Kisah Kwik Kian Gie menjadi intel di Belanda
Kwik Kian Gie meninggal dunia pada Senin (28/7) dalam usia 90 tahun. Pria kelahiran Pati, Jawa Tengah pada 11 Januari 1935 dikenal sebagai ekonom dan politikus terkemuka. Dia pernah menjabat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional di era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Namun, tak banyak yang mengetahui, Kwik pernah menjadi bagian dari kelompok intelijen di Belanda—saat konflik antara Belanda dan Indonesia memuncak akibat sengketa Irian Barat.
Menurut Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008), setelah lulus tingkat persiapan dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Kwik melanjutkan studinya ke Nederlandsche Economische Hogeschool, kini Universitas Erasmus, di Rotterdam, Belanda pada 1956.
Awal 1960, konflik Belanda dan Indonesia memanas dalam persengketaan wilayah Irian Barat. Mulanya, setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949, Belanda menolak klaim setengah dari wilayah Nugini (Papua) yang dikuasai Belanda ada di wilayah Hindia Belanda. Indonesia yang baru saja berdiri, menyatakan berhak penuh atas semua wilayah koloni Belanda.
Akhir 1961, Presiden Sukarno mencetuskan Tri Komando Rakyat (Trikora), yang antara lain berisi perintah membatalkan negara boneka Papua buatan Belanda. Tak lama, Operasi Trikora diumumkan untuk mengadakan operasi militer menggabungkan Irian Barat dengan Indonesia.
Akibatnya, hubungan diplomatik pun diputus. Situasi ini berdampak terhadap para mahasiswa yang tengah belajar di Belanda. Hanya mahasiswa yang membiayai studinya dengan uang sendiri yang diizinkan kuliah di Belanda. Kwik menjadi bagian dari mahasiswa kategori ini.
“Masyarakat (Belanda) sangat memusuhi Indonesia. Setiap hari, pers Belanda menghujat Indonesia karena politik Bung Karno yang bukan hanya konfrontasi, tetapi berperang merebut Irian Barat,” kata Kwik dalam buku Menelusuri Zaman: Memoar dan Catatan Kritis Kwik Kian Gie (2017).
Tugas sebagai intel
Kemudian, Mohammad Samadikun—seorang teman Kwik yang baru menyelesaikan studinya di Rotterdam—m ngajaknya bergabung dalam kelompok mahasiswa yang melakukan operasi intelijen untuk membantu Pemerintah Indonesia dalam merebut Irian Barat.
Beberapa kegiatan dilakukan kelompok ini. Yang rutin adalah melobi politisi Belanda, terutama para anggota Tweede Kamer (parlemen) yang pro terhadap pengembalian Irian Barat.
“Kami mendekatinya dengan menghadap mereka, mengatakan dengan adanya konflik dan tidak adanya KBRI, kami mengalami berbagai kesulitan, stres, dan ingin mohon advis dari mereka sambil berdiskusi bagaimana kami bisa berbuat sesuatu,” ujar Kwik.
“Kami banyak berdiskusi dengan politisi Belanda untuk memperoleh dukungan yang cukup dari politisi berpengaruh agar pemerintah Belanda mau menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia tanpa berperang.”
Tugas Kwik cukup menantang. Dia mesti menulis dan mengirimkan laporan tertulis terkait diskusi dengan para pemimpin dan politisi Belanda ke Kedutaan Besar Indonesia di Bonn, Jerman Barat secara teratur.
Tugas lainnya, dia mesti mengumpulkan data dan informasi dari semua surat kabar dan siaran radio ayng ada hubungannya dengan Irian Barat. Untuk tugas yang satu ini, terutama perekaman siaran radio, ternyata berguna sebagai pemetaan dalam konflik di Irian Barat.
Di hari tertentu, terutama Minggu, melalui radio disiarkan langsung dari Irian Barat penyampaian pesan oleh tentara Belanda yang ada di sana kepada keluarganya, terutama orang tua atau anak-istri mereka di Belanda.
“Kebanyakan mengirim salam dari tempat mereka berada, misalnya, ‘Hallo Papa dan Mama, ini Kolonel Jansen memberi salam dari Fakfak, saya baik-baik saja’. Pesan seperti ini saya rekam dan teruskan ke Jakarta,” kata Kwik.
Dari informasi itu, TNI mengetahui kalau di Fakfak misalnya, ada seorang kolonel yang berarti ada kekuatan tentara sebanyak sekian orang. Dengan demikian, perubahan-perubahan peta penguasaan oleh tentara Belanda di Irian Barat yang berubah-ubah dapat diikuti, yang sangat penting untuk menerjunkan TNI di tempat-tempat yang tak ada tentara Belanda-nya.
Aktivitas intel yang terendus
Lambat laun, kegiatan intelijen Kwik tercium oleh intel Belanda. Indikasi itu terlihat ketika suatu hari istri Kwik yang orang Belanda, Edith Johanna de Wit, ditelepon orang tak dikenal. Sang penelepon menanyakan, apakah Kwik menggunakan mesin tik merek Triumph. Dengan lugu, istrinya menjawab “iya”.
“Saya memang menggunakan merek itu yang diwarisi dari kakak saya, Tik Tjiauw,” tulis Kwik.
Kwik menyimpulkan, semua surat yang dikirim ke atase militer di Bonn disadap dan dianalisis. Intel Belanda berhasil mengenali kalau Kwik menulis menggunakan mesin tik merek Triumph.
“Mereka membuka surat saya atau membacanya dengan x-ray, sehingga dengan mudah mendapatkan nomor telepon di rumah,” ucap Kwik.
Setelah kejadian itu, Kwik berdiskusi dengan Samadikun. Lalu diputuskan, pengiriman surat selanjutnya dilakukan dari Antwerp, Belgia. “Saya mengirimkan surat naik kereta api ke Antwerp, lalu memasukkan surat dalam kotak pos di Stasiun Antwerp dan langsung pulang,” tutur Kwik.
Peran penting Kwik dan kawan-kawannya adalah dalam melobi enam mahasiswa Papua yang belajar di Universitas Leiden agar mereka pergi ke Indonesia secara rahasia. Tujuannya, memberikan konferensi pers di Jakarta demi kembalinya Irian Barat.
Kelompok Kwik meminta bantuan Direktur Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM)—maskapai Belanda—Van Konijnenburg. Kebetulan, Konijnenburg adalah karib Bung Karno. Singkat cerita, mereka berhasil memberangkatkan enam mahasiswa Papua itu untuk konferensi pers di Jakarta.
Dalam buku Karmacinta: Biografi Sanjoto Senyatanya (2018) yang ditulis Bre Redana, Sanjoto Senyatanya—kawan Kwik sejak SMP di Semarang—yang saat itu menjadi Sekjen Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) mengatakan, turut membantu menerima dan memfasilitasi semua kegiatan enam mahasiswa itu.
“Alangkah terkejutnya Pemerintah Belanda, enam mahasiswa Papua tersebut muncul dan memberikan konferensi pers di Jakarta, menyatakan Irian Barat adalah bagian dari Indonesia, dan karena itu mereka meninggalkan Belanda untuk selanjutnya menetap di Indonesia,” tulis Kwik.
Sengketa Irian Barat berakhir setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, yang membuat Irian Barat—kini Papua—terintegrasi dengan Indonesia.
Kwik sendiri meneruskan kariernya sebagai staf lokal KBRI di Den Haag pada 1963-1964. Lalu menjadi pebisnis usai pulang ke Indonesia. Dan, akhirnya masuk dunia politik, bergabung dengan PDI pada 1987 dan PDI-Perjuangan pada 1996.


