close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi gerhana bulan total./Foto neelam279/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi gerhana bulan total./Foto neelam279/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 06 September 2025 12:12

Yang perlu diketahui tentang gerhana “bulan darah”

Space menyebut, sekitar 29% dari seluruh gerhana bulan adalah gerhana bulan total.
swipe

Pada Minggu (7/9) dan Senin (8/9) malam di Australia, Asia, Afrika, dan sebagian Eropa bakal terlihat pemandangan spektakuler gerhana bulan total, yang disebut blood moon atau “bulan darah”. Fenomena yang diperkirakan berlangsung sekitar lima jam ini juga bisa disaksikan di Indonesia.

Menurut Space, bulan darah adalah cahaya merah dramatis dari bulan selama gerhana bulan total. Gerhana ini terjadi lantaran bayangan Bumi menutupi bulan purnama sepenuhnya, menyaring sinar matahari yang menembus atmosfer, dan mengubah permukaan bulan menjadi merah tua atau cokelat tembaga.

Karena orbit bulan sedikit miring, sebagian besar bulan purnama tak sejajar sempurna. Namun, saat sejajar sempurna, hasilnya adalah gerhana bulan darah yang memukau.

Space menyebut, sekitar 29% dari seluruh gerhana bulan adalah gerhana bulan total. Bumi mengalami sekitar dua gerhana bulan per tahun. Sebagian besar tempat di Bumi diperkirakan akan menyaksikan gerhana bulan total sekali setiap 2,5 tahun.

Namun, tak semua gerhana bulan menghasilkan bulan darah. Jika Bumi hanya sebagian menghalangi matahari, bagian tergelap bayangannya menutupi sebagian permukaan bulan, sehingga menciptakan gerhana bulan parsial—seolah-olah sebagai gelap telah dihilangkan dari bulan.

Terkadang, bulan hanya melewati bagian luar bayangan Bumi yang disebut penumbra. Pada kondisi ini, terjadi gerhana penumbra yang sangat samar, sehingga hanya pengamat langit berpengalaman yang bisa menyadari perdupan cahaya bulan.

“Berbeda halnya dengan gerhana bulan total, ketika bulan sepenuhnya berada di dalam bayangan Bumi. Inilah saat di mana fenomena bulan darah terlihat jelas dan dramatis,” tulis Space.

Cahaya matahari yang melewati atmosfer Bumi akan tersaring dan tersebar. Cahaya biru tersaring lebih dahulu. Sedangkan cahaya merah dan jingga yang memiliki panjang gelombang lebih panjang tetap lolos dan mencapai permukaan bulan. Proses ini serupa dengan matahari terbit dan terbenam yang tampak merah.

Dilansir dari New York Times, gerhana bulan ini terjadi dalam beberapa fase. Fase pertama, bulan akan mulai bergerak memasuki bagian luar bayangan Bumi yang disebut penumbra, sehingga permukaannya tampak sedikit meredup.

Sekitar satu jam kemudian, bulan akan memasuki umbra, yakni bagian tergelap dari bayangan Bumi—sebagian besar permukaan bulan bakal semakin tertutup dari pandangan. Ketika mencapai fase totalitas, bayangan Bumi sepenuhnya menutupi bulan, dan permukaan bulan akan berubah menjadi merah.

“Totalitas akan berlangsung selama 83 menit,” tulis New York Times.

Setelah itu, proses akan berbalik. Bulan perlahan keluar dari umbra, lalu dari penumbra, dan permukaannya akan semakin terang selama dua jam berikutnya. Seberapa merah warna bulan tergantung pada kondisi atmosfer. Menurut New York Times, awan, badai debu, atau bencana alam lainnya—termasuk asap kebakaran hutan, debu vulkanik, dan polusi—yang meninggalkan partikel di udara dapat menyebarkan lebih banyak cahaya biru, sehingga warna merah bulan akan tampak lebih pekat.

National Geographic menyebut, gerhana bulan total kali ini adalah momen totalitas terpanjang dalam dekade ini. Akan tetapi, berbeda dengan gerhana bulan total pada Maret lalu, fenomena pada 7 September tak akan terlihat di Amerika Utara dan Selatan karena gerhana terjadi pada siang hari. Gerhana bulan berikutnya akan terjadi pada 2-3 Maret 2026.

Kini, kita menunggu fenomena gerhana bulan darah itu. Namun, beberapa kebudayaan kuno di masa silam belum memahami alasan bulan berubah menjadi merah, sehingga fenomena itu sering menimbulkan rasa takut.

Penjelajah Christopher Columbus pernah memanfaatkan fenomena ini untuk keuntungannya pada 1504. Suatu saat, Columbus dan krunya terjebak di sebuah pulau, yang kini dikenal sebagai Jamaika.

Mulanya, Suku Arawak yang tinggal di sana menyambut mereka dengan baik. Seiring waktu, kru Columbus mulai gelisah, dan bahkan membunuh atau merampok beberapa penduduk asli. Akibatnya, penduduk asli enggan membantu kru Columbus mencari makanan.

Menyadari hal itu, Columbus yang membawa almanak yang meramalkan kapan gerhana bulan berikutnya akan terjadi, memanfaatkan situasi. Dia mengatakan kepada Suku Arawak, Tuhan marah karena Columbus dan krunya tak diberi makanan.

Columbus mengatakan, Tuhan akan mengubah bulan menjadi merah sebagai tanda kemarahan. Saat peristiwa itu benar-benar terjadi, orang-orang ketakutan.

“Dengan teriakan dan ratapan yang keras, mereka berlarian dari segala arah menuju kapal sambil membawa perbekalan, memohon kepada Laksamana (Columbus) agar dia meminta kepada Tuhan demi keselamatan mereka,” tulis catatan putra Columbus, Ferdinand, dikutip dari Space.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan