close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi siswa SD mengendarai sepeda listrik./Foto Dwi Cahyo/Unsplash.com
icon caption
Ilustrasi siswa SD mengendarai sepeda listrik./Foto Dwi Cahyo/Unsplash.com
Sosial dan Gaya Hidup - Pendidikan
Minggu, 11 Mei 2025 06:17

Solusi pelarangan ponsel dan sepeda motor ke sekolah

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengeluarkan kebijakan melarang siswa membawa ponsel dan sepeda motor ke sekolah.
swipe

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi beberapa waktu lalu melarang siswa sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) membawa ponsel dan sepeda motor ke sekolah. Siswa sekolah menengah atas (SMA) yang belum memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) juga dilaran membawa kendaraan pribadi ke sekolah.

Pelarangan siswa membawa sepeda motor ke sekolah, menurut Dedi, sesuai dengan aturan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Sementara soal ponsel, menurutnya, justru lebih banyak membawa gangguan ketimbang manfaat di ruang kelas. Dia ingin siswa fokus pada proses belajar, tanpa distraksi dari notifikasi media sosial atau gim.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, pelarangan total penggunaan ponsel di sekolah bisa mengganggu pembelajaran digital, yang kini telah berkembang pesat. Sebab, anak-anak sekarang sudah bertemu dengan dunia digital di mana-mana dan literasi digital masih menjadi tantangan di Indonesia.

“Ketika sekolah melarang anak-anak untuk membawa hp (handphone), maka menurut saya, sekolah harus menyediakan sarana selain hp untuk anak-anak yang bisa belajar tenang tentang dunia digital,” kata Ubaid kepada Alinea.id, Jumat (9/5).

“Tidak kemudian tidak boleh membawa hp, lalu semua yang serba digital harus dimatikan.”

Dia menyarankan, adanya pengaturan waktu penggunaan ponsel. Misalnya batas maksimal waktu di depan layar setiap hari, yang diajarkan kepada siswa sebagai bagian dari pendidikan digital.

Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri mendukung pembatasan penggunaan ponsel di sekolah. Menurutnya, jika hanya pembatasan, bukan pelarangan total, tidak mengganggu.

“Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan, penggunaan internet dengan handphone para siswa itu persentase belajarnya hanya sekitar 15%, sisanya mereka terdistraksi oleh hal-hal lain di luar pembelajaran,” ujar Iman, Rabu (7/5).

Pembatasan tersebut, di sekolah regulasinya bisa berbagai macam. Misalnya, kata dia, ponsel dikumpulkan ketika masuk sekolah; dimasukkan ke dalam loker sekolah; atau dibawa ke dalam kelas, tetapi ketika guru menerangkan ponsel harus dikumpulkan di meja guru.

“Atau mungkin pelarangannya yang paling rendah itu, seperti ketika guru menerangkan, handphone ada di kantong,” ucap Iman.

“Hal semacam itu bisa dilakukan bergradasi, sesuai dengan kondisi sekolah dan kelasnya masing-masing.”

Iman menyarankan, perlu perencanaan yang baik tentng belajar menggunakan internet. Sebab, penggunaan internet lewat ponsel siswa masing-masing masih kurang efektif.

“Bukan pembelajaran yang spontan, tidak. Hal semacam itu saya kira justru akan membuat handphone ini menjadi kurang bermanfaat,” tutur Iman.

Terkait pelarangan penggunaan sepeda motor ke sekolah, Ubaid sepakat dengan kebijakan itu. Menurut dia, anak usia sekolah belum memiliki SIM. Maka, jika jarak rumah ke sekolah jauh, Ubaid menyarankan pemerintah menyediakan penjemputan dengan bus, mobil, atau sepeda motor. Cara lainnya, pemerintah menyediakan akses ke transportasi umum.

“Jika kemudian melarang motor, lalu enggak ada solusinya, itu bermasalah nanti. Anak-anak malah enggak sekolah,” kata Ubaid.

Sedangkan Iman pun sepakat dengan pelarangan siswa menggunakan sepeda motor ke sekolah. Sebab, siswa belum layak menggunakan kendaraan pribadi karena belum memiliki SIM dan berisiko kecelakaan di jalan.

Untuk memecahkan problem jarak dari rumah ke sekolah, Iman menyarankan, pemerintah harus berusaha memaksimalkan angkutan umum yang bisa mencapai siswa tersebut.

“Di salah satu desa di Jepang, pemerintahnya tidak menutup stasiun kereta api hanya karena ada satu anak yang masih sekolah,” ucap Iman.

Stasiun kereta yang dimaksud Iman adalah Stasiun Kami-Shirataki di Pulau Hokkaido, Jepang. Stasiun kereta itu hendak ditutup karena sepi penumpang. Namun, operator Japan Railway membatalkan penutupan itu, setelah mengetahui ada seorang siswi SMA yang masih menggunakannya untuk pergi dan pulang sekolah.

“Jadi, pemerintah juga upayanya harus sekeras itu,” tutur Iman.

Iman berpendapat, pemerintah harus melakukan subsidi angkutan umum kepada siswa agar bisa sampai ke sekolah. Lalu, agar siswa tidak kaget tiba-tiba harus naik angkutan umum, maka pemerintah bisa menyediakan semacam transportasi sementara—dan lebih baik lagi permanen—semisal bus sekolah.

“Sehingga para siswa kita bisa beradaptasi dengan angkutan umum, bukan dengan sepeda motor atau kendaraan pribadi,” kata Iman.

“Ini akan bermanfaat. Kebiasaan bagus, tentu saja lingkungan juga menjadi lebih bagus.”

img
Nofal Habibillah
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan