sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Denny JA

Magnet Habib Rizieq, kekuatan elektoralnya dan bangsa yang mencari identitas

Denny JA Kamis, 12 Nov 2020 10:51 WIB

Akankah Habieb Rizieq menjelma menjadi kekuatan yang menyatukan Indonesia? Ataukah Ia justru menjadi kekuatan yang membelah Indonesia dalam pro dan kontra yang emosional? Bahkan membelah secara ideologis?

Pertanyaan ini yang datang ketika Saya melihat antusias ribuan penduduk menjemput kepulangannya dari bandara.

Massa menyemut dengan dominasi warna putih. Salawat Nabi, Shallall?hu 'alayhi wa as-sall?m. Juga takbir Allahu Akbar. 

Dari ekspresi wajah yang menjemput, terasa itu kerinduan, penghormatan, dan girah yang otentik dari massa yang menyemut kepada pemimpin agama. Kepada pemimpin sebuah paham.

Dalam sejarah politik Indonesia, setidaknya sejak era reformasi, tak pernah ada tokoh yang mendapatkan penjemputan mengharu biru seperti itu. Tidak presiden. Tidak super star musik. Bahkan tidak juga ulama lain.

Tetapi seberapa besar kekuatan elektoral Habieb Rizieq sebenarnya jika panggung politik nasional yang dihitung? Lebih banyak yang pro atau yang kontra padanya?

Apakah Ia hanya berpengaruh di sebagian kecil segmen dengan basis “tafsir Islam” tertentu saja? 

Jika seorang capres mendapatkan dukungan terbuka Habieb Rizieq, itu akan menguntungkan capres itu atau justru merugikannya?

Sponsored

Itu fakta yang sudah terbukti berkali dalam pemilu bebas di Indonesia. Mayoritas penduduk Indonesia, walau 85% beragama Islam, tetapi lebih banyak tak menyukai terlibatnya agama di ruang publik.

Tak heran, yang selalu menang dalam pemilu bebas, sejak 1955, 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019 selalu partai nasional. Partai terbuka. Bukan partai dengan aura agama.

Yang menang pemilu 1955: PNI, 1999: PDIP, 2004: Golkar. 2009: Demokrat. 2014: PDIP. 2019: PDIP. Semua partai pemenang itu bukan partai yang menampilkan diri sebagai partai agama.

Bahkan ketika semua partai dengan basis agama Islam digabung menjadi satu, kekuatannya paling banyak hanya di bawah 40%.

Lihatlah pada 2004. Gabungan seluruh partai politik dengan basis Islam (tujuh Partai): PBB, PPP, PNUI, PKS, PBR, PAN, PKB. Total suara yang diperoleh hanya 38,4%.

Lihatlah evolusinya di Pemilu 2019. Gabungan seluruh partai dengan basis Islam (lima partai); PPP, PKB, PAN, PKS, PBB. Total perolehannya merosot tinggal 30%.

Lihat pula dengan capresnya yang kemudian menjadi presiden. Dalam empat kali pilpres langsung pada 2004, 2009, 2014, 2019. Yang terpilih sebagai presiden adalah SBY dan Jokowi. 

Baik SBY ataupun Jokowi bukanlah pemimpin yang basisnya “Islam Politik.” Bukan yang personifikasi pemimpin yang akan menerapkan syariat Islam di ruang publik. 

Sebaliknya kedua pemimpin itu lebih dikategorikan sebagai pemimpin nasionalis. Paling jauh, nasionalis-religius. 

Akar dari fenomena di atas adalah psikografis penduduk Indonesia. Ini kultur politik yang sudah terbentuk lama sejak leadership Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, apalagi Megawati. Juga diteruskan oleh SBY dan Jokowi.

Kultur politik yang dominan dalam pemilih Indonesia untuk mudahnya kita sebut saja kultur politik Pancasila. Ia bukanlah kultur sekuler model negara Eropa. Tetapi Ia juga bukan kultur negara Islam model Timur Tengah.

Pemerintah Indonesia ikut mengatur soal agama, dengan adanya Kementerian Agama. Kementerian Agama tak dikenal di dunia demokrasi barat. 

Tetapi juga Indonesia bukan negara satu agama. Ruang publik dinetralkan dari dominasi satu agama.

Itulah kultur dominan yang perlu diketahui siapapun jika ingin mengambil the heart and the mind dari mayoritas pemilih. Yaitu, Pancasila.

Tetapi apa itu Pancasila? Ini kultur yang terus tumbuh. Ia hanya bisa didefinsikan dengan kata “bukan”. Pancasila adalah bukan negara Islam.

Berita Lainnya
×
tekid