sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Waktu kerja di Korsel berkurang menjadi 52 jam

Korsel berada di urutan ketiga dari 37 negara di mana warganya bekerja hampir 38,9 jam setiap minggunya.

Dika Hendra
Dika Hendra Selasa, 03 Jul 2018 15:05 WIB
Waktu kerja di Korsel berkurang menjadi 52 jam

Korea Selatan (Korsel) dikenal gila kerja. Itu dikarenakan etos kerja dan kebijakan pemerintah yang memberlakukan jam kerja yang panjang.

Kini, Pemerintah Korsel mengurangi batas minimal jam kerja dari 68 menjadi 52 jam per minggu. Langkah itu didukung parlemen untuk mengurangi para pekerja Korsel di kantor.

Korsel berada di urutan ketiga dari 37 negara di mana warganya bekerja hampir 38,9 jam setiap minggunya. Berbeda dengan Jerman dan Denmark di mana warganya hanya bekerja selama 26 dan 27 jam setiap pekannya.

“Perubahan aturan jam kerja itu menjadi hal yang menyenangkan,” kata Ellen Kossek, profesor manajemen di Universitas Krannert, dilansir CNN pada Selasa (3/7).

“Saya pikir kebijakan itu sebagai langkah tepat dengan arah yang tepat. Saya tahu hal itu berkaitan dengan penurunan tingkat kesuburan dibandingkan kekhawatiran terhadap permasalahan ekonomi. Pemerintah juga mengkhawatirkan kondisi kesehatan rakyatnya,” jelasnya.

Undang-undang itu akan diimplementasikan pada perusahaan yang memiliki lebih dari 300 karyawan. Sedangkan perusahaan berskala kecil akan diterapkan mulai 2020 dan 2021.

Program keseimbangan kerja dan kehidupan juga diterapkan di Balai Kota Seoul di mana setiap Jumat malam para pekerja pemerintahan diminta untuk pulang lebih cepat.

Korsel mengalami pertumbuhan yang impresif setelah Perang Dunia II. Salah satu faktornya adalah jam kerja yang panjang, pendidikan tinggi, dan peningkatan perempuan sebagai angkatan kerja. “Keajaiban ekonomi menjadikan jam kerja panjang dan tingkat angka kelahiran menurun,” kata Kossek.

Sponsored

Perempuan di Korsel memiliki rata-rata 1,2 anak per kapita dan menjadi negara dengan tingkat kesuburan paling rendah di dunia. “Populasi Korsel pun semakin menua,” ujar Kossek.

Kesibukan dengan pekerjaan juga berkaitan dengan tingginya tingkat bunuh diri. Terlalu sibuk di kantor mengakibatkan banyak perempuan enggan menikah dan memiliki anak. “Lama kelamaan itu akan menciptakan ketidakstabilan sosial,” jelas Kossek. Pengurangan jam kerja menjadi solusi terbaik sehingga orang lebih fokus pada keluarga dan menghindari sakit parah.

Kemudian, gaya hidup suka kerja, menurut Jeffrey Pfeffer, profesor dari Universitas Stanford, mengakibatkan banyak warga Korsel mengalami gangguan kesehatan seperti penyakit jantung. Dia mengatakan, tempat kerja menciptakan kondisi buruk bagi pekerjanya hingga dapat mengalami gangguan kesehatan, dan perusahaan pun mengalami kerugian.

Dikarenakan sakit, produktivitas pekerja semakin menurun. Jam kerja yang ekstra tinggi bukan ide bagus untuk sebuah perusahaan.

“Jika kamu capek, kamu tidak akan efisien. Itu dikarenakan orang harus ekstra siaga dalam bekerja, seperti sopir truk dan pilot. Saya menyarankan untuk pembatasan jam kerja,” kata Pfeffer.

Dia mengungkapkan, jika orang terlalu lelah, maka ketika bekerja mereka akan melakukan banyak kesalahan. “Orang yang capek, tidak akan kreatif dan produktif,” ujar Pfeffer.

Berita Lainnya
×
tekid