sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kucumbu Tubuh Indahku, prasangka LGBT dan tradisi lengger lanang

Dipuji di luar negeri, film Kucumbu Tubuh Indahku tak mulus beredar di domestik. Film karya Garin Nugroho ini dinilai mengandung unsur LGBT.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Sabtu, 27 Apr 2019 09:00 WIB
Kucumbu Tubuh Indahku, prasangka LGBT dan tradisi lengger lanang

Lengger lanang

Kritikus film Ekky Imanjaya angkat bicara mengenai polemik film ini. Menurut Ekky, film garapan Garin ini hendak menampilkan kebudayaan dan kesenian tradisi yang hidup di Indonesia. Ia mengatakan, kesenian yang menampilkan sosok laki-laki dengan perilaku seperti perempuan sudah tumbuh lama di Nusantara.

“Kalau menurut saya Indonesia tidak pernah lepas dari LGBT sebagai fenomena budaya. Bukan sebagai fenomena gerakan lho ya,” kata Ekky saat dihubungi, Jumat (26/4).

Selain lengger lanang yang hidup di Banyumas, Jawa Tengah, Ekky menyebut, di Sulawesi Selatan juga ada tradisi masyarakat Bugis yang disebut Bissu.

Menurut Sharyn Graham dalam tulisannya “Sex, gender, and priests in South Sulawesi, Indonesia” di The Newsletter (2002), bissu merupakan kaum pendeta yang tak punya golongan gender dalam kepercayaan tradisional Tolotang, yang dianut masyarakat Amparita Sidrap di Bugis, Sulawesi Selatan. Bissu mengambil peran gender laki-laki dan perempuan. Golongan ini dianggap separuh manusia separuh dewa, dan bertindak sebagai penghubung antara dua dunia.

Nah, kalau yang saya tangkap (di film ini), yang ditampilkan oleh Garin adalah perjalanan spiritual dari penari yang bernama Juno,” ujar Ekky.

Usai menonton, Ekky mengaku mendapatkan citra visual yang artistik dan indah. Tarian yang diangkat di dalam film itu, kata Ekky, dikemas dengan sangat menarik.

Setiap adegan, kata dia, disajikan dengan bahasa simbolik yang lebih banyak mengantarkan dialog dengan gerak tubuh penari. Bila pun ada penolakan, Ekky menyarankan untuk mengedepankan diskusi, bukan asal boikot.

Sponsored

“Diterima atau tidak, tidak masalah, yang penting ada diskusi,” ucapnya.

Sementara itu, maestro tari Didik Hadiprayitno atau lebih dikenal sebagai Didik Nini Thowok mengatakan, tradisi laki-laki yang menarikan tarian perempuan sudah ada sejak lama di Nusantara.

“Itu sudah terjadi bahkan sejak zaman animisme, dan berkembang terus sejak masuknya Hindu ke Indonesia. Salah satu fungsinya adalah untuk ritual,” katanya saat dihubungi, Jumat (26/4).

Istilah lengger dalam tarian lengger lanang terdiri dari dua kata, yakni leng dan ngger. Menurut Didik, dalam Bahasa Jawa, leng diartikan sebagai lubang, yang kemudian diasosiasikan dengan alat kelamin perempuan. Sedangkan ngger diartikan jengger ayam, simbol laki-laki.

“Jadi, pengertiannya lengger itu dikira leng padahal ngger. Dikira perempuan, padahal laki-laki," kata Didik.

Sejatinya, film Kucumbu Tubuh Indahku mengisahkan perjalanan seorang penari lengger lanang. /Imdb.com

Lebih lanjut, kata Didik, dalam tradisi di Banyumas, lengger lanang diadaptasi dari tarian ronggeng. Hanya, kata dia, ronggeng dibawakan penari perempuan. Sementara untuk menyebut tarian yang dibawakan laki-laki diberi nama lengger lanang.

Didik mengatakan, dalam sejarahnya, ronggeng merupakan kesenian rakyat untuk ritual bersih desa dan panen, dengan menari di punden (tempat yang disakralkan). Seperti halnya tari bedhaya kakung di Keraton Yogyakarta, ungkap Didik, ada dua alasan mengapa laki-laki yang kemudian menari.

Pertama, karena perempuan tidak selalu berada dalam keadaan bersih. Ada masa ketika ia mengalami menstruasi. Kedua, dalam tradisi Keraton Yogyakarta, perempuan hanya boleh menari di depan raja.

“Selain harus bersih suci, tradisi perempuan menari di depan umum itu baru terjadi di abad ke-20,” katanya.

Selain jenis seni tari tadi, menurut Didik, dahulu wayang wong di Keraton Yogyakarta juga semuanya diperankan laki-laki. Meski berasal dari dua tradisi di dua kasta yang berbeda dalam tradisi Jawa—seni keraton dan seni rakyat—alasan mengapa laki-laki menarikan perempuan dalam bedhaya kakung dan lengger lanang, tetap sama.

“Jadi zaman dulu masyarakat itu kan meniru-niru atau mengimitasi tradisi di keraton. Mereka meniru atribut orang kota,” ucapnya.

Didik mengatakan, hal itu bisa dilihat dari ritme dan atribut tariannya. Gerakan lengger lanang, kata Didik, dibagi menjadi dua, berdasarkan wilayahnya.

“Yang wilayah barat ritme geraknya mirip-mirip pengaruh dari Jawab Barat, dinamis. Tapi yang wilayah timur itu mirip-mirip gerak tari keraton,” katanya.

Ia menjelaskan, dalam lengger dikenal istilah karunia atau seseorang yang diberi kelebihan khusus untuk bisa menarikan tarian tertentu. Didik menyebut, dalam istilah Jawa dikenal dengan manitis atau reinkarnasi.

“Untuk orang dengan keahlian tertentu, dia akan dapat melihat seseorang itu manitis dari lengger,” ujarnya.

Penari lulusan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta ini melanjutkan, perbedaan mencolok bila seseorang punya karunia yang disebutkan Didik, bisa dirasakan saat menari pembawaannya akan berbeda dengan orang biasa.

Film ini mendapat respons negatif dari sejumlah pihak di Indonesia.

“Dia kalau menari akan lebih menjiwai, soul-nya lebih dapat,” katanya.

Menyinggung film Kucumbu Tubuh Indahku, Didik mengaku belum menontonnya. Meski begitu, ia berpendapat, seni tradisi seperti lengger lanang memang mudah dibenturkan dengan isu LGBT.

“Karena segala sesuatu sekarang dikaitkan dengan LGBT,” katanya.

Menurutnya, posisi seorang penari tak memengaruhi orientasi seksual. Sebab, hal itu merupakan bagian personal masing-masing penari, dan tak bisa digeneralisasi.

“Itu urusan personal, tidak ada kaitannya dengan tarian. Banyak juga mereka (penari lengger lanang) yang berkeluarga dan punya anak,” kata dia.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid