Jane Goodall mengubah cara pandang orang terhadap simpanse
Tahun 1957, perempuan muda berusia 23 tahun asal Inggris bekerja di pertanian seorang kawannya di White Highlands, Kenya—yang ketika itu masih menjadi koloni Inggris. Kecintaannya pada hewan membuatkan rajin mempelajarinya sendiri dan bercita-cita bisa meneliti satwa secara langsung.
Lewat sambungan telepon, dia menghubungi seorang paleoantropolog, Louis Leakey, yang menemukan fosil manusia purba dan kera di Afrika. Perempuan itu membuat Leakey terkesan. Hingga akhirnya, Leakey mendorongnya untuk melakukan ekspedisi ke Tanzania guna mempelajari simpanse.
Perempuan itu adalah Dame Valerie Jane Morris Goodall. Populer dengan nama Jane Goodall. Dunia mengenalnya sebagai seorang primatolog dan antropolog asal Inggris. Dia dianggap sebagai pelopor dalam etologi primata, dikenal luas selama enam dekade melakukan penelitian lapangan tentang kehidupan simpanse liar di Taman Nasional Gombe Stream di Tanzania.
Goodall memulai penelitian pertamanya di Gombe Stream, Tanzania, pada 1960. Seiring waktu, simpanse di Gombe mulai terbiasa dengan kehadiran Goodall. Situasi ini memungkinkannya mengenali masing-masing individu dan menyaksikan perilaku yang mengejutkan.
Suatu hari, dia melihat seekor simpanse jantan, yang diberi nama David Greybeard, mematahkan sebatang rumput dan memasukkannya ke dalam sarang rayap untuk menangkap serangga. Tak lama kemudian, simpanse lain menirukan hal yang sama.
Leakey, yang menjadi mentor Goodall, terkejut setelah Goodall melaporkan temuannya. Menurutnya, selama ini membuat alat dianggap sebagai ciri khas manusia. Sesuatu yang mustahil dilakukan oleh kera.
“Sekarang kita harus mendefinisikan ulang ‘alat’, mendefinisikan ulang ‘manusia’, atau menerima simpanse sebagai manusia,” kata Leakey ketika itu, dikutip dari New York Times.
Bukan cuma itu. Goodall juga menemukan, simpanse di Gombe punya sistem komunikasi yang kaya. Suara-suara mereka bukan bunyi sembarangan, tetapi panggilan dengan makna tertentu—sering disertai gerakan tangan atau kepala. Semakin lama dia mengamati, semakin jelas perbedaan setiap individu. Ada yang dominan, ada yang lemah, ada yang lembut, ada pula yang kejam—banyak pula yang memperlihatkan kedua sisi sekaligus.
Warisan Goodall
Goodall meninggal dunia di usia 91 tahun pada Rabu (1/10). Pada 1977, dia mendirikan Jane Goodall Institute, yang hingga sekarang mendanai penelitian ilmiah serta proyek konservasi di berbagai negara. Dia menyadarkan banyak orang bahwa perilaku simpanse menunjukkan garis pemisah antara manusia dan kera semakin kabur karena penelitian lapangan.
Primatolog dari Texas State University, Jill Pruetz, menyebut penemuan Goodall tentang simpanse yang mampu membuat alat sebagai salah satu temuan terpenting dalam studi perilaku satwa.
“Itu membuat kita meninjau ulang spesies kita sendiri dan cara kita memperlakukan hewan lain,” kata Pruetz kepada New York Times.
Penemuan ilmuwan belakangan, membuktikan simpanse jauh lebih kreatif dalam membuat alat daripada yang dibayangkan Goodall. Pruetz misalnya, yang mengamati simpanse di Afrika Barat menemukan hewan itu bisa membuat tombak untuk menusuk monyet.
Selama bertahun-tahun, Goodall menduga simpanse dewasa mengajarkan cara menggunakan tongkat atau batu kepada anak-anak mereka, sesuai lingkungan. Menurut Science Alert, bukti kuat baru muncul pada 2016, ketika peneliti di Republik Kongo berhasil merekam simpanse yang sedang mengajari anaknya mencari makanan dengan alat.
“Itu menjadi momen penting, yang sekaligus menyatukan dua kontribusi terbesar Goodall: penggunaan alat dan ikatan erat antara ibu dan anak,” tulis Science Alert.
Primatolog Frans de Wall pernah berpendapat, moralitas bukanlah hal yang sepenuhnya membedakan manusia. Dia terkenal lewat penelitiannya terhadap koloni simpanse tawanan terbesar di dunia. Mula 2000-an, tulis Science Alert, de Wall menemukan bukti kalau simpanse mampu berbohong, menyelesaikan konflik, dan bahkan menunjukkan empati serta perilaku yang menyerupai moralitas. Meski pandangannya itu menuai kontroversi.
Menurut Joe Walston dari Wildlife Conservation Society, yang membedakan Goodall adalah empati mendalam, baik terhadap hewan maupun manusia, serta kemampuannya menjalin koneksi dengan orang-orang di seluruh dunia.
“Dia digerakkan oleh tekad yang tak tergoyahkan untuk melindungi apa yang dia teliti,” uajr Walston kepada New York Times.
Antropolog dan ilmuwan kognitif Dimitris Xygalatas mengakui, Goodall bukan cuma dikenal dengan penemuannya yang revolusioner, tetapi juga karena caranya memandang hewan. Dia menunjukkan, empati dan ketelitian ilmiah bisa saling melengkapi.
“Dia memberi nama pada simpanse, mencatat garis keturunan mereka, dan mengakui kepribadian masing-masing,” tulis Xygalatas dalam Psychology Today.
“Selama bertahun-tahun, dia menyaksikan generasi demi generasi tumbuh, kehilangan, belajar, dan mewariskan pengetahuan.”
Menurut Xygalatas, pengamatan Goodall meruntuhkan keyakinan lama. Dia membuktikan, simpanse bukanlah makhluk bodoh, tetapi memiliki kehidupan emosional, sosial, dan intelektual yang kompleks. Namun, pada masa itu, dunia ilmiah tidak langsung menerima. Goodall dituduh terlalu mengantropomorfiskan hewan, dianggap sentimental, dan statusnya sebagai perempuan muda tanpa gelar doktor membuatnya kerap diremehkan.
“Tapi seiring berjalannya waktu, bukti yang dia kumpulkan dengan tekun selama puluhan tahun tidak bisa dibantah,” tulis Xygalatas dalam Psychology Today.
“Cambridge University akhirnya menerima metode penelitiannya yang dianggap tak lazim, dan disertasi doktoralnya pada 1965 menjadi tonggak penting etologi modern.”


