sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Muhammad Sufyan Abdurrahman

Tantangan penetrasi internet Indonesia pada 2020 

Muhammad Sufyan Abdurrahman Senin, 09 Mar 2020 21:18 WIB

Rasanya, belum lama ketika Alinea.id merilis data pengguna Internet Indonesia 2017 berjumlah hampir 150 juta. 

Hanya perlu waktu kurang tiga tahun, merujuk prediksi terbaru firma global asal Amerika Serikat, We Are Social, akhir Februari lalu, pengguna Internet Indonesia pada 2020 mencapai 175,4 juta atau naik 17% dari 2019. Jumlah ini setara 64%, atau sudah lebih separuh penduduk Indonesia terakses dunia maya. Sebuah pencapaian grafik eksponensial (rerata tumbuh 16 juta pengguna/tahun) yang niscaya sulit ditandingi sektor industri lainnya. 

Statistik ini sangat menarik karena mengikuti posisi sebelumnya ketika telepon seluler tak lagi menjadi alat prestise simbol sosial sekitar mulai 2005; Internet hari ini adalah layanan standar pada semua starata sosial-ekonomi masyarakat.

Riset per November 2019, juga dari We Are Social menyebutkan, sepuluh media sosial utama di Indonesia adalah Youtube dengan 132 juta pengguna, WhatsApp 125 juta, Facebook (122 juta), Instagram (120 juta), Line (89 juta), Twitter (78 juta), FB Messanger (71 juta), BBM (57 juta),  LinkedIn (50 juta), dan Pinterest (4 juta).

Sayangnya,  setidaknya lima tahun terakhir, pola prilaku dan preferensi pengguna layanan seluler dan data masih tetap didominasi akses konsumtif yang boros (heavy consumer) simultan dengan posisi pengguna minim bahkan nihil literasi digital.

Maka, mayoritas-nya media sosial dan grup pesan instan tercakup layanan konsumtif berbasis metode pengunggahan konten pengguna (user generated content/UGC). Pada bisnis digital mutakhir, metode ini memang paling disukai sekalipun manajemen platform takkan pernah bisa memastikan konten UCG yang diunggah positif dan produktif.

Kecenderungan yang ada di Indonesia, masyarakat terus dibuai sebagai pengguna bukan inventor serta penonton bukan produsen. Selain itu, ditunjang sifat utilisasi yang dangkal dan pragmatis (tidak mengeksplorasi keberlimpahan fitur produktif di dalamnya), maka kita jadi pengguna teknologi yang pemalas.

Mari meneropong diri sendiri. Tanpa menihilkan banyak manfaatnya, kita, alih-alih membedah aplikasi bermanfaat pada gawai, kita hanya menggunakan yang sekiranya membuat kita bisa "meloncati" berbagai tantangan hidup. Kita bukan ingin belajar sebanyak-banyaknya ilmu bermanfaat dari layanan Internet, namun bagaimana caranya Internet bisa instans mengajarkan ilmu yang bisa mengakali sekitar, misalnya. Kita tidak pernah bersungguh-sungguh membedah pengetahuan dari Internet, tapi bagaimana caranya Internet bisa memudahkan kita untuk short cut fungsi sejati pengetahuan demi dapat nilai bagus meski caranya tidak elok, misalnya.

Sponsored

Bukannya membedah internet guna menguasai ilmu dan bahasa baru misalnya, mayoritas kita (termasuk penulis) mengambil jalan pintas dengan fitur serba “gampangan”. Jadinya, sains dan teknologi dari Internet sebatas alat kerampingan hidup, bukan alat peningkatan kualitas hidup.

Sebuah situasi yang sejak tahun sudah ditulis Guru Besar Emory University, Mark Baurlein, dalam buku-nya, The Dumbest Generation. Menurutnya, teknologi telah membiaskan janji awal kemaslahatannya bagi generasi muda yakni untuk berbagi informasi dan akses informasi tanpa hambatan (sharing knowledge and information super highway).

Jargon awal kecanggihan malah membodohi generasi muda dengan sokongan gaya hidup serba pragmatis yang akhirnya menciptakan generasi pemalas dan anti sosial. Pula, akses sains dan teknologi yang tidak tepat akhirnya kontraproduktif setelah malah makin menguatnya pengguna yang tipikal hari ini: Boros, Males Gerak (mager), dan Sukanya Jalan Pintas. Atau, Mark menyebutnya, The Dumbest Generation.

Di mata penulis, solusi meminimalisir generasi tersebut adalah menyeimbangkan status posisi sains dan teknologi bukan semata-mata keterbaruan yang canggih dan modern. Namun, sains dan teknologi ditempatkan ke jati dirinya sebagai alat produktivitas yang efektif dan efisien, baik secara personal dan terutama pada lingkup kemasyarakatan.

Sains dan teknologi justru harus menjadi sarana signifikan dalam mengakselerasi kualitas hidup kita menuju masyarakat madani, bukan malah jadi pendukung selera dan gaya hidup serba pragmatis yang akhirnya mengerucutkan jiwa individualis secara kolektif.

Misalnya kita bisa meniru juara sistem pendidikan dunia, sekaligus negara terbahagia dunia (World Happiness Report 2019) versi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Finlandia. Negara ini mengajarkan sains dan teknologi sejak dini secara proporsional. Siswa tidak ditekankan pengadopsi awal teknologi canggih dengan aneka targetan, namun justru dipandu belajar menyenangkan dan ekosistem pendidikan-nya dibuat seimbang.

Timothy D. Walker, seorang guru asal Amerika Serikat, penulis buku Teach Like Finland (2017) menyebutkan, pendidikan terintegrasi teknologi tidak menjadi penekanan utama. Sekalipun bukan berarti alergi sains dan teknologi saat mengajar di kelas, namun ini berbeda saat dia masih menjadi guru di Boston, Amerika Serikat.

Guru dan murid di Finlandia tidak mendapatkan tekanan internal/eksternal untuk mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran. Kesimpulan ini sejalan data Organization for Economic Cooperation and Develompment (OECD) 2015 bahwa tes kompetensi dasar (PISA) secara keseluruhan menunjukkan hasil belajar siswa yang menggunakan komputer secukupnya di sekolah cenderung lebih baik dibanding yang jarang menggunakan komputer.

Tantangan berikutnya, regulator terkait agar menjangkau ranah ini tidak terus hanya dari sisi perluasan penetrasi aplikasi dan utilisasi. Namun juga aktif mengatur sekaligus mengawasi ketat agar aplikasi yang ada tidak didominasi satu pihak (apalagi asing) seraya transfer teknologinya tidak berhasil di tanah air. 

Kementerian Kominfo dan derivatifnya, seperti Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), hendaknya tak sekedar menargetkan pertumbuhan peneterasi dan perluasan askes semata. Jika pendekatan selalu pada sisi kuantitas semacam ini, selain hasilnya akan semu, juga terjadi kontradiksi ketika negara malah menjadi generator lahirnya generasi bodoh seperti diprediksi Mark Baurlein tadi. 

Akhir kata, jika prinsip-prinsip dasar ini tidak dilakukan sedari awal, maka inovasi zaman now ini hanya membuat sains dan teknologi di Indonesia terus melahirkan The Dumb Generations (Boros, Mager, dan Sukanya Jalan Pintas.). Semoga saja tidak! 

Berita Lainnya
×
tekid