close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pemindaian iris mata menggunakan alat yang dinamakan Orb./Foto world.org
icon caption
Pemindaian iris mata menggunakan alat yang dinamakan Orb./Foto world.org
Sosial dan Gaya Hidup - Teknologi
Kamis, 08 Mei 2025 15:58

Memindai iris mata ala World ID, peluang atau ancaman?

Beberapa waktu lalu, warga di Jakarta, Bekasi, dan Depok melakukan pemindaian iris mata di World ID.
swipe

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bertindak cepat dengan membekukan aplikasi pengelola mata uang kripto World App atau Worldcoin. Aplikasi itu, sebelumnya ramai dibicarakan setelah viral di media sosial warga antre demi bisa memindai iris mata menggunakan alat khusus.

World App dan Worldcoin adalah bagian dari World ID. Beberapa hari lalu, warga antre di depan sebuah ruko bertulis World ID di kawasan Jakarta, Depok, dan Bekasi. Mereka mengantre untuk memindai iris mata dengan imbalan uang Rp250.000 hingga Rp800.000.

Menurut Kompas.com, Worldcoin adalah proyek mata uang kripto yang didirikan bos OpenAI Sam Altman. Perusahaan di balik Worldcoian adalah Tools for Humanity, yang bermarkas di San Fansisco (Amerika Serikat) dan Berlin (Jerman).

Worldcoin punya platform dompet digital World App, yang bisa menyimpan Worldcoin dan World ID. World ID merupakan identitas digital, yang dibuat sebagai alat verifikasi yang bisa membuktikan kalau pemegangnya adalah manusia, bukan bot—program perangkat lunak otomatis yang dirancang untuk melakukan tugas tertentu, seperti menanggapi pesan, mengumpulkan data, atau berinteraksi dengan pengguna lewat aplikasi.

Pengguna harus mendaftar dahulu untuk mendapat World ID, dengan cara memindai iris mata menggunakan alat yang dinamakan Orb. Setelah itu, World ID akan terbuat. Dengan World ID, verifikasi sebagai manusia dalam dunia digital dapat lebih akurat.

Pemerhati teknologi sekaligus Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute Heru Sutadi mengatakan, masyarakat harus berhati-hati dan jangan tergiur dengan iming-iming uang untuk memindai iris mata mereka. Jangan sampai dampaknya menyesal di kemudian hari.

“Ini sama seperti kasus penukaran data KTP beberapa waktu lalu, yang kemudian disalahgunakan untuk macam-macam, seperti pencalonan gubernur independen dan pinjaman online,” kata Heru kepada Alinea.id, Rabu (7/5).

Menurutnya, data iris mata merupakan benteng terakhir dari perlindungan data pribadi. Ketika informasi, seperti KTP, Kartu Keluarga (KK), dan alamat sudah bocor, maka data biometrik—metode verifikasi identitas yang menggunakan karakteristik fisik atau perilaku unik seseorang, seperti sidik jari, wajah, iris mata, atau suara—seperti iris mata akan menjadi target berikutnya karena nilainya sangat tinggi.

“Kalau datanya dipakai pinjam (uang) di pinjol (pinjaman online) oleh orang lain, bisa-bisa utang Rp5 juta atau Rp10 juta kita yang nanggung,” tutur Heru.

Dalam menghadapi era digital, dia menyarankan pentingnya edukasi kepada masyarakat. Terutama generasi muda mengenai pentingnya menjaga data pribadi. Pendekatan “zero trust”—tak langsung percaya pada aplikasi atau pihak yang meminta data spesifik, seperti biometrik atau data kesehatan—harus diterapkan.

“Serangan siber itu nyata dan banyak organisasi yang pernah mengalaminya, walaupun tidak semuanya mengaku. Sayangnya, data yang bocor ini sering diperjualbelikan di pasar gelap dan dimanfaatkan untuk kejahatan,” kata Heru.

Sementara itu, menurut pakar keamanan siber dari Vaksincom Alfons Tanujaya, sebenarnya teknologi seperti World ID bisa bermanfaat besar bagi Indonesia jika dikelola dengan baik, seperti pengelolaan datanya transparan dan diaudit oleh lembaga independen yang memenuhi standar kaidah keamanan.

“Mengapa? Karena dengan identifikasi yang diberikan oleh World ID itu akan sangat membantu memecahkan banyak masalah (digital) di Indonesia,” kata Alfons kepada Alinea.id, Selasa (6/5).

Misalnya, kata dia, dalam war tiket atau persaingan mendapatkan tiket menonton sepak bola, yang menang adalah yang punya koneksi internet kencang dan menggunakan banyak bot. Dengan sistem World ID, maka bot tidak akan bisa menjalankan aksinya karena akan terdeteksi dan dihentikan sebelum beraksi.

Tak hanya itu. Sistem World ID, menurut dia, bisa membantu menghadapi akun-akun bot buzzer yang banyak disalahgunakan untuk kepentingan negatif. Akun-akun bot bakal bisa dicegah ketika melakukan unggahan.

Dengan identifikasi biometrik yang akurat, individu tidak akan bisa membuat banyak akun palsu yang digunakan untuk menyebar opini seolah-olah didukung oleh banyak orang.

“Bahkan jika diimplementasikan dengan baik, sistem World ID ini bisa membantu mencegah penyalahgunaan identitas, di mana satu individu akan terdeteksi jika membuat KTP, SIM, atau parpor lebih dari satu kali,” tutur Alfons.

“Karena meskipun orangnya bisa ganti nama dan identitasnya, tetapi biometriknya akan tetap sama dan terdeteksi oleh sistem.”

Terkait kekhawatiran kebocoran data, dia menilai, risiko itu memang selalu ada. Namun, bila data dienkripsi dan diaudit oleh institusi tepercaya, maka keamanan tetap bisa dijamin.

Apalagi, sudah banyak data pribadi warga Indonesia yang dikelola perusahaan asing, seperti data di Google Maps, WhatsApp, Cloud, Meta, Microsoft App, dan Waze. Data di berbagai aplikasi itu sangat berharga dan berbahaya kalau sampai bocor atau disalahgunakan.

“Tapi kita tenang-tenang saja. Karena apa? Karena manfaatnya besar dan dikelola oleh perusahaan yang cukup bertanggung jawab,” ucap Alfons.

“Jadi agak memperihatinkan kalau pemerintah kurang menyadari hal ini. Harusnya (World ID) diberikan kesempatan.”

Dia menyarankan Komdigi memanfaatkan sistem World ID, dengan syarat meminta data biometrik orang Indonesia di server dalam negeri dan bisa diawasi. “Kalau mereka patuh, Komdigi berikan dukungan,” ujar Alfons.

“Jadi, justru Indonesia bisa dapat teknologi yang baik dan data masyarakat tetap aman.”

img
Nofal Habibillah
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan