

Akar penyebab kenaikan harga beras

Hari-hari ini muncul kebingungan di tengah masyarakat: mengapa harga beras bertahan tinggi, bahkan terus naik, di saat stok beras di gudang BULOG amat besar? Kebingungan ini wajar. Karena diyakini ada fakta bertolak belakang. Kebingunan makin bertambah tatkala penyebab kenaikan harga dialamatkan kepada mafia beras. Bukankah mafia itu bagai hantu? Selalu jadi tertuduh, bahkan kambing hitam, tapi tak pernah bisa dibuktikan eksistensinya. Apalagi diseret ke meja hijau. Benarkah mafia beras itu ada?
Merujuk data panel harga Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga beras medium secara nasional sejak Mei 2025 sudah berada 10% di atas harga eceran tertinggi (HET). Pada bulan ini hingga 2 Juli 2025, harga 13% di atas HET nasional Rp12.500/kg, melampaui batas psikologis 10%. Harga beras di pasar nangkring di atas HET di tiga zona (zona I Rp12.500/kg, zona II Rp13.100/kg, dan zona III Rp13/500/kg) sejatinya sudah terjadi lebih setahun terakhir. Ini berarti harga di wilayah produsen juga tinggi.
Untuk beras premium, pada bulan ini hingga 2 Juli 2025 harga berada 6,6% di atas HET nasional: Rp14.900/kg. Yang mengejutkan, jika setahun terakhir HET beras premium di zona I masih bisa dijaga di bawah HET Rp14.900/kg, pada Juni 2025 sudah tidak tertahankan lagi. Ini berarti harga beras premium di zona I menyusul saudara tuanya di zona II dan III: HET terlampaui. Sempurna sudah. Tidak ada lagi zona tersisa yang harganya di bawah HET. Mengapa kenaikan harga beras di pasar tak tertahankan?
Kalau kenaikan harga terjadi sehari, dua hari atau seminggu, amat mungkin ada pihak-pihak yang bermain di air keruh. Untuk mengeruk untung melalui spekulasi. Untuk menangguk cuan di tengah derita rakyat. Akan tetapi jika kenaikan berlangsung berbulan-bulan, bahkan berbilang tahun, tentu ada masalah struktural yang kusut yang perlu diurai. Masalah struktural itulah yang menjadi akar penyebab kenaikan harga beras. Hemat saya, setidaknya ada tiga akar masalah yang membuat harga beras persisten tinggi dan naik.
Pertama, surplus beras di pasar sebagian besar diserap BULOG. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras Januari-Juni 2025 diperkirakan mencapai 18,76 juta ton. Dikurangi konsumsi 6 bulan yang sama ada surplus 3,2 juta ton beras. Per 2 Juli 2025, serapan beras BULOG mencapai 2,63 juta ton. Serapan besar ini membuat pedagang dan penggilingan hanya kebagian sisa-sisa. Kala stok terbatas, mereka harus mengatur aliran beras ke pasar sedemikian rupa agar konsumen tetap terlayani. Intinya pasokan beras melambat.
Kedua, penyetopan penyaluran beras ke pasar oleh BULOG, baik untuk bantuan pangan maupun operasi pasar. Penyetopan ini membuat beras mandeg sebagai stok mati (dead stock). Per 2 Juni 2025, stok beras di gudang BULOG mencapai 4,24 juta ton. Ini stok terbesar sejak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pangan ini berdiri 58 tahun lalu. Tapi stok beras melimpah tak identik dengan produksi melimpah. Mengacu data BPS, produksi beras Januari-Juli 2025 diperkirakan 21,76 juta ton atau naik 14,93% dari produksi periode yang sama pada 2024. Membandingkan produksi 2025 yang iklim/cuaca normal dengan 2024 yang ada El Nino tidak apple to apple. Kalau dibandingkan dengan 2022, produksi hanya naik 2,1%.
Ketiga, harga beras memang mahal dari periode sebelumnya. Ini terjadi sejak harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) di level petani naik dari Rp6.000/kg menjadi Rp6.500/kg, Januari 2025. Jika sebelumnya berlaku syarat kualitas (maksimal kadar air 25% dan butir hijau 10%), kini semua gabah, dari kualitas buruk hingga baik, dihargai Rp6.500/kg. Selain tak mendidik dan tak adil bagi petani, beleid ini melanggar kaidah “ada barang ada harga” alias harga barang ditentukan kualitasnya.
Kebijakan ini membuka celah laku culas: padi dipanen sebelum waktunya, gabah dibasahi agar bobotnya berat, dan seterusnya. Kadar air gabah bisa lebih 35% dan butir hijau di atas 20%. Gabah yang diterima BULOG atau dibeli penggilingan potensial kualitasnya rendah. Ini memunculkan ketidakpastian rendemen alias rendemen rendah. Ujung semua ini, biaya produksi beras tinggi, bisa di atas Rp14.000/kg. Sialnya, beras hasil gilingan juga potensial turun. Ini berdampak ganda: membuat ongkos penyimpanan besar di satu sisi, penetrasi beras di pasar menjadi rendah kala disalurkan di sisi lain.
Membiarkan harga beras tak terkendali bagai layang-layang putus harus diakhiri. HET adalah kebijakan yang mengikat publik keseluruhan. Jika dilanggar, ada sanksi yang menunggu. Membiarkan harga beras berbulan-bulan persisten di atas HET bukan hanya mencoreng muka pemerintah, tetapi juga bisa menggerus kredibilitas pengelola negara. Karena di HET sesungguhnya ada “muka pemerintah” sebagai taruhan. Apa gunanya stok besar buat rakyat jika harga beras di pasar tinggi? Bukankah ini anomali dan absurd?
Negara harus hadir mengoreksi situasi absurd ini. Caranya, beras yang ditumpuk di gudang BULOG harus segera disalurkan. Baik untuk bantuan pangan maupun operasi pasar. Dengan stok 4,24 juta ton beras berarti tiap bulan BULOG harus menyalurkan lebih 500.000 ton agar stok akhir tahun tersisa 1,2 juta ton. Ini tidak mudah. Karena itu, perlu outlet pasti dan kontinyu. Dalam jumlah besar. Agar, sekali mendayung dua tujuan tercapai: menyalurkan beras agar tidak membebani biaya penyimpanan dan mencegah potensi turun mutu dan susut volume, pada saat yang sama harga beras stabil atau turun.


Berita Terkait
DPR minta kasus beras oplosan diusut tuntas
Apa itu beras oplosan dan bagaimana ciri-cirinya?
Anomali, harga beras melambung saat stok melimpah
Bahaya "salah langkah" ekspor beras RI ke negara tetangga

