nugini, tetapi angin yang berembus tidak bersahabat dan dia memutuskan untuk kembali,” tulis Project Gutenberg Australia.

West dan Murphy menulis, Carstenszoon menawarkan insentif keuangan kepada krunya untuk menangkap penduduk Aborigin. Sebagian dari mereka dibawa ke markas VOC di Batavia dan Ambon. Lach dan Van Kley menyebut, penduduk asli itu sulit ditangkap. Orang Belanda harus memancing mereka dengan potongan-potongan karang berwarna-warni.

Ada banyak bahasa yang digunakan. Dua orang yang ditangkap dari tempat yang hanya berjarak sekitar 25 mil tidak saling memahami. Keduanya, sebut Lach dan Van Kley, berkulit hitam dengan rambut keriting hitam. Salah satunya berjanggut panjang.

“Mereka tampak belum pernah melihat besi dan sangat penasaran dengannya. Salah satu tawanan mampu membuat topi dari kain, benang, dan sebatang kayu kecil,” tulis Lach dan Van Kley.

”Mereka membuat kano yang indah dari batang kayu utuh dengan cara membakar kayu yang tidak diperlukan.”

Dalam perjalanan pulang, kapal Pera dan Arnhem terpisah. Arnhem menjelajah sepanjang pantai barat Teluk Carpentaria. Sedangkan kapal Pera kembali ke sepanjang pantai Nugini. Kemungkinan Carstenszoon menjelajah Nugini.

Dia lantas melihat sebuah gunung dengan puncak bersalju di tengah belantara khatulistiwa. Namun, penemuan gunung dengan gletser dan salju itu tak ditanggapi serius masyarakat Eropa saat itu.

“Reaksi pertama yang diterima Jan saat menyampaikan tentang salju yang berkilau di garis khatulistiwa adalah ditertawakan,” tulis Anton Sujarwo dalam Mahkota Himalaya: Kecamuk Kompetisi Para Legenda dalam Perebutan 14 Puncak Gunung Tersulit di Dunia (2018).

“Penglihatan Carstenszoon dianggap sebagai sebuah lelucon. Es dan salju di tengah lebat dan liarnya hutan Papua adalah sebuah kemustahilan, menurut pemahaman ilmiah zaman itu.”

Pada 8 Juni 1623, sebut Project Gutenberg Australia, Carstenszoon kembali ke Ambon. Kemudian kiprahnya menghilang. Bahkan, kamus biografi Belanda tidak mencantumkan tahun kelahiran dan kematiannya.

Lantaran hanya dianggap bualan, keberadaan Puncak Jaya tak terverifikasi hingga dua abad. Baru pada 1909 seorang penjelajah Belanda bernama Hendrik Albert Lorentz mendaki gunung yang akhirnya bernama Piramida Carstensz itu.

Dia mendaki bersama enam orang pembawa barang sekaligus pemandu dari Suku Dayak Kenyah yang direkrut di Apo Kayan di pedalaman Kalimantan. Keberadaan gunung bersalju abadi itu pun terverifikasi.

Anton menulis, perekrutan enam orang Suku Dayak Kenyah itu menarik dalam sejarah pendakian masa silam. Lorentz cukup cerdik memanfaatkan mereka untuk menaklukan alam liar yang mengelilingi gunung tersebut.

“Orang-orang Dayak Kenyah telah memiliki reputasi yang tinggi, terutama di mata para penjelajah Eropa kalai itu sebagai orang-orang yang mampu dan punya kompetensi ekstra untuk bertahan, serta menemukan jalur terbaik dalam melintasi alam liar,” tulis Anton.

Kemudian, 10 tahun setelah ekspedisi tersebut, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Lorentz National Park, sebuah suaka alam untuk memproteksi areal gunung—yang dinamakan Carstensz Pyramid.

Piramida Carstensz diganti namanya menjadi Puncak Jayawijaya setelah Papua kembali menjadi bagian dari Indonesia. Tahun 1963, sempat dikenal sebagai Puncak Soekarno. Walau begitu, Piramida Carstenz masih dipakai di kalangan pendaki.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan