close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kelelawar./Foto James Wainscoat/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi kelelawar./Foto James Wainscoat/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Kesehatan
Minggu, 18 Mei 2025 06:19

Organoid kelelawar buka jalan bagi kewaspadaan hadapi pandemi

Organoid adalah versi miniatur sederhana dari sebuah organ, yang diproduksi di laboratorium.
swipe

Kelelawar adalah hewan yang telah diidentifikasi sebagai inang bagi varian virus menular dan mematikan, seperti severe acute respiratory syndrome (SARS), middle east respiratory syndrome (MERS), termasuk Covid-19.

Kelelawar hidup tiga hingga 10 kali lebih lama dari mamalia lainnya dengan berat yang sama. Mereka juga hidup di gua-gua yang berdekatan dalam jumlah puluhan ribu. Gua-gua tempat tinggal kelelawar berfungsi sebagai ruang kultur yang optimal bagi perkembangan virus. Ada 137 spesies virus yang ditemukan pada kelelawar, dengan 61 di antaranya diketahui dapat menginfeksi manusia. Masalahnya, kelelawar liar sulit ditangkap, sehingga membuat eksperimen menjadi sulit.

“Karena kita tidak dapat menggunakan kelelawar yang terbang untuk setiap eksperimen, diperlukan sistem untuk mereplikasi organ kelelawar di laboratorium,” ujar Direktur Pusat Rekayasa Genom Institute for Basic Science (IBS) yang juga penulis studi, Koo Bon-Kyoung dalam Chosun Biz.

Meski demikian, dipimpin beberapa ilmuwan dari IBS dan sejumlah peneliti lainnya di Korea Selatan, terobosan baru diciptakan. Mereka membuat teknologi organoid. Organoid adalah “organ mini” yang dibuat dengan membudidayakan sel induk yang dapat tumbuh menjadi semua sel makhluk hidup dalam struktur yang mirip dengan organ asli. Sebelumnya, para peneliti telah membudidayakan sel manusia atau hewan di laboratorium untuk menumbuhkan patogen atau menguji obat.

Organ mini terlengkap di dunia ini dibuat dari lima spesies kelelawar yang banyak ditemukan di Asia dan Eropa, serta mewakili empat organ yang berbeda, seperti saluran napas, paru-paru, ginjal, dan usus halus.

Penelitian mereka diterbitkan di jurnal Science (Mei, 2025) berjudul “Diverse bat organoids provide pathophysiological models for zoonotic viruses.”

Platform organoid kelelawar ini menandai era baru dalam penelitian penyakit menular, yang memungkinkan penelitian virus berbahaya secara aman dan efektif dalam lingkungan yang sangat mirip dengan kehidupan nyata.

Untuk pertama kalinya, para peneliti dapat menyaring virus baru, menilai risikonya, dan menguji obat-obatan menggunakan jaringan kelelawar dari berbagai spesies dan organ.

“Dengan organoid kelelawar yang terstandarisasi dan terukur ini, kami bermaksud mengidentifikasi virus baru yang berasal dari kelelawar secara sistematis dan menyaring kandidat antivirus yang menargetkan patogen dengan potensi pandemi,” kata Direktur Institut Penelitian Virus Korea di Institute for Basic Science sekaligus penulis studi itu, Choi Young Ki, dikutip dalam situs web Institute for Basic Science.

Berbekal alat-alat baru itu, para peneliti bisa langsung menguji bagaimana virus-virus utama, termasuk SARS-CoV-2, MERS, influenza A, dan hantavirus, menginfeksi berbagai spesies dan organ kelelawar. Mereka menemukan setiap virus berperilaku unik, terkadang hanya menginfeksi organ atau spesies kelelawar tertentu.

Misalnya, virus yang tumbuh dengan mudah di paru-paru satu kelelawar mungkin gagal tumbuh di ginjal kelelawar lain. Hal ini membantu menjelaskan mengapa beberapa virus dapat menular ke manusia, sedangkan yang lain tetap terbatas pada kelelawar.

“Platform ini memungkinkan kita mengisolasi virus, mempelajari infeksi, dan menguji obat-obatan dalam satu sistem. Sesuatu yang tidak dapat Anda lakukan dengan model sel lab biasa. Dengan meniru lingkungan alami kelelawar, platform ini meningkatkan akurasi dan nilai nyata dari penelitian penyakit menular,” ujar Koo Bon-Kyoung dalam situs web Institute for Basic Science.

Para peneliti juga mengungkap misteri lain, yakni sistem kekebalan kelelawar merespons virus yang sama secara berbeda, tergantung pada organ dan spesiesnya. Hal ini dapat membantu menjelaskan mengapa kelelawar mampu membawa begitu banyak virus tanpa menjadi sakit.

Penemuan lainnya, dua virus kelelawar yang sebelumnya tidak diketahui, yakni virus orthoreo mamalia dan paramyxo, yang ditemukan di kotoran kelelawar liar. Salah satu virus tersebut tidak dapat tumbuh dalam kultur sel standar, tetapi tumbuh subur dalam organoid kelelawar baru.

Dengan mengubah organoid menjadi versi dua dimensi, para peneliti memungkinkan pengujian obat antivirus potensial, seperti remdesivir, dengan cepat. Ilmuwan menguji efek obat remdesivir pada virus mutan yang berasal dari kelelawar. Mereka menyatakan, penggunaan organoid memungkinkan pengamatan yang lebih tepat terhadap efek penghambatan infeksi agen antivirus dibandingkan dengan eksperimen sel konvensional.

Akan tetapi, proses penelitian tidak berjalan mulus. Banyak kelelawar di Korea yang diklasifikasikan sebagai spesies yang dilindungi, sehingga sulit untuk dikoleksi. Informasi genom pun kurang, sehingga menyulitkan analisis.

“Pada akhirnya, platform ini akan mendukung upaya organisasi kesehatan, termasuk World Health Organization (WHO), untuk memprediksi dan mencegah pandemi di masa mendatang,” tulis Institute for Basic Science.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan