sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengunjungi panti sosial gangguan jiwa

Selama ini orang dengan gangguan jiwa mendapat perlakuan diskriminatif dan terstigma.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Rabu, 10 Okt 2018 20:02 WIB
Mengunjungi panti sosial gangguan jiwa

“Halo suster.”

Seorang perempuan menyapa saya, sembari melemparkan senyumnya. Saat itu, saya baru saja tiba di halaman Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2, Cipayung, Jakarta Timur. Perempuan tadi merupakan orang dengan gangguan jiwa. Dia warga binaan panti.

Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 merupakan salah satu panti sosial di bawah Dinas Sosial DKI Jakarta, yang menampung orang dengan gangguan jiwa. Berdasarkan Keputusan Menteri Sosial Nomor 50/HUK/2004, panti sosial ini memiliki tugas untuk memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat mental bekas psikotik, agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam masyarakat.

Panti ini cukup luas. Setidaknya, ada tiga bangunan wisma besar yang menampung para warga binaan. Di panti tersebut juga terdapat dua kolam ikan yang berisi bibit nila. Ada pula puluhan ekor kelinci dan kambing. Semua hewan di peternakan kecil tersebut dikelola secara mandiri oleh warga binaan.

Saat saya berkunjung, sedang ada pembekalan yang diberikan para pendamping. Warga binaan duduk melingkar. Materinya bermacam-macam, ada kelas pembinaan mental di surau panti, bank sampah, berbicara, menyanyi, beternak, dan mencuci.

Mereka dari jalanan

Panti ini menampung 606 orang dengan gangguan jiwa. Kepala Bagian Sosial Pembinaan Panti Sosial Bina Laras 2 Nurlaela mengatakan, idealnya panti ini hanya menampung 575 orang dengan gangguan jiwa. Jumlah tersebut, rasanya timpang dengan pendamping yang hanya 28 orang.

“Saya akui, kita memang masih kekurangan tenaga pendamping. Satu orang pendamping saat ini untuk 20 hingga 30 orang,” kata Nurlaela, Rabu (10/10).

Sponsored

Sementara itu, Kepala Tata Usaha Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Entie mengatakan, panti sosial ini mendapatkan orang dengan gangguan jiwa terbanyak dari razia jelang perhelatan Asian Games 2018 beberapa waktu lalu.

Saat itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memerintahkan penertiban penyandang masalah kesejahteraan sosial, termasuk orang dengan gangguan jiwa.

“Panti Sosial Bina Laras Cipayung saat itu menerima 50 orang dengan gangguan jiwa. Jumlah itu terbanyak yang kita terima,” kata Entie.

Menurut pengakuan Entie, biasanya Panti Sosial Bina Laras 2 hanya menerima 10 hingga 20 orang dengan gangguan jiwa.

Entie menuturkan, orang dengan gangguan jiwa yang ditampung di panti sosial ini memang berasal dari jalanan.

“Mereka (warga binaan) terjaring razia Satpol PP (di jalanan), dan dikirim ke sini,” kata Entie.

Menurut Entie, sebelum dikirim ke panti sosial ini, orang dengan gangguan jiwa itu dikumpulkan terlebih dahulu di Panti Sosial Bina Laras 1 di Cengkareng. Di sana, mereka dibina dan diberikan tes untuk melihat kemampuanya. Jika gangguan jiwanya tergolong berat, mereka akan tinggal di Panti Sosial Bina Laras 1 Cengkareng.

Selain Panti Sosial Bina Laras 2, di Jakarta, orang dengan gangguan jiwa juga ditampung di Panti Sosial Bina Laras 1 di Cengkareng, Jakarta Barat; dan Panti Sosial Bina Laras 3 di Daan Mogot, Jakarta Barat.

Semuanya ditampung berdasarkan tingkat kejiwaan, mulai dari berat hingga ringan. Setiap panti sosial tadi warga binaannya memiliki tingkat gangguan jiwa berbeda-beda. Panti sosial yang saya kunjungi menampung orang dengan gangguan jiwa tingkat menengah.

“Nanti, mereka bisa naik kelas dan dikirim ke sini (Cipayung). Di sini juga, kalau kondisinya sudah membaik, nanti mereka dikirim ke Panti Sosial Bina Laras 3 di Daan Mogot,” ujar Entie.

Berdasarkan data dari situs data.jakarta.go.id, pada Mei 2018 jumlah warga binaan di tiga panti sosial sebanyak 2.826 orang. Sementara, jumlah orang dengan gangguan jiwa yang terdata Dinas Sosial Jakarta dari Januari 2018 hingga September 2018 sebanyak 1.072 orang.

Warga binaan Panti Bina Laras 2, Cipayung, diberikan obat setelah makan siang. (www.facebook.com/DinsosDKI).

Stigma

Selama ini orang dengan gangguan jiwa mendapat perlakuan diskriminatif dan terstigma. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat pernah melaporkan, masyarakat masih kerap menganggap orang dengan gangguan jiwa sebagai individu yang tak mampu berpikir rasional, sulit diajak bicara, dan membahayakan masyarakat.

Stigma tentang orang dengan gangguan jiwa tak dibantah Entie. Dia mengatakan, ketika pihak panti ingin memulangkan warga binaan, keluarga mereka seringkali menolak.

“Terkadang, ada beberapa keluarga yang melihat mereka (warga binaan) itu merepotkan. Ada juga keluarga yang sampai komentar ‘yah, ngapain pulang sih?’,” kata dia.

Bahkan, Entie pernah berkelahi dengan keluarga warga binaan, karena tak mau menerima kembali orang dengan gangguan jiwa yang ingin pulang. Padahal, menurut Entie, ada sanksi bagi orang yang menelantarkan orang dengan gangguan jiwa, yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.

Warga binaan diperkenankan kembali ke rumah, bila mereka sudah ingat asal dan alamat rumah.

“Biasanya, kita tanya hingga tiga kali. Kalau mereka konsisten menjawab dengan jawaban yang sama, baru deh kita pulangin,” ujar Entie.

Tak bisa pukul rata

Saya menghubungi psikolog klinis dewasa Liza Marielly Djaprie untuk mengetahui lebih jauh mengenai orang dengan gangguan jiwa. Liza mengatakan, gangguan jiwa memiliki definisi yang sangat luas.

“Kita lebih enak menggunakan istilah gangguan psikologis. Gangguan psikologis itu sederhananya gangguan yang mengganggu fungsi hidup seseorang sehari-hari,” kata Liza.

Liza mengatakan, setiap orang yang mengalami gangguan psikologis, penanganannya tidak bisa dipukul rata. Namun, yang saya lihat di Panti Sosial Bina Laras 2, semua warga binaan mendapat perlakuan pembinaan yang sama. Liza memandang, kasus di panti sosial kemungkinan karena dana atau petugas yang kurang.

“Makanya pembinaannya dipukul rata seperti itu,” katanya.

Psikolog yang berpraktik di Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta Selatan tersebut, juga mengamati sebagian besar warga binaan adalah penderita skizofrenia.

“Sederhananya, skizofrenia itu ada sesuatu yang ‘korsleting’ di otak penderitanya. Mereka tidak bisa membedakan antara realita dan halusinasi,” katanya.

Orang-orang dengan gangguan skizofrenia, menurut Liza, bisa sembuh terkontrol. Mereka harus kontrol berkala untuk mendapatkan obat.

Obat yang diberikan bagi penderita skizofrenia, lanjut Liza, biasanya obat antipsikotik. Namun, jika ada gejala depresi, obat antipsikotik tersebut biasanya didampingi antidepresan.

Di Sanatorium Dharmawangsa, menurut Liza, pasien gangguan psikologis bisa kembali pulang jika telah memenuhi penilaian dari psikiater.

“Bisa mandiri melakukan aktivitas sehari-hari, dan tidak ada gejala agresivitas lagi, seperti berteriak-teriak dan mengamuk,” kata dia.

Orang dengan gangguan jiwa perlu penanganan yang tepat dan manusiawi. Masyarakat pun harus sadar, mereka ingin sembuh. Tak boleh lagi ada diskriminasi dan stigma.

Berita Lainnya
×
tekid