close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi obat-obatan. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi obat-obatan. /Foto Unsplash
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 30 September 2025 13:00

Kenapa obat rasanya tidak enak?

“Obat yang baik harus mudah diberikan, dapat diserap tubuh, mencapai target yang tepat, dan tetap aktif."
swipe

Banyak orang, terutama anak-anak, enggan meminum obat karena rasanya yang tidak enak—obat sirup yang pahit hingga tablet yang meninggalkan rasa logam di mulut. Namun, obat yang memiliki rasa tidak enak itu justru paling manjur.

Sebagian besar obat modern, ternyata berasal atau setidaknya terinspirasi dari senyawa alami yang ditemukan di alam. Terutama makhluk yang tak bisa bergerak, seperti tumbuhan dan hewan laut, seperti spons dan karang.

“Mereka tidak bisa lari atau bersembunyi dari predator. Satu-satunya cara mereka bertahan hidup adalah dengan memproduksi zat kimia sebagai pertahanan diri,” kata ahli biologi farmasi di University of Naples Federico Il di Italia, Orazio Taglialatela Scafati kepada Live Science.

“Zat kimia ini sering kali bersifat racun bagi hewan lain, termasuk manusia.”

Selama jutaan tahun, tumbuhan dan hewan yang tidak bisa bergerak telah berevolusi untuk menghasilkan senyawa kimia yang dapat memengaruhi reseptor pada predator mereka. Contohnya, glikosida jantung dari tanaman foxglove atau bunga bidal yang bisa menghentikan detak jantung, alkaloid halusinogen dalam belladonna, atau senyawa taxane beracun yang ditemukan pada buah yew atau tampinur.

Sebagai respons terhadap ancaman ini, manusia mengembangkan reseptor rasa untuk mendeteksi senyawa berbahaya tersebut. Rasa pahit menjadi sinyal alami yang memberi peringatan. Zat yang terasa pahit kemungkinan berbahaya dan dapat mengganggu fungsi normal tubuh.

Seiring waktu, sains modern membantu kita memahami dengan lebih jelas bagaimana senyawa-senyawa ini bekerja di dalam tubuh. Pengetahuan ini memungkinkan kita memanfaatkan efek kuat mereka, tetapi dalam bentuk obat yang aman dan efektif.

Hanya sedikit obat yang digunakan dalam bentuk aslinya seperti yang diproduksi oleh organisme tersebut. Beberapa contohnya adalah penisilin sebagai antibiotik dan morfin sebagai pereda nyeri. Namun, kebanyakan obat modern hanya terinspirasi dari struktur kimia alami, lalu dimodifikasi agar lebih aman, stabil, dan efektif.

“Obat yang baik harus mudah diberikan, dapat diserap tubuh, mencapai target yang tepat, dan tetap aktif. Karena itu, sering kali kita perlu memodifikasi struktur awal senyawa tersebut agar bisa memenuhi semua kriteria ini,” kata Scafati.

Menurut ilmuwan farmasi sekaligus apoteker di King’s College London, Bahijja Raimi-Abraham, penting untuk membedakan antara zat aktif dalam obat dan bentuk sediaan yang benar-benar dikonsumsi pasien. Dalam obat yang sampai ke tangan pasien, bahan aktif biasanya dicampur dengan eksipien, yakni komponen yang tak punya efek biologis langsung. Eksipien berperan penting dalam menentukan cara obat diserap, tingkat stabilitasnya, serta memudahkan obat dibentuk menjadi sirup, tablet, atau kapsul.

Secara teori, penambahan eksipien dengan rasa tertentu seharusnya bisa membantu menutupi rasa tidak enak dari bahan aktif. Namun, kenyataannya, pengalaman pasien saat mengonsumsi obat jauh lebih rumit daripada sekadar rasa.

“Banyak orang hanya fokus pada rasa obat, padahal yang penting sebenarnya adalah palatabilitas,” ucap Raimi-Abraham kepada Live Science.

“Palatabilitas tidak hanya soal rasa, tapi juga mencakup aroma, aftertaste (rasa yang tertinggal setelah ditelan), tekstur, hingga penampilan obat. Semua faktor ini memengaruhi apakah pasien mau menerima dan mengonsumsi obat tersebut.”

Hal ini menjadi sangat penting terutama bagi anak-anak dan lansia. Jika obat terasa terlalu pahit atau memiliki tekstur yang tidak menyenangkan, mereka mungkin menolak atau kesulitan mengonsumsinya. Akibatnya, dosis obat yang dibutuhkan tidak akan masuk ke tubuh, yang bisa membahayakan kesehatan pasien.

Lebih jauh lagi, tidak tuntas menghabiskan obat, khususnya antibiotik, dapat memicu masalah yang lebih besar, seperti resistensi obat—di mana bakteri menjadi kebal terhadap pengobatan, sehingga infeksi menjadi semakin sulit diatasi.

Karena itu, menemukan keseimbangan yang tepat antara berbagai aspek palatabilitas menjadi hal yang sangat penting, tetapi juga tidak mudah. Memperbaiki satu faktor sering kali justru membuat faktor lain menjadi kurang baik. Salah satu tantangan utamanya terletak pada cara kerja alami tubuh manusia dalam merasakan, yang membuat proses ini semakin rumit.

“Sensor rasa utama yang biasanya kita pikirkan berada di lidah, tetapi sebenarnya tubuh juga memiliki reseptor rasa di bagian lain, termasuk esofagus dan lambung,” ujar Raimi-Abraham.

Karena itu, obat yang diberi perasa untuk menutupi rasa pahit di mulut masih bisa meninggalkan aftertaste yang tidak enak saat bahan aktifnya larut di dalam lambung.

“Saya rasa alasan mengapa beberapa obat masih terasa pahit adalah karena merancang formulasi dengan rasa yang tepat bukan hanya soal ilmu pengetahuan, tetapi juga seni,” kata Raimi-Abraham.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan