Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi melontarkan rencana mengirim siswa yang dianggap bermasalah di Jawa Barat supaya dididik di barak militer. Kebijakan itu, wacananya bakal direalisasikan pada 2 Mei 2025. Dedi menuturkan, wacana itu merupakan bagian dari pendidikan karakter, bekerja sama dengan TNI dan Polri, yang akan mulai dilakukan di beberapa wilayah di Jawa Barat yang dianggap rawan.
Setiap siswa, kata dia, akan mengikuti program tersebut di 30 hingga 40 barak khusus yang sudah disiapkan TNI. Peserta program dipilih berdasarkan kesepakatan antara sekolah dan orang tua, dengan prioritas pada siswa yang sulit dibina atau terindikasi terlibat dalam pergaulan bebas maupun tindak kriminal. Program pembinaan berlangsung enam bulan per siswa.
“Selama enam bulan siswa akan dibina di barak dan tidak mengikuti sekolah formal. TNI yang akan menjemput langsung siswa ke rumah untuk dibina karakter dan perilakunya,” kata Dedi di Bandung, Minggu (27/4), dikutip dari Antara.
Menurut pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan, barak militer tidak diperuntukkan menjadi semacam tempat rehabilitasi bagi anak-anak yang bermasalah. Lagi pula, label siswa bermasalah sangat ambigu.
“Anak bermasalah itu harus dimasukkan dalam beberapa kategori, masalahnya juga harus jelas,” kata Cecep kepada Alinea.id, Rabu (30/4).
“Kalau masalah narkoba, ya dipanggil rehabilitasi. Kalau (masalah) kekerasan dan segala macam, berarti itu harus (melibatkan) multi-stakeholder.”
Cecep mengatakan, maksud Dedi akan mengirim siswa yang dinilai bermasalah ke barak militer, mungkin bertujuan agar karakternya menjadi baik. Namun, kata dia, seharusnya melibatkan pihak sekolah, guru bimbingan dan penyuluhan (BP), dan psikolog.
“Tergantung pada persoalannya,” tutur Cecep.
Terlebih, menurut Cecep, mengirim siswa bermasalah ke barak militer belum tentu relevan dengan persoalan siswa tersebut. “Tidak seluruh masalah bisa dimasukkan ke barak,” ujar Cecep.
Selain itu, Cecep memandang, perlu pula memperhatikan kurikulum pendidikan, jika siswa benar-benar dikirim ke barak militer. “Kurikulum pendidikan di baraknya kayak apa? Itu juga harus dipahami,” kata Cecep.
Cecep melanjutkan, pendekatan konseling bisa dioptimalkan untuk siswa yang bermasalah secara psikis. Sedangkan, pendekatan militer merupakan metode disiplin ala militer yang ketat.
“Kalau di sekolah pendekatannya apa? Konseling, yang itu disentuh psikologisnya,” tutur Cecep.
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, wacana pengiriman siswa bermasalah ke barak militer terlalu berlebihan. Dia mengingatkan, tidak bisa melihat anak-anak di sekolah dengan kacamata orang dewasa.
“Yang dianggap bermasalah itu siapa? Bisa jadi, justru yang menganggap mereka bermasalah itulah yang sebenarnya bermasalah,” kata Ubaid, Rabu (30/4).
Dia menilai, banyak orang dewasa cenderung melihat perilaku anak-anak dari sudut pandang sendiri, tanpa memahami dunia mereka. Menurut dia, tindakan seperti bolos sekolah atau bermain futsal saat jam pelajaran sering kali langsung dicap sebagai kenakalan. Padahal, perilaku itu bisa mencerminkan kebutuhan anak untuk berekspresi atau mengejar minat dan bakatnya, yang tidak terfasilitasi di sekolah.
Ubaid percaya, kebijakan pengiriman siswa ke barak militer tidak akan memperbaiki hubungan antara siswa, guru, dan orang tua. Dia justru menekankan pentingnya memperkuat sistem pendidikan dengan melibatkan semua pihak, termasuk siswa itu sendiri.
“Kita jarang sekali mau mendengarkan suara anak-anak,” kata dia.
“Kita punya agenda sendiri, lalu kita justifikasi mereka sesuai dengan standar kita. Padahal, suara mereka sangat penting.”
Dia menyarankan agar pendekatan yang digunakan untuk menangani perilaku siswa lebih humanis dan partisipatif. Misalnya, dalam kasus tawuran atau keterlibatan geng motor, perlu ada ruang dialog untuk memahami alasan di balik perilaku mereka. Bisa jadi, kata dia, siswa merasa tidak aman dan nyaman di sekolah hingga akhirnya mencari pelarian di luar.
“Jadi jangan langsung menyalahkan siswa. Bisa jadi yang bermasalah adalah gurunya atau sistem sekolahnya," ucap Ubaid.