sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kucumbu Tubuh Indahku, prasangka LGBT dan tradisi lengger lanang

Dipuji di luar negeri, film Kucumbu Tubuh Indahku tak mulus beredar di domestik. Film karya Garin Nugroho ini dinilai mengandung unsur LGBT.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Sabtu, 27 Apr 2019 09:00 WIB
Kucumbu Tubuh Indahku, prasangka LGBT dan tradisi lengger lanang

Beberapa hari belakangan, penggemar film di tanah air tengah gandrung Avengers: Endgame. Namun, di tengah merebaknya virus Avengers, film Kucumbu Tubuh Indahku karya sutradara jempolan Garin Nugroho menjadi perbincangan.

Film ini tayang perdana di bioskop-bioskop Indonesia pada 18 April 2019, setelah pertama kali diputar di Festival Film Internasional Venesia pada Agustus 2018. Mendapat apresisasi di luar negeri, tak berarti mulus di dalam negeri.

Sejumlah orang menolak film Garin. Ada tiga petisi online di Change.org yang menolak pemutaran film itu. Pertama, petisi bertajuk “Tolak Penayangan Film LGBT dengan Judul ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ Sutradara Garin Nugroho” yang dibuat Rakhmi Mashita.

Lalu, petisi bertajuk “Boikot/Tolak Penayangan Film Kucumbu Tubuh Indahku di Kota Balikpapan” yang dibuat Annisa Tang. Dan, petisi yang dibuat Budi Robantoro bertajuk “Gawat! Indonesia Sudah Mulai Memproduksi Film LGBT dengan Judul Kucumbu Tubuh Indahku”.

Hingga kini, petisi online Rakhmi Mashita sudah ditanda tangani 5.000 lebih orang. Sementara petisi yang dibuat Budi sudah ditanda tangani lebih dari 100.000 orang.

Di media sosial, sejumlah orang pun menolak pemutaran film itu. Penolakan pun datang dari Pemerintah Kota Depok. Pemkot Bogor belakangan juga mengkaji penayangan film itu di bioskop-bioskop Kota Hujan.

Unsur LGBT?

Ita Tresna Lestari merupakan salah seorang penolak film ini. Ia mengaku hanya melihat cuplikan filmnya di situs Youtube. Belum menonton secara langsung di bioskop.

“Banyak ditemui adegan menyingkap rok, bercumbu, dan memasukkan tangan ke sarung untuk memegang alat vital. Itu tidak dibenarkan dalam agama manapun,” katanya saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (26/4).

Ekspresi penolakan ini juga ia ungkapkan di akun Facebooknya. Ia menulis, unsur lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) harus ditolak, karena bisa menular pada satu sisi, dan ketika ditonton mendorong orang untuk mempraktikannya. Ia pun menyamakan perilaku LGBT itu dengan perbuatan di masa Nabi Luth yang dilaknat Tuhan.

“Tanpa menonton pun sudah ada gambarannya LGBT,” ujarnya.

Adegan saat Juno kecil belajar menari di film Kucumbu Tubuh Indahku. /Youtube.com.

Sementara itu, Tobing Jr merupakan salah seorang yang sudah menonton film ini. Ketua Komunitas Layar Kita di Bandung itu merasa, film ini tak sedikitpun membicarakan LGBT.

“Film itu berbicara tentang kehidupan penari lengger lanang di pedalaman Jawa Tengah. Film itu bercerita bagaimana tarian tersebut mampu menarik sisi feminin dari seorang pria,” katanya saat dihubungi, Jumat (26/4).

Ia mengatakan, jika pun film tersebut bercerita tentang hubungan sesama jenis, hal itu bukan sesuatu yang ingin ditonjolkan. Menurutnya, seseorang tidak dapat mengambil kesimpulan secara umum hanya berdasarkan satu contoh.

“Tidak semua penari lengger suka sesama jenis lho. Sama halnya kalau kita menemukan seorang PNS adalah seorang gay, apakah kita akan menggeneralisasi bahwa seluruh PNS gay? Tidak kan?” ujarnya.

Tobing melanjutkan, tidak sedikitpun menemukan adegan intim di film tersebut. Malah, katanya, film itu berbicara lebih banyak soal keindahan tarian tradisi lengger lanang.

“Selain itu juga menyoroti soal bagaimana premanisme yang diperalat oleh kekuasaan untuk membungkam kesenian tradisional,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan, sebaiknya para penolak film ini menonton terlebih dahulu, sebelum mengeluarkan pendapat.

Dihubungi terpisah, aktor yang memerankan Juno di film ini, Muhammad Khan menuturkan, penolakan di tengah masyarakat terjadi karena kurang riset dan gampang terprovokasi.

“Ibarat hanya melihat sampulnya saja, terus sudah menolak,” katanya saat dihubungi, Jumat (26/4).

Khan mengatakan, film ini lebih menampilkan ketegangan antara sisi maskulin dan feminin dalam kesenian lengger lanang. Khan memaparkan tentang pergulatan karakter Juno menjadi seperti yang digambarkan di film ini.

Menurut Khan, Juno tumbuh sebagai anak tanpa sosok ibu dan ayah, di tengah situasi sosial dan politik di lingkungannya, dan bagaimana kebudayaan sekitar bekerja.

“Film itu bicara soal kondisi itu, bukan mengangkat soal LGBT-nya,” kata Khan.

Ia melanjutkan, film tersebut mencoba mengajak penonton untuk dapat melihat segala sesuatu dari berbagai sisi. Bukan mengajak orang untuk mengubah orientasi seksualnya.

“Tapi justru mengajak untuk berdialog. Apa sih latar belakang yang membuat orang bisa begitu?” tuturnya.

Sudah lolos sensor

Di sisi lain, Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Ahmad Yani mengaku, sebenarnya penolakan sudah terasa sejak cuplikan Kucumbu Tubuh Indahku muncul di situs Youtube. Cuplikan itu diunggah pertama kali oleh Fourcolours Films pada 2 September 2018.

“Sejumlah orang pun sudah melayangkan protes kepada LSF. Karena di trailer-nya itu terdapat adegan-adegan yang tidak tepat,” tuturnya saat dihubungi, Jumat (26/4).

Yani meluruskan, cuplikan yang beredar di Youtube belum melewati sensor LSF. Sedangkan film yang sudah tayang di bioskop, kata Yani, telah melalui sensor dari LSF.

“Tidak ada adegan yang menonjolkan seperti itu (di bioskop),” ujarnya.

Yani melanjutkan, cuplikan yang beredar di Youtube tidak masuk ranah LSF. Sebab, kata dia, LSF tak pernah mengunggah apa pun cuplikan film di Youtube.

“Di filmnya tidak persis seperti itu, kita sudah melakukan penyensoran, dan film itu sudah aman untuk ditonton sesuai usianya,” kata Yani.

Kucumbu Tubuh Indahku mendapat penolakan sejumlah masyarakat. Film ini pun terkendala diputar di wilayah Depok. /Imdb.com.

Selama ini, kata Yani, LSF sudah menjalankan fungsinya untuk melindungi publik dari dampak negatif sebuah film. Yani menduga, protes hanya dilakukan oleh orang-orang yang belum menonton filmnya secara utuh.

Menanggapi hal ini, Ketua Sinematek—sebuah lembaga arsip perfilman nasional—Adisoerya Abdi mengatakan, bila sebuah film sudah dinyatakan lulus sensor dari LSF, artinya sudah melewati pertimbangan dan perhitungan yang matang.

“Hanya saja persoalan LGBT sangat sensitif di beberapa daerah, sehingga jika film dianggap dapat menimbulkan keresahan pada daerah tertentu, maka timbulah boikot,” kata Adisoerya saat dihubungi, Jumat (26/4).

Menurut Adisoerya, film-film yang sudah lolos sensor menjadi tugas LSF untuk menjawab dengan tidak melarang atau menolak peredarannya. Bila ada orang atau pemerintah kota yang tak setuju dengan film itu, kata Adisoerya seharusnya dilayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Apakah boleh edar atau tidak di daerah bersangkutan. Film adalah karya seni dengan ragam imajinasi, tinggal penonton yang memilih dan memilahnya,” ujarnya.

Lengger lanang

Kritikus film Ekky Imanjaya angkat bicara mengenai polemik film ini. Menurut Ekky, film garapan Garin ini hendak menampilkan kebudayaan dan kesenian tradisi yang hidup di Indonesia. Ia mengatakan, kesenian yang menampilkan sosok laki-laki dengan perilaku seperti perempuan sudah tumbuh lama di Nusantara.

“Kalau menurut saya Indonesia tidak pernah lepas dari LGBT sebagai fenomena budaya. Bukan sebagai fenomena gerakan lho ya,” kata Ekky saat dihubungi, Jumat (26/4).

Selain lengger lanang yang hidup di Banyumas, Jawa Tengah, Ekky menyebut, di Sulawesi Selatan juga ada tradisi masyarakat Bugis yang disebut Bissu.

Menurut Sharyn Graham dalam tulisannya “Sex, gender, and priests in South Sulawesi, Indonesia” di The Newsletter (2002), bissu merupakan kaum pendeta yang tak punya golongan gender dalam kepercayaan tradisional Tolotang, yang dianut masyarakat Amparita Sidrap di Bugis, Sulawesi Selatan. Bissu mengambil peran gender laki-laki dan perempuan. Golongan ini dianggap separuh manusia separuh dewa, dan bertindak sebagai penghubung antara dua dunia.

Nah, kalau yang saya tangkap (di film ini), yang ditampilkan oleh Garin adalah perjalanan spiritual dari penari yang bernama Juno,” ujar Ekky.

Usai menonton, Ekky mengaku mendapatkan citra visual yang artistik dan indah. Tarian yang diangkat di dalam film itu, kata Ekky, dikemas dengan sangat menarik.

Setiap adegan, kata dia, disajikan dengan bahasa simbolik yang lebih banyak mengantarkan dialog dengan gerak tubuh penari. Bila pun ada penolakan, Ekky menyarankan untuk mengedepankan diskusi, bukan asal boikot.

“Diterima atau tidak, tidak masalah, yang penting ada diskusi,” ucapnya.

Sementara itu, maestro tari Didik Hadiprayitno atau lebih dikenal sebagai Didik Nini Thowok mengatakan, tradisi laki-laki yang menarikan tarian perempuan sudah ada sejak lama di Nusantara.

“Itu sudah terjadi bahkan sejak zaman animisme, dan berkembang terus sejak masuknya Hindu ke Indonesia. Salah satu fungsinya adalah untuk ritual,” katanya saat dihubungi, Jumat (26/4).

Istilah lengger dalam tarian lengger lanang terdiri dari dua kata, yakni leng dan ngger. Menurut Didik, dalam Bahasa Jawa, leng diartikan sebagai lubang, yang kemudian diasosiasikan dengan alat kelamin perempuan. Sedangkan ngger diartikan jengger ayam, simbol laki-laki.

“Jadi, pengertiannya lengger itu dikira leng padahal ngger. Dikira perempuan, padahal laki-laki," kata Didik.

Sejatinya, film Kucumbu Tubuh Indahku mengisahkan perjalanan seorang penari lengger lanang. /Imdb.com

Lebih lanjut, kata Didik, dalam tradisi di Banyumas, lengger lanang diadaptasi dari tarian ronggeng. Hanya, kata dia, ronggeng dibawakan penari perempuan. Sementara untuk menyebut tarian yang dibawakan laki-laki diberi nama lengger lanang.

Didik mengatakan, dalam sejarahnya, ronggeng merupakan kesenian rakyat untuk ritual bersih desa dan panen, dengan menari di punden (tempat yang disakralkan). Seperti halnya tari bedhaya kakung di Keraton Yogyakarta, ungkap Didik, ada dua alasan mengapa laki-laki yang kemudian menari.

Pertama, karena perempuan tidak selalu berada dalam keadaan bersih. Ada masa ketika ia mengalami menstruasi. Kedua, dalam tradisi Keraton Yogyakarta, perempuan hanya boleh menari di depan raja.

“Selain harus bersih suci, tradisi perempuan menari di depan umum itu baru terjadi di abad ke-20,” katanya.

Selain jenis seni tari tadi, menurut Didik, dahulu wayang wong di Keraton Yogyakarta juga semuanya diperankan laki-laki. Meski berasal dari dua tradisi di dua kasta yang berbeda dalam tradisi Jawa—seni keraton dan seni rakyat—alasan mengapa laki-laki menarikan perempuan dalam bedhaya kakung dan lengger lanang, tetap sama.

“Jadi zaman dulu masyarakat itu kan meniru-niru atau mengimitasi tradisi di keraton. Mereka meniru atribut orang kota,” ucapnya.

Didik mengatakan, hal itu bisa dilihat dari ritme dan atribut tariannya. Gerakan lengger lanang, kata Didik, dibagi menjadi dua, berdasarkan wilayahnya.

“Yang wilayah barat ritme geraknya mirip-mirip pengaruh dari Jawab Barat, dinamis. Tapi yang wilayah timur itu mirip-mirip gerak tari keraton,” katanya.

Ia menjelaskan, dalam lengger dikenal istilah karunia atau seseorang yang diberi kelebihan khusus untuk bisa menarikan tarian tertentu. Didik menyebut, dalam istilah Jawa dikenal dengan manitis atau reinkarnasi.

“Untuk orang dengan keahlian tertentu, dia akan dapat melihat seseorang itu manitis dari lengger,” ujarnya.

Penari lulusan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta ini melanjutkan, perbedaan mencolok bila seseorang punya karunia yang disebutkan Didik, bisa dirasakan saat menari pembawaannya akan berbeda dengan orang biasa.

Film ini mendapat respons negatif dari sejumlah pihak di Indonesia.

“Dia kalau menari akan lebih menjiwai, soul-nya lebih dapat,” katanya.

Menyinggung film Kucumbu Tubuh Indahku, Didik mengaku belum menontonnya. Meski begitu, ia berpendapat, seni tradisi seperti lengger lanang memang mudah dibenturkan dengan isu LGBT.

“Karena segala sesuatu sekarang dikaitkan dengan LGBT,” katanya.

Menurutnya, posisi seorang penari tak memengaruhi orientasi seksual. Sebab, hal itu merupakan bagian personal masing-masing penari, dan tak bisa digeneralisasi.

“Itu urusan personal, tidak ada kaitannya dengan tarian. Banyak juga mereka (penari lengger lanang) yang berkeluarga dan punya anak,” kata dia.

Berita Lainnya
×
tekid