close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi seseorang dengan ADHD./Foto Tara Winstead /Pexels.com
icon caption
Ilustrasi seseorang dengan ADHD./Foto Tara Winstead /Pexels.com
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 28 Desember 2023 18:10

Segala risiko pada seseorang yang mengidap ADHD

Gejala gangguan mental ADHD ditandai dengan kurangnya pemusatan perhatian, lupa, mudah teralih, hiperativitas, dan gelisah.
swipe

Konten kretor Fujianti Utami Putri atau dikenal dengan Fuji, mengaku mengidap attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) atau gangguan mental pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Ia mengetahui dirinya mengidap ADHD pada 2022 dari seorang psikolog. Kondisi kesehatan mentalnya itu menyebabkan ia tak boleh mengonsumsi gula berlebihan.

Menurut dua peneliti dari University of Cambridge, Barbara Jacquelyn Sahakian dan Christelle Langley dalam the Conversation ADHD adalah salah satu gangguan kesehatan mental paling umum pada anak-anak, memengaruhi 7,2% dari populasi di bawah usia 18 tahun di seluruh dunia. Banyak dari anak-anak ini akan tetap memiliki ADHD pada masa remaja dan dewasa.

Sementara Timothy E. Wilens dan Thomas J. Spencer dari Massachusetts General Hospital and Harvard Medical School dalam penelitiannya di Postgraduate Medicine (September, 2010) menulis, ADHD memengaruhi sekitar 4% hingga 12% anak usia sekolah di seluruh dunia. Lalu, 4% hingga 5% mahasiswa dan orang dewasa pun mengidap ADHD.

“Dalam beberapa tahun terakhir, pengakuan dan diagnosis ADHD pada orang dewasa telah meningkat karena pengobatan orang dewasa dengan ADHD masih jauh tertinggal dari anak-anak,” kata Wilens dan Spencer.

Sahakian dan Langley menyebut, merujuk National Health Interview Survey, prevalensi ADHD yang didiagnosis pada anak-anak dan remaja berusia empat hingga 17 tahun dalam 20 tahun terakhir meningkat dari 6,1% menjadi 10,2% di Amerika Serikat. Di Inggris, diperkirakan penggunaan obat ADHD telah meningkat hampir 800% dari 2000 hingga 2015.

Gejala gangguan mental ini ditandai dengan kurangnya pemusatan perhatian, lupa, mudah teralih, hiperativitas, gelisah, berbicara berlebihan, impulsivitas, kesulitan menunggu giliran, dan sering menginterupsi orang lain.

“Sebagian besar individu dengan ADHD memiliki gangguan komorbid, termasuk gangguan oposisional, kecemasan, atau suasana hati,” tulis Wilens dan Spencer.

Ajay Singh, Chia Jung Yeh, Nidhi Verma, dan Ajay Kumar Das dari Murray State University, East Carolina University, dan Kurukshetra University dalam riset yang diterbitkan Health Psychology Research (September, 2015) menjelaskan, komorbiditas bisa berarti adanya etiologi mendasar yang menyebabkan dua atau lebih gangguan yang berbeda, atau satu gangguan menyebabkan gangguan lain, atau dua gangguan yang tak terkait terjadi bersamaan.

Singh dkk menulis, sekitar 50%-60% anak dengan ADHD memenuhi kriteria untuk gangguan perhatian oposisional (oppositional defiant disorder/ODD), bahkan pada periode prasekolah. Kondisi gangguan perilaku (conduct disorder/CD) dengan ADHD mencapai 20%-50% pada anak-anak dan 44% hingga 50% pada remaja dengan ADHD. Pada orang dewasa, 26% mungkin terus mengalami gangguan perilaku, sedangkan 12% hingga 21% didiagnosis mengalami gangguan kepribadian antisosial.

Sementara Wilens dan Spencer menulis, tingkat tinggi berbagai gejala kecemasan ada pada ADHD dan bisa muncul sebagai gejala sosial, umum, atau mirip serangan panik. ADHD dapat pula meningkatkan kemungkinan memiliki gangguan depresi, setidaknya dua kali lipat. Bahkan, bipolar disorder berkaitan dengan ADHD. Di sisi lain, Sahakian dan Langley menulis kondisi ADHD juga disertai dengan masalah pengendalian diri, yang memengaruhi kemampuan mengatur emosi.

“2,1% anak dengan diagnosis ADHD juga memiliki gangguan suasana hati, seperti depresi, sementara 27,4% memiliki gangguan kecemasan. Banyak juga mengalami ledakan agresi verbal atau fisik,” ujar Sahakian dan Langley.

Dalam riset bersama peneliti di Universitas Fudan di China yang diterbitkan Nature Medicine, Sahakian dan Langley mengidentifikasi dasar otak umum yang disebut faktor neuropsikopatologis, yang mendasari gejala beberapa gangguan kesehatan mental, dari depresi hingga ADHD.

“Banyak kondisi kesehatan mental mungkin terkait dengan masalah ‘pemangkasan sinapsis’ yang bersifat genetik dan bersatu,” ujar Sahakian dan Langley.

Lazimnya, proses itu terjadi pada masa kanak-kanak. Masalah ini dapat menjadi penyebab mendasar, kata mereka, menjelaskan mengapa anak-anak dengan ADHD sering memiliki gangguan kesehatan mental lainnya. Perkembangan tertunda dari korteks prefrontal, menurut

Sahakian dan Langley, juga dapat menjelaskan mengapa anak-anak dengan ADHD sering mengalami defisit kognitif, seperti masalah perencanaan, pengendalian diri, dan ingatan.

Menurut Singh dkk, faktor genetik memberikan kontribusi kuat pada kejadian ADHD. Selain itu, efek lingkungan, yang mencakup pengalaman anak yang spesifik terhadap pengaruh lingkungan, seperti gaya hidup atau pola asuh ibu pun berpengaruh terhadap ADHD.

Jika tak diberikan pengobatan, ADHD membawa dampak signifikan pada akademis, pekerjaan, sosial, dan intrapersonal. Singh dkk menyebut, anak-anak dengan ADHD fungsi akademis dan pendidikannya terganggu.

“Anak-anak ADHD lebih mungkin daripada teman mereka yang bukan ADHD menunjukkan kesulitan dalam matematika dasar dan keterampilan pra-baca selama tahun pertama mereka di sekolah,” ujar Singh dkk.

Di samping itu, anak-anak dengan ADHD menunjukkan kesulitan serius dalam fungsi psikososial. Tingkat tinggi perilaku gangguan anak-anak dengan ADHD meningkatkan kemungkinan reaksi negatif dari orang tua, guru, dan teman sebaya.

Lantas, bagaimana pengobatannya? Sahakian dan Langley mengatakan, pengobatan utama untuk ADHD disebut metilfenidat atau ritalin. Metilfenidat diberikan untuk meningkatkan perhatian, ingatan, dan pengendalian kognitif. Metilfenidat pun secara signifikan mengobati gejala emosional pada orang dewasa dengan ADHD.

“Terapi perilaku kognitif efektif dalam mengatasi masalah pengendalian diri dan suasana hati,” tulis Sahakian dan Langley. “Ini seharusnya diberikan kepada anak-anak dengan ADHD, bersama dengan pengobatan farmakologis.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan