sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Squid Game dan brutalnya jeratan utang di Korea Selatan 

Kisah hidup peserta dalam miniseri Squid Game menggambarkan realita sebagian warga Korea Selatan saat ini.

Christian D Simbolon
Christian D Simbolon Selasa, 26 Okt 2021 18:01 WIB
Squid Game dan brutalnya jeratan utang di Korea Selatan 

Bagi Seong Gi-hun (Lee Jung-jae), hidup terasa getir dan tanpa harapan. Di usianya yang menginjak paruh baya, Gi-hun adalah seorang pria miskin yang tak punya pekerjaan tetap, kecanduan berjudi, dan punya utang yang terus menggunung. 

Pada suatu hari, Gi-hun bertemu seorang pria di stasiun kereta. Sang pria menawarkan Gi-hun memainkan permainan sederhana dengan imbalan uang. Tanpa pikir panjang, Gi-hun menerima tawaran itu dan mengikuti pria tersebut ke sebuah mobil van. 

Gi-hun dibius dan pingsan selama beberapa jam. Saat membuka mata, Gi-hun telah berada di sebuah ruangan yang penuh dengan orang-orang yang mengenakan track suit serupa. Termasuk Gi-hun, total ada 456 orang di ruangan itu. Orang-orang itu adalah pemain seperti dia. Semua punya utang atau persoalan hidup seperti Gi-hun. 

Aturan main di "kamp" itu sederhana. Mereka hanya perlu memainkan sejumlah permainan anak-anak untuk memenangkan duit sekitar US$38 juta. Di pengujung rangkaian permainan itu hanya akan ada satu pemenang. Sisa pemain lainnya bakal bernasib serupa: tereliminasi atau mati. 

Begitulah gambaran cerita dalam miniseri bertajuk Squid Game yang dibuat sutradara Hwang Dong-hyuk. Tayang di Netflix sejak September 2021, Squid Game memecahkan rekor sebagai miniseri yang paling banyak ditonton pada pertengahan Oktober 2021. Lebih dari seratus juta orang telah menonton miniseri asal Korea Selatan itu. 

Red Light, Green Light, salah satu permainan yang dimainkan para peserta dalam Squid Game. /Foto Instagram Netflix Korea

Brutalnya Squid Game langsung terlihat sejak episode-episode awal. Dalam salah satu scene, Gi-hun dan kawan-kawan dipaksa bermain permainan "Red Light, Green Light" atau yang populer dengan nama "Mugunghwa" di kalangan anak-anak Korea Selatan. 

Dalam gim ini, sebuah boneka bocah perempuan raksasa disiapkan berdiri berhadapan dengan sebuah pohon, membelakangi para pemain. Secara berkala, boneka itu menyanyikan 'mugunghwa kochi pieotsumnida' yang berarti 'bunga itu telah mekar.' 

Sponsored

Sebelum lagu berakhir, para pemain harus mendekati boneka itu dan berhenti bergerak sebelum kepala boneka itu berbalik. Yang kedapatan masih bergerak saat lagu itu berakhir tewas ditembus sinar laser yang keluar dari mata boneka tersebut. 

Hwang Dong-hyuk mengaku ide cerita Squid Game muncul di kepalanya setelah bertahun-tahun menghabiskan waktu membaca manga dan manhwa dengan tema serupa: permainan dengan taruhan nyawa. Ia kemudian mengawinkan ide itu dengan realita beratnya kehidupan kaum miskin di negaranya.

"Saya membayangkan bagaimana rasanya ikut dalam permainan-permainan (yang ada di komik-komik) itu. Tetapi, saya berpikir gim itu terlalu rumit sehingga saya fokus menggunakan permainan anak-anak," ujar Dong-hyuk seperti dikutip dari Variety. 

Sebagai permainan puncak yang harus dimainkan para peserta, Dong-hyuk menggunakan Squid Game. Di Korea, permainan ini biasanya dimainkan anak-anak di sela-sela jam istirahat sekolah. "Saya merasa permainan ini merupakan permainan anak-anak paling simbolis yang bisa merepresentasikan kehidupan masyarakat saat ini," ungkap dia. 

Dalam permainan ini, sebuah kotak, sebuah segitiga, dan lingkaran digambar jadi arena permainan yang bentuknya mirip cumi-cumi. Para pemain kemudian dibagi menjadi dua: penyerang dan pemain bertahan. Kemenangan diperoleh saat penyerang bisa menginjak bagian lingkaran pada segitiga. Para pemain bertahan menang jika bisa mengusir para penyerang dari dalam arena. 

Salah satu adegan dalam miniseri Squid Game yang tayang di Netflik sejak September 2021. /Foto Instagram Netflix Korea

Realita jebakan utang 

Squid game adalah sebuah distopia imajiner. Permainan dengan taruhan nyawa seperti yang dibikin Dong Hyuk tentu saja tak ada di negeri asal K-pop itu. Namun, jebakan utang yang bikin kehidupan sebagian warga Korsel terpuruk itu nyata. 

Menurut laporan CEIC pada Desember 2020, utang rumah tangga warga Korsel mencapai kisaran 106.6% dari GDP nominal negara tersebut. Itu angka tertinggi di Asia. Pada 2020, GDP Korsel diperkirakan mencapai 
1,631 triliun US$. 

"Di Korea Selatan, rasanya seperti dunia akan berakhir jika kita jadi salah satu kreditur bermasalah," kata Yu Hee-sook, 58 tahun, seperti dikutip dari Reuters. 

Hee-sook berutang ke bank karena investasinya dalam sebuah produksi film gagal pada 2002. Selama belasan tahun, ia melakoni beragam pekerjaan untuk membayar utang tersebut. Hingga menjelang usia pensiun, ia masih mendapat telepon dari penagih utang. 

Di tengah keterbatasan pilihan pekerjaan dan tingginya bunga utang, Hee-sook merasa bak hidup di "neraka" kemiskinan. "Yang saya ingin adalah kesempatan untuk membayar kembali utang saya. Tetapi, bank seperti tidak membolehkan saya menghasilkan duit," kata dia. 

Jeratan utang yang menggunung seperti yang dialami karakter-karakter fiktif dalam Squid Game juga membekap Choi Young-soo. Dua tahun lalu, Choi bekerja sebagai teknisi informasi dan teknologi (IT) di Pangyo, hub teknologi Korsel yang mirip Silicon Valley Amerika Serikat. 

Stres dan lelah karena harus terus bekerja lembur hampir setiap hari, Choi memutuskan mundur dari pekerjaannya. Bermodal duit tabungan, Choi dan istrinya kemudian membuka sebuah pub di kampung halamannya di Incheon.

"Kami tidak berharap jadi miliarder. Kami bakal puas jika bisa memeroleh penghasilan sama seperti sebelumnya. Yang saya mau adalah lebih banyak tidur, bahkan jika hanya sejam lebih banyak per hari," kata Choi seperti dinukil dari The Guardian. 

Sempat ramai pengunjung, pub milik Choi turut jadi "korban" pandemi Covid-19. Kebijakan pemerintah yang melarang restoran buka hingga tengah malam membuat pengunjung pub terus berkurang. "Kami kadang bahkan tidak punya konsumen sama sekali," kata Choi. 

Karena terus merugi, Choi bahkan sempat menunggak sewa gedung selama empat bulan. Untuk membayar sewa dan biaya operasional, Choi terpaksa meminjam utang ke bank dengan bunga hingga 4%. Hanya dalam beberapa bulan, Choi dan istrinya tercatat jadi debitur di lima bank "jalanan". 

"Pada saat itu, saya tak lagi peduli seberapa tinggi bunga utang. Saya mendapat banyak sekali telepon dan pesan menuntut agar saya membayar kembali pinjaman. Itu membuat hidup kami berantakan. Istri saya mengatakan dia bahkan mendengar saya bergumam tentang bunga pinjaman saat sedang tidur," kata Choi.

Choi mengaku pernah mendengar soal Squid Game. Namun, ia belum pernah menonton miniseri sensasional itu. "Lagipula, buat apa saya menonton kumpulan orang dengan tumpukan utang? Saya hanya perlu melihat diri saya sendiri di cermin," kata dia. 

Statistik nasional mendukung gambaran muramnya persoalan utang rumah tangga di Korsel. Pada 2019, pengadilan mencatat ada 50,379 warga yang menyatakan bangkrut dan tak bisa membayar utang. Dari sekitar 48% pada 2017, jumlah debitur individual yang gagal bayar naik hingga mencapai 55,4% pada 2021.

Lee In-cheol, chief executive lembaga think-thank Real Good Economic Research Institute mengatakan utang personal yang menggunung telah jadi persoalan kronis yang melanda Korsel. Berkaca pada data statistik, ia bahkan menyebut utang itu tak mungkin bakal bisa dibayar oleh sebagian debitur. 

"Total utang yang dimiliki warga Korsel biasa 5% lebih besar dari GDP. Secara individual, ini berarti meskipun Anda menabung semua duit yang dikumpulkan selama setahun, Anda masih tidak akan bisa membayar utang Anda. Dan, jumlah orang dengan persoalan utang seperti ini terus meningkat secara signifikan," kata In-cheol.

Salah satu scene dalam miniseri Squid Game yang tayang di Netflik sejak September 2021. /Foto Instagram Netflik Korea

Budaya face saving

Utang juga memojokkan sebagian warga Korsel hingga ke titik nadir. Itu terekam dari statistik angka bunuh diri di negara tersebut. Antara 2014 hingga 2018, lebih dari 800 orang tercatat mencoba bunuh diri dengan melompat dari Mapo Bridge di Seoul. Penyebab utamanya malu karena punya utang.

Squid Game, kata profesor visual dan kajian Asia Timur dari University of California Irvine, Kyung Hyun Kim, menunjukkan ironi kapitalisme di Korsel. Di satu sisi, indikator ekonomi menunjukkan "keajaiban-keajaiban". Di sisi lain, kesenjangan antara si miskin dan si kaya akibat booming perekonomian terus melebar. 
 
"Ini negara kecil, tapi juga menunjukkan bahwa kelasnya lebih tinggi dalam hal ekspor, GDP per kapita. Akan tetapi, ini juga negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia. Situasinya semakin muram setiap tahun," kata Hyun Kim seperti dikutip dari Vox. 

Squid Game juga kental mengulas budaya sehari-hari warga Korsel. Yang paling kental adalah budaya malu menjadi orang gagal dan budaya menyelamatkan muka keluarga. Itu, misalnya, tergambar dari kembalinya para peserta ke ajang Squid Game meskipun harus bertaruh nyawa. 

"Apa yang diceritakan (Squid Game) bukan hanya kesulitan ekonomi dan polarisasi kelas. Iya, ini tentang itu, tetapi ada juga semacam rasa malu yang diasosiasikan dengan menjadi miskin dan jadi orang gagal bagi keluarga dan komunitas," jelas Hyun Kim. 

Dalam "What is behind Face Saving in Cross Cultural Communication?", Kun-Ok Kim mengatakan menyelamatkan muka kerap dianggap lebih berharga ketimbang aset-aset lainnya yang dimiliki seorang individu, termasuk nyawa. Ia mencontohkan beragam kasus yang menggambarkan bagaimana seseorang lebih memilih mati ketimbang menangguk rasa malu. 

Di era perang melawan Jepang pada 1952, misalnya, Kim mengatakan, ada peristiwa seorang perempuan yang tega menyaksikan dua anaknya dibunuh secara keji oleh prajurit Jepang dari tempat persembunyiannya. Sang perempuan memilih tetap ngumpet karena takut jadi korban perkosaan dan bikin malu suaminya. 
 
"Dalam salah satu kasus yang ekstrem, seorang perempuan Korea yang dibunuh keluarganya sendiri karena muncul rumor dia tak setia pada mendiang suaminya yang telah meninggal. Orang Korea zaman dulu percaya bahwa jadi objek rumor adalah dosa yang pantas diganjar hukuman mati," jelas Kim. 

Budaya "menyelamatkan muka" itu, kata Kim, bertahan hingga era modern. Budaya tersebut bikin bahasa dan perilaku orang Korea dipenuhi paradoks dan ironi. Di lingkungan kantor, misalnya, seorang pegawai bersedia lembur hingga dini hari lantaran tak mau bikin malu bosnya. 

Di lingkungan keluarga, seorang anak memilih mati ketimbang dituding mencuri duit rekannya atau nilai-nilainya memburuk. "Seorang istri memilih tak bekerja meskipun keluarganya kelaparan demi menyelamatkan muka suaminya," tulis Kim. 

Dalam Squid Game, paradoks dan simbol budaya "face saving" terekam dalam berbagai perilaku para peserta: membiarkan rekan-rekannya mati, menghalalkan segala cara untuk bertahan hidup, hingga memilih kembali ikut Squid Game demi menang duit untuk membayar utang. 

Dalam sebuah perbincangan dengan Gi-hun, Oh Il Nam, peserta bernomor 001 sekaligus dalang Squid Game, menganggap wajar jika orang-orang kembali ke permainan brutal itu ketimbang menghadapi realita. "Di luar sana, siksaan hidup jauh lebih mengerikan," kata pria tua itu. 

 

Berita Lainnya
×
tekid