close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi dukun di Korea./Foto Frames For Your Heart/Unsplash.com
icon caption
Ilustrasi dukun di Korea./Foto Frames For Your Heart/Unsplash.com
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 03 Juni 2025 15:57

Ramalan dukun dalam pusaran politik Korea Selatan

Tradisi perdukunan, yang berakar dari Shamanisme, sudah melekat selama berabad-abad.
swipe

Pada Selasa (3/6), Korea Selatan menggelar pemilu presiden, setelah pemakzulan dan pemecatan Yoon Suk-yeol beberapa waktu lalu. Ada tiga kandidat utama dalam pemilihan presiden ini, antara lain Lee Jae-myung dari Partai Demokrat, Kim Moon-soo dari Partai Kekuatan Rakyat, dan Lee Jun-seok dari Partai Reformasi Baru.

Meski pemungutan suara baru dimulai, beberapa mudang—sebutan dukun perempuan di Korea Selatan—sudah meramal siapa pemenangnya. Kepada AFP, seorang mudang bernama Yang percaya Lee Jae-myung sebagai presiden terpilih. Ramalan itu sejalan dengan semua jajak pendapat di negara itu, yang menempatkan Jae-myung tertinggi perolehan suaranya.

“Sejak awal, saya melihat Lee Jae-myung menjadi presiden,” kata Yang kepada AFP.

“Saya melihat aura kepresidenan.”

Shamanisme—praktik spiritual yang menekankan peran shaman, seorang yang dipercaya memiliki kemampuan berkomunikasi dengan roh dan dunia gaib—sudah membentuk kultur dan kepercayaan di semenanjung Korea selama berabad-abad. Akarnya bisa ditelusuri hingga Gojoseon—dinasti pertama di Korea. Pendirinya, Dangun, dipercaya sebagai dukun pertama.

Dalam beberapa tahun terakhir, disebut Korea Times, permintaan layanan ramalan nasih pun meningkat di Korea Selatan. Menurut data Bank Shinhan, pengeluaran orang Korea untuk membaca nasib telah meningkat sebesar 13% dalam setahun terakhir.

Warga Korea Selatan secara rutin masih meminta nasihat kepada dukun tentang segala hal, mulai dari kehidupan cinta hingga keputusan bisnis. Pencatat organisasi perdukunan terbesar di negara itu mencatat, ada 300.000 orang yang menjalankan praktik perdukunan di negara itu.

Hubungan presiden dan dukun

Beberapa pemimpin di Korea Selatan pun punya penasihat spiritual dan dekat dengan praktik perdukunan. Presiden Park Geun-hye yang memerintah pada 2013 hingga 2017 misalnya, memiliki seorang penasihat spiritual bernama Choi Soon-sil. Soon-sil dituduh membujuk Geun-hye untuk mengenakan aksesori dengan simbol perdukunan.

Geun-hye sendiri dimakzulkan dari jabatannya pada 2017 karena skandal penyalahgunaan pengaruh yang melibatkan klaim partisipasi dalam ritual perdukunan. Menurut Korea Herald, ayah Soon-sil, Choi Tae-min, pernah mengaku sebagai pendeta dan pendiri sekte Church of Eternal Life.

Sementara ayah Geun-hye, yakni Park Chung-hee, yang menjabat sebagai presiden dari 1962-1979 mengandalkan ramalan dalam menentukan tanggal untuk mengumumkan darurat militer. Presiden Korea Selatan tahun 1998 hingga 2003, Kim Dae-jung, disebut-sebut telah memindahkan makam ayahnya dengan harapan memenangkan pemilihan presiden atas saran seorang dukun.

“Ada rumor, Kim memindahkan makam tersebut setelah kalah dalam tiga pemilihan presiden, sebelum terpilih pada percobaan keempat,” tulis Korea Herald.

Korea Herald menulis, selama hampir dua tahun menjelang pengumuman darurat militer mendadak oleh Presiden Yoon Suk-yeol pada awal Desember 2024, seorang mantan kepala intelijen militer Noh Sang-won, dilaporkan meminta bantuan seorang peramal di daerah Gunsan.

Selama lebih dari 20 kunjungan, dia menanyakan tentang nasib sejumlah pejabat militer, termasuk mantan Menteri Pertahanan Kim Yong-hyun—yang sekarang ditahan dan beberapa orang lain yang lalu dituduh memainkan peran kunci dalam pemberlakuan aturan militer yang gagal.

Sang-won bukan hanya pelanggan tetap seorang peramal nasib. Dia juga dikabarkan seorang dukun. Nasib Sang-won sendiri berakhir dengan tuduhan pemberontakan dan membantu Yoon menyusun rencana darurat militernya.

Pada April 2025, jaksa menggeledah kediaman Yoon Suk-yeol di Seoul sebagai bagian dari penyelidikan korupsi, yang melibatkan seorang penasihat spiritual bernama Jeon Seong-bae atau Geonjin.

Dikutip dari Korea Times, Seong-bae tengah diselidiki atas dugaan menerima dana politik ilegal dari para kandidat dalam pemilihan daerah 2018. Dia ditangkap pada Desember 2024 atas tuduhan melanggar Undang-Undang Dana Politik, yang mengatur cara partai politik dan politisi dapat mengumpulkan, mengelola, dan membelanjakan uang untuk kegiatan mereka.

Saat debat kandidat Presiden Korea Selatan tahun 2021 lalu, Yoon pun dikecam karena menunjukkan huruf Mandarin “raja” dengan tinta hitam di telapak tangannya. Seorang juru bicara tim kampanye Yoon ketika itu menjelaskan, gambar huruf itu dibuat oleh seorang pendukungnya. Namun, para pesaing Yoon dan politisi konservatif, seperti mantan Wali Kota Daegu Hong Joon-pyo mengatakan, intervensi dukun merusak kualitas pemilihan.

“Sejarah negara itu penuh dengan pemimpin yang disesatkan oleh penasihat spiritual yang tidak bermoral,” kata sosiolog di Universitas Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST) Lee Won-jae kepada AFP.

“Dalam hal mendramatisir politik, tidak ada yang lebih efektif daripada mengangkat tema perdukunan.”

Menurut profesor ilmu politik dan studi internasional di Universitas Nasional Incheon, Lee Jun-han, secara historis, negara mengandalkan ramalan saat membuat keputusan penting, seperti berperang.

“Dalam sejarah modern Korea, ada beberapa kasus di mana calon presiden mengandalkan ramalan untuk mencalonkan diri atau tidak, dan dicurigai mendengarkan nasihat perdukunan agar dapat terpilih,” tutur Jun-han kepada Korea Herald.

Meski begitu, pada kenyataannya, sikap masyarakat Korea Selatan terhadap dukun terbilang rumit. “Pada dasarnya, orang Korea tidak ingin mengungkapkan mereka menggunakan jasa perdukunan,” kata profesor riset dan pakar agama Korea dari Universitas Sogang, Kim Dong-kyu, dikutip dari The World.

“Saya pikir itu karena ada gambaran tentang dukun Korea dan perdukunan jauh di dalam pikiran orang Korea kalau mereka tidak dapat dipercaya. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, mereka pergi ke kuil dukun dan terkadang mereka mensponsori gut (ritual shamanisme). Jadi, itulah mengapa, saya menyebutnya semacam aspek ambivalen dari perdukunan Korea modern.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan