sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Muhammad Sufyan Abdurrahman

Salahkah dengan influencer? 

Muhammad Sufyan Abdurrahman Senin, 21 Sep 2020 16:10 WIB

Media berita daring setidaknya sebulan terakhir kerap mengulas soal keberadaan influencer. Sebuah praktik kehumasan yang baru tetapi lama, atau sebaliknya lama tetapi baru, dalam lanskap public relations tanah air. Netizen seperti biasa terbelah menyikapinya penuh kegaduhan.   

Hal ini diwali dari padanan istilah menarik yang dimunculkan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada risetnya 20 Agustus. Istilah tersebut adalah Rezim Humas Influencer. Melalui risetnya, ICW menulis belanja pemerintah pusat terkait aktivitas digital (influencer, key opinion leader, komunikasi, media sosial, Youtube) periode 2014-2020 sebesar Rp1,29 triliun dengan total 133 paket pengadaan pada 34 kementerian, 5 LPNK, dan 2 institusi penegak hukum.

Riset tersebut mencuat antara lain dengan mudahnya kita temukan influencer/pemengaruh yang demikian serempak dan total mendengungkan sebuah tagar, hingga peristiwa baru permintaan maaf influencer Ardhito Pramono pada kampanye kehumasan yang dibuat tanpa dia faham kontennya.   

Di mata penulis, ada dua situasi yang membuat hal ini jadi fenomena mutakhir. Setelah puluhan tahun lamanya kehumasan konvensional lazim menitikberatkan media relations, kini kian marak dan mudah ditemukan humas pemerintah/swasta bekerjasama dengan pemengaruh di media digital.

Pertama, rezim humas influencer juga menandakan premis Lucian dalam Ismail (2018). Bahwa di era hyperconnected ini, informasi yang dirilis termasuk dari influencer, telah menjadi salah salah satu unsur penentu kehidupan bahkan menjadi kebutuhan pokok masyarakat.

Kegiatan masyarakat semua jenis ditentukan oleh produksi, konsumsi, dan distribusi informasi yang berjalan simultan realitas penggunaan tinggi teknologi informasi komunikasi/TIK yang belum pernah terjadi di era sebelumnya. Kini, semua kita telah berlaku tak ubahnya media (everyone is media) sekalipun belum banyak yang mengeluarkan standar produk media yang baik dan benar.

Saluran distribusi informasi sebelumnya yang dominan berbasis media relations telah luruh ditelikung TIK, sehingga influencer, vlogger, youtuber, selebgram, dan seterusnya belakangan menjadi pilihan banyak praktisi humas dalam mendistribusikan informasinya.

Sejak 1999, Shel Holtz dalam Public Relations on The Net sudah menulis bahwa internet bisa membuat kehumasan tak sekedar sarana penyebaran informasi namun juga ruang untuk hubungan komunikasi hingga partisipasi diskusi/virtual sphere secara langsung.

Sponsored

Kedua, kian marak konvergensi praktek antara marketing communication (marcomm) dengan public relations (PR). Marcomm sejak lama biasa memunculkan endorser/duta merek/bintang iklan pada kampanye pemasaran yang dilakukannnya.

Secara akademik, marcomm menerapkan program tersebut karena esensi final kegiatannya memang memasarkan sebuah produk/jasa dari sebuah entitas (product branding).

Lain halnya PR yang esensi final kegiatannya sesungguhnya bukan product branding namun company branding, sehingga terdapat perbedaan relatif signikan antara keduanya.

Praktik di lapangan, sebagaimana bidang profesi lain, tak seideal tataran teori. Banyak institusi melakukan pendekatan marcomm sekaligus PR, sehingga belakangan banyak muncul istilah Marketing Public Relations (MPR) yang mengaktivasi product branding sekaligus company branding.

Maka, rezim humas influencer terjadi manakala humas pemerintahan pun bergeser jadi MPR. Sebab, praktek kehumasan zaman now tak lagi dominan mempublikasikan aktivitas pimpinan tertinggi semisal menteri hingga wali kota tetapi juga mengampanyekan produk/jasa pimpinan tersebut.

Selain itu, merujuk pengalaman praktis penulis, belakangan banyak tanggung jawab pimpinan divisi komunikasi sebuah institusi yang perannya bahkan digantikan profesional agensi dan timnya setelah institusi itu mengikat kerja sama sistem kontrak berjangka.

Perubahan ini sekalipun tak selaras literatur namun tak bisa serta merta dinilai sebagai sebuah kekeliruan. Di mata penulis, kekuatan ilmu antara lain terlihat justru dari daya adaptasinya yang tinggi sekaligus solutif pada dinamika di lapangan kehumasan yang tinggi.

Merujuk situasi tersebut, sesungguhnya tiada masalah berarti secara akademik dengan pilihan logis dan rasional insan kehumasan (terutama di pemerintahan) mempraktikkan rezim humas influencer. 

Hanya secara praktik, akan bermasalah sekira penerapan humas influencer digencarkan dengan biaya besar namun disertai insensivitas situasi kondisi sekitar. Misal semua media sosial masif mendukung sebuah tagar program tertentu padahal di saat bersamaan tengah terjadi bencana alam atau situasi urgen yang lebih bernilai dan layak didahulukan. Di sisi lain, pilihan humas ke influencer pun kadang tak akurat, sekedar pendekatan kuantitas follower (yang bisa hiper realitas) tetapi tak disertai internalisasi isu sehingga berbalik backfire ke praktisi humas itu sendiri. 

Praktik lain yang bermasalah adalah ketika dilakukan secara sporadis, parsial, dan tidak seimbang. Semisal opsi meninggalkan relasi media sepenuhnya untuk kemudian full aktif di virtual sphere bukan hanya menjadi sebuah strategi yang gegabah, tetapi juga bisa menciptakan sebuah kondisi citra dan imaji yang menggelembung di luar namun kosong melompong pada substansinya (hiper realitas).

Realitas semu inilah yang kita tak jarang ditemukan sekarang. Sekedar tampilan bagus namun tak mengakar dan menyebar pada praktiknya, sehingga final target aktivitas humas dalam menyatukan sikap dengan publik tidak/sulit tercapai. Terlebih sudah jadi rahasia umum, bahwa selain bisa diamplifikasi akun bodong dan bot, virtual sphere pun memungkinkan menciptakan sebuah trending topic/most view dengan rekayasa teknis maupun sosial. 

Akhir kata, era disrupsi zaman now adalah keniscayaan tak terelakkan, bahkan kian dirasakan ketika era wabah pandemi sekarang. Profesi humas dan jurnalis yang tak terus menempa diri setiap saat bisa digantikan justru bukan oleh profesi yang sejenis.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid