

Kiprah sirkus keliling Oriental Circus Indonesia

Beberapa orang mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia melakukan audiensi ke Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemen HAM), Jakarta, Selasa (15/4). Kepada Wakil Menteri HAM Mugiyanto, mereka mengaku mengalami dugaan pelanggaran HAM saat masih bekerja di Taman Safari Indonesia pada 1970-an. Pengakuan mengejutkan itu lalu menjadi sorotan.
Tak lama, pihak Taman Safari Indonesia pun merespons. Komisaris Taman Safari Indonesia yang juga aktif di Oriental Circus Indonesia, Tony Sumampau mengatakan, Taman Safari Indonesia dan Oriental Circus Indonesia adalah dua badan hukum berbeda.
Isu serupa pernah mencuat pada 1997, ditangani Komnas HAM. Dari hasil penelurusan, ditemukan anak-anak pemain sirkus berasal dari satu daerah di Jakarta. Toni mengatakan, saat itu anak-anak memang harus menghabiskan waktu di lingkungan sirkus, seperti makan, mandi, istirahat, dan belajar.
Dimulai dari pengembaraan
Oriental Circus Indonesia digagas Tjoa Kim Hian atau Hadi Manansang pada 1966. Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008) menyebut, Hadi lahir di Shanghai, China pada 1913. Sejak kecil, ada dorongan dalam dirinya untuk mengembara ke luar negeri.
Dalam artikel “Dari Pemain Sirkus ke Safari,” yang dimuat majalah Intisari, Januari 1987, Hadi mengatakan, suatu hari di tempat kelahirannya, bermain rombongan sirkus dari Inggris bernama Halmerston.
Demi mendapat tenaga yang murah, rombongan sirkus itu mencari anak-anak setempat untuk dijadikan pemain. Hadi yang kala itu masih berusia 10 tahun ikut mendaftarkan diri. Dari sini, petualangannya dimulai.
Hadi tertarik menjadi pemain juggling—sebuah atraksi di mana seorang pemain memanipulasi objek, seperti bola, cincin, atau tongkat, dengan tangan dan kaki secara terkoordinasi dan artistik. Empat tahun kemudian, dia diangkat menjadi pemain tetap. Saat itu, Hadi mengaku tak hanya ahli bermain juggling, tetapi juga akrobat dan sulap.
Bersama lima anak dari China lainnya, rombongan sirkus ini pergi ke Singapura, India, Birma (sekarang Myanmar), dan Hong Kong. Di Hong Kong, Hadi bergabung dengan sirkus American Thai Show dari Amerika Serikat. Lewat sirkus ini, dia mengembara ke Indonesia dan Filipina.
Baru tiga tahun ikut rombongan itu, Perang Dunia II pecah. Sirkus pun dibubarkan saat sedang berada di Manila, Filipina. Sebagian besar anggotanya kembali ke Amerika Serikat. Anggota lainnya dianjurkan tidak kembali ke Hong Kong atau China karena daerah perairan di sana tengah gawat.

Singkat cerita, Hadi memutuskan untuk ke Indonesia. Dia menyeberangi lautan menggunakan perahu, masuk lewat Sangir, Sulawesi Utara. Nasib lalu membawanya ke Pulau Jawa. Lalu tinggal di Jakarta.
Sam Setyautama menyebut, Hadi sempat memulai usaha warung tekstil, kemudian membentuk grup akrobat. Dalam majalah Intisari, Hadi mengatakan, dia berjualan dengan berkeliling menggunakan sepeda.
Rombongan sirkus awalnya dibentuk dari keluarga. Setelah berumah tangga, Hadi mengajari dua anaknya, Jansen dan Frans, bermain akrobat sejak usia lima tahun. Hadi mengakui, dalam mendidik pemain sirkus, dia tidak pernah mendatangkan pelatih khusus. Semua pemain dididiknya sendiri. Dia pun melatih binatang buas dan membuat pakaian sirkus sendiri.
“Mulanya rombongan sirkus ini hanya enam orang. Pertunjukan juga hanya sebatas akrobat dan sulap. Mereka keliling dari kampung ke kampung,” tulis Intisari.
Rombongan ini baru punya nama Oriental Show saat Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) mengambil inisiatif menyatukan kelompok akrobat kecil-kecil yang ada, yang sering diminta untuk menghibur anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Kemudian, menjadi Oriental Circus saat rombongan itu sudah menggunakan binatang, seperti kuda, anjing, dan monyet, dalam pementasan. Pertunjukan pun lebih variatif, ada juggling, badut, dan atraksi binatang. Mereka pun berkeliling hingga pelosok Indonesia.
Perjalanan keliling tak selalu manis. Kendala kerap ditemuai dalam pentas keliling itu. Misalnya, pada 1969 dalam perjalanan dari Jambi ke Lubuk Linggau, mereka harus melintas jalan yang berlumpur.
“Bayangkan satu-persatu mobil harus kami dorong melewati lumpur. Satu mobil bisa sampai satu hari,” kata Nyonya Jansen, menantu Hadi yang juga ikut rombongan sirkus kepada Intisari.
Sesampainya di Lubuk Linggau, mereka harus jalan kaki lagi selama enam hari. Makannya juga cuma telur dicampur kecap. Sebelum ada trailer, mereka tidur di rumah-rumah penduduk yang kosong atau sudah tua.
Ketika rombongannya semakin besar, menurut Sam Setyautama, pemainnya kurang lebih ada 100 orang.
Bersalin wajah
Namun, menurut Leo Suryadinata dalam Prominent Indonesia Chinese: Biographical Sketches (2015), pada 1970-an ketika popularitas sirkus mulai menurun, Jansen dan saudara-saudaranya—dengan bantuan Hadi—bersama-sama mendirikan taman satwa di Cisarua, Jawa Barat. Sam Setyautama menyebut, tahun 1984 Hadi membeli tanah seluas 200 hektare di sana.
Dari pengakuannya di majalah Intisari, Hadi pensiun dari sirkus di usia 55 tahun. Dia lantas sibuk mengelola taman satwa yang kemudian dinamakan Taman Safari Indonesia, yang ditangani Jansen. Taman Safari Indonesia dibuka pada pertengahan 1986. Sedangkan sirkus keliling tetap hidup di bawah Frans.
Jansen terus mengembangkan taman satwa. Leo Suryadinata menulis, pada 1999, didirikan taman satwa lain bernama Taman Safari Indonesia Prigen di Jawa Timur dan kemudian Taman Safari Indonesia Gianyar serta Marine Park di Bali.
Hadi sendiri meninggal dunia pada 2 Maret 2003. Lantas, perlahan, Oriental Circus Indonesia mengubah “wajah” pertunjukan mereka. Sejak tahun 1988, atraksi jalan kawat dihilangkan.
Pada 1996, Oriental Circus Indonesia tampil di Wuhan, China mewakili Indonesia dalam Festival Seni Akrobatik dunia. Mereka berhasil memenangkan Piala Luar Biasa dalam ajang kompetisi tersebut.
Pada 2018, Oriental Circus Indonesia terakhir kali menggunakan binatang dalam pertunjukan mereka. Saat itu, menurut Rudy Badil dkk dalam Tiga Macan Safari (2019), kelompok sirkus ini membawa 19 satwa—empat harimau, tiga gajah, enam burung, dan enam anjing—serta 77 orang kru yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Mereka mengunjungi 15 kota setiap tahun, dengan jumlah penonton rata-rata mencapai 200 hingga 1.500 orang satu kali pertunjukan.
Menurut supervisor Oriental Circus, Ing Cuan dalam Tiga Macan Safari, pada dekade 1970-an hingga 1980-an, sirkus ditemani harimau, singa, gajah, burung, anjing, simpanse, beruang, dan kuda.
“Dahulu atraksi sirkus lebih variatif. Ada jalan di atas kawat, juggling, flying, trapeze, akrobat, satwa, dan sulap,” kata Ing Cuan di Tiga Macan Safari.
Perlahan, program acara mereka diformat ulang. Atraksi hanya sebatas akrobat, dilangkapi storyline. “Dari sirkus klasik menjadi pertunjukan opera atau drama musikal,” tulis Rudy Badil dkk.
Mereka pun berhenti memakai satwa lagi. Satwa hanya dijadikan “patung”. “Seperti Cirque du Soleil yang tersohor itu. Di Bali Agung (Bali Safari dan Marine Park) juga konsepnya begitu, sudah ada alur ceritanya,” ujar Tony Sumampau dalam buku Tiga Macan Safari.
“Biaya sirkus memang besar. Sekarang semua karyawan maunya tidur di caravan/trailer, termasuk pakai AC.”
Pada akhir 2018 hingga awal 2019 dan akhir 2019 hingga awal 2020, Oriental Circus Indonesia mengadakan pertunjukan akbar "The Great 50 Show", sebagai perayaan 50 tahun mereka di beberapa kota di Indonesia. Pertunjukan ini sekaligus mengakhiri perjalanan mereka sebagai rombongan sirkus keliling.


Berita Terkait
Mengapa penulisan “sejarah resmi” Indonesia menuai polemik?
Saat film Amerika Serikat diboikot di Indonesia
Sabung ayam di masa silam
Ratusan jejak kaki dinosaurus ditemukan di ‘jalan raya dinosaurus’

