close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Subarudi, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Foto dokumentasi.
icon caption
Subarudi, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Foto dokumentasi.
Kolom
Sabtu, 19 Juli 2025 19:06

Transformasi kebijakan pengembangan lumbung pangan nasional ke desa: Sebuah pemikiran kritis

Indonesia selalu mengimpor beras dalam jutaan ton setiap tahun dari beberapa negara Asia Tenggara seperti Vietnam dan Thailand.
swipe

Setiap calon presiden dalam agenda kampanyenya selalu saja bicara swasembada atau kemandirian pangan. Agenda kampanye ini hanya tinggal agenda dan terbukti nyaris tidak ada presiden terpilih yang bersungguh-sungguh mewujudkan janji kampanyenya. Kemandirian pangan diartikan sebagai kemampuan negara untuk menyediakan pangan sendiri untuk masyarakatnya tanpa tergantung pada impor pangan dari negara lain. Faktanya negeri ini selalu mengimpor beras dalam jutaan ton setiap tahun dari beberapa negara Asia Tenggara seperti Vietnam dan Thailand.

Kemandirian pangan pernah tercapai pada saat pemerintahan Presiden Soeharto tahun 1984 dengan berlimpahnya pasokan pangan terutama beras melalui program swasembada beras dengan pendekatan intensifikasi lahan pertanian. FAO juga telah memberikan penghargaan kepada Presiden Soeharto yang berhasil mencapai swasembada pangan dalam negerinya (food suffiency)(Suryakusuma, 2024).

Pada awalnya, Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah merancang sembilan agenda prioritas jika terpilih sebagai presiden dan wakil presiden yang dikenal sebagai Nawa Cita. Program ini digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Salah satu dari 9 program tersebut adalah meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektare atau ha (Kompas.com, 2014). Namun dalam pelaksanaannya ditemukan telah terjadi deforestasi sebesar 4,37 juta ha sepanjang dua periode pemerintahan Jokowi. Deforestasi itu merupakan dampak dari berbagai proyek strategis nasional (PSN) seperti infrastruktur, lumbung pangan nasional dan pengembagan wilayah industri ekstraktif (Tempo, 2024).

Lumbung pangan nasional (food estate) yang telah dibangun oleh Presiden Jokowi merupakan upaya pemerintah dalam mengantisipasi krisis pangan. Ditegaskan bahwa Indonesia harus berhati-hati karena semua kawasan, semua negara sekarang ini menghadapi krisis pangan. Sebagai contoh komoditas gandum (wheat) menjadi problem di semua negara, yang konsumsi utamanya gandum, selain masalah pasokannya dan juga harganya meningkat drastis. Pembangunan food estate ini merupakan kolaborasi sejumlah kementerian, mulai dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membangun sistem irigasi, Kementerian Pertanian menyiapkan lahan, hingga Kementerian Pertahanan menyediakan cadangan strategis (Humas Setkab, 2023).

Pada kenyataannya presiden terpilih, Prabowo Subianto, terus melanjutkan proyek food estate Presiden Jokowi di Merauke, Papua. Proyek terbaru ini mencakup penyediaan lahan hutan seluas 2,29 juta ha dan menjadi bagian dari program besar ketahanan pangan yang dimulai sejak awal 2020 di Merauke, Papua. Proyek lumbung pangan yang dipimpin oleh kedua tokoh itu disebutkan sebagai dua proyek yang berbeda. Prabowo sedang menggalang program cetak sawah untuk padi (1,11 juta ha), sementara itu Presiden Jokowi mengembangkan perkebunan tebu terpadu (1,18 juta ha) (Ananta, 2024).

Berita terbaru Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni telah mengidentifikasi sekitar 20 jutaan lahan hutan cadangan yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber ketahanan pangan, energi, dan air. Hutan cadangan tersebut akan menjadi dukungan langsung bagi program Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Pristiandaru, 2014).

Sebenarnya sudah banyak pembahasan dan diskusi terkait kegagalan dalam pembangunan lumbung pangan nasional dari era Presiden Soeharto dengan proyek Pembukaan Lahan Gambut (PLG) Sejuta hektare di Kalimantan Tengah hingga era Presiden Jokowi dengan melaksanakan proyek Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Hasil diskusi menemukan berbagai faktor penyebabnya, di antaranya proyek terlalu besar dan luas, ada ketidaksesuaian lahan untuk produksi beras, pelaksanaannya tidak melibatkan masyarakat lokal, memicu konflik tenaga kerja dan merusak lingkungan sekitarnya.

Oleh karena itu, tulisan ini mencoba mengkritisi pembangunan lumbung pangan nasional yang selalu gagal, namun masih saja dilanjutkan dan diulangi kembali, padahal pepatah kuno menyebutkan “keledai saja tudak akan jatuh dua kali pada lubang yang sama”. Jadi kalau pemerintah masih mengulang kegagalan pembangunan lumbung pangan ini mengindikasikan tidak lebih pandai dari seekor keledai. Pokok materi lumbung pangan yang akan dibahas meliputi (i) menjelaskan konsep kebijakan small is beautiful, big is obesity, (ii) menganalisis kegagalan lumbung pangan nasional, (iii) memilih opsi lumbang pangan nasional atau lumbung pangan desa, dan (iv) merekomendasikan kebijakan lumbung pangan ke depan.  

Konsep kebijakan small is beautiful, big is obesity

Rasanya hampir semua kebijakan pemerintah selalu merancang PSN berbasis areal yang besar dan luas dengan waktu pelajsanaannya yang singkat, padahal sudah ada pepatah small is beautiful, yaitu hal-hal kecil memiliki keindahan, jika dikerjakan dengan serius dan komitmen tinggi. Penulis pernah membuat artikel terkait dengan proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), di mana target luasan yang ditetapkan mencapai 3 juta ha yang harus dicapai dalam kurun waktu 5 tahun. Sebagai pembanding digunakan gambaran Australian Plantation 2020, di mana negara Australia dengan segala teknologi canggih yang dimiliki dan dana yang tersedia hanya menargetkan luas penanaman sekitar 1 juta ha dalam kurun waktu 20 tahun.

Contoh lainnya program pemerintah yang besar dan luas adalah penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan khusus (KHDPK) di Pulau Jawa seluas 1,1 juta ha yang penuh kontroversial (Wicaksono, 2022), penetapan Kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) seluas 324.332 ha dan direalisasikan hanya seluas 15% (CNN Indonesia, 2024) dan penetapan Kawasan hutan untuk program perhutanan sosial (PS) seluas 12,7 juta ha yang awalnya ditargetkan untuk 5 tahun dan kemudian direvisi targetnya menjadi 10 tahun. Hingga saat ini program PS hanya dapat dicapai seluas 6.644.318,8 ha (https://gokups.menlhk.go.id/public/achievements).

Kebijakan lumbung pangan nasional juga dengan alokasi areal yang besar dan luas, seperti proyek PLG seluas 1 juta ha tahun 1996, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) seluas 1,2 juta ha tahun 2012, dan Merauke Food Estate seluas 2,6 juta ha tahun 2024. Penjelasan kenapa pemerintah selalu ingin yang terbesar dan terluas dapat dijelaskan melalui pandangan Alm Dr. Eka Darmaputera bahwa pepatah “kecil itu indah” tidak selalu sejalan dengan naluri manusia. Kecil itu dianggap bertentangan dengan  kecenderungan naluri manusia yang (i) ingin besar; (ii) ingin menjadi besar; (iii) ingin mendapat yang besar; dan (iv) ingin diperlakukan sebagai orang besar (Sendow, 2015).  

Konsep small is beautiful digunakan dalam berbagai studi bidang ekonomi oleh Ekonom Inggris, EF Schumacher, tetapi tidak digunakan dalam kebijakan pembangunan lumbung pangan nasional. Data dan fakta menunjukkan bahwa kegiatan apapun termasuk lumbung pangan nasional dalam skala luas tanpa diujicobakan terlebih dahulu dalam skala kecil pasti akan mengalami kegagalan. Dari skala kecil yang berhasil kemudian akan diterapkan ke skala menengah dan baru ke skala lebih luas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dr. Eka bahwa manusia tentunya punya keinginan untuk menjadi besar (dalam berbagai bentuk), tetapi seluruh “kebesaran” tersebut akan menjadi keliru, salah, dan membuat kita berdosa apabila itu mengorbankan kepentingan orang lain, menyengsarakan sesama, memiskinkan dan mengecilkan orang-orang di sekitarnya (Sendow, 2015).

Jadi sesuatu proyek yang “besar” dan menjadikan kesengsaraan dan kemiskinan bagi orang lain (masyarakat adat), maka itu perbuatan keliru dan menjadi dosa besar buat para pembuat dan pengambil kebijakannya. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pepatah itu perlu diubah menjadi acuan bagi setiap kebijakan pemerintah untuk di segala bidang atau keproyekan, yaitu “Small is beautiful, big is obesity”. Artinya kebijakan lumbung pangan skala kecil cukup baik dan indah untuk coba direalisasikan, kalau tiba-tiba ditetapkan dalam skala besar, maka akan cenderung menjadi obesitas yang menimbulkan berbagai dampak negatif berupa penyakit turunannya.

Analisis kegagalan lumbung pangan

Analisis kegagalan lumbung pangan akan dijelaskan secara singkat dan jelas agar dipahami oleh para pembaca dan pengambil kebijakan yang budiman. Lumbung pangan nasional yang akan dievaluasi dimulai dari proyek PLG sejuta hektare, proyek MIFEE, Proyek Delta Kayan Food Estate (DekaFe), proyek lahan gambut di Pulang Pisau, dan proyek Gunung Mas.

Proyek PLG sejuta hektare di Kalimantan Tengah diluncurkan pada tahun 1995 sebagai bagian dari ambisi pemerintahan Soeharto untuk mencapai kembali posisi swasembada beras.  Tujuan proyek ini adalah untuk menyediakan lahan pertanian baru dengan mengubah satu juta hektare lahan gambut dan rawa untuk penanaman padi. Penyebab kegagalannya adalah membuka kubah gambut dan membangun banyak kanal-kanal sehingga memicu kerusakan kondisi gambut, di mana kandungan air menyusut dalam kurun waktu yang cepat. Hal ini membuat kondisi gambut menjadi kering pada musim kemarau dan menjadi mudah terbakar serta menjadi langganan kebakaran (Nugraha, 2016),

Pembangunan MIFEE tahun 2010 dengan membuka Kawasan hutan seluas 1,2 juta ha untuk tanaman padi. Proyek ini dinyatakan gagal karena faktor (i) sebagian besar adalah lahan gambut yang tidak  cocok untuk pertanian padi dan sayur-sayuran, (ii) kendala dalam pengelolaan sumber daya manusia, dan (iii) munculnya konflik antara tenaga kerja lokal dan pendatang (Ananta, 2024). Zakaria et al. (2011) menegaskan bahwa kebijakan MIFEE dari pemerintah pusat di Jakarta dan daerah yang pro kepada korporasi telah memicu pengalihan hak-hak masyarakat adat Malind di Merauke dan tanpa informasi yang jelas dan lengkap (pediatapa). Proyek ini berdampak negatif dalam menyingkirkan akses masyarakat Malind secara sosial, ekonomi, budaya, dan ekologi.

Pembangunan proyek DeKaFe Tahun 2011 di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara seluas 50.00 ha. Proyek ini ditujukan untuk menanam padi, kedelai dan jagung sebagai komoditas utama serta kopi, kelapa sawit, coklat, kelapa, karet dan cabai sebagai komoditas tambahan. Proyek ini dinyatakan gagal karena (i) arealnya rawan banjir, (ii) ketidaksesuaian lahan untuk pertanian dan bangunan irigasi, (iii) lokasi lahan adalah bekas lahan pertanian terdegradasi dan tidak mempunyai kualitas baik untuk  pertanian (Ananta, 2024).

Proyek lumbung padi di lahan gambut Pulang Pisau tahun 2020 seluas 30.000 ha dengan komoditas padi. Proyek ini dinyatakan gagal karena faktor (i) pola tanam yang dipaksanakan menyebabkan gagal panen dan hasil yang buruk pada periode berikutnya, (ii) gagalnya penerapan kegiatan ekstensifikasi di kawasan pertanian, (iii) belum siapnya lahan yang dibuka untuk ditanam, dan (iv) minimnya pelibatan masyarakat sekitar (Ananta, 2024).

Proyek Gunung Mas ini merupakan bentuk usaha penyediaan cadangan pangan nasional saat terjadi Pandemi Covid-19 di tahun 2021 seluas 31.000 ha dengan fokus pada komoditas gadung dan singkong. Proyek ini dinilai gagal karena tidak ada skema pembebasan lahan milik masyarakat, dan kurangnya kajian yang menyeluruh tentang kondisi lingkungan setempat (Ananta, 2024).

Analisis kegagalan lumbung pangan nasional tersebut di atas mendapat dukungan dari hasil temuan Widiyanto (2024) bahwa food estate memiliki tujuan yang mulia, yaitu untuk menciptakan swasembada pangan dan memperkuat ketahanan pangan nasional. Namun, dalam pelaksanaannya, program ini kurang optimal akibat perencanaan yang tidak matang, pemilihan komoditas yang kurang sesuai dengan kondisi lahan, serta minimnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan hingga pelaksanaannya.

Opsi Lumbung Pangan Nasional atau Lumbung Pangan Desa

Lumbung pangan nasional adalah pembangunan lumbung pangan berbasis kawasan yang akan menjamin swasembada dan ketersediaan pangan bagi masyarakat Indonesia (Nugroho, 2024). Melihat berbagai kegagalan atas banyak proyek lumbung pangan nasional yang dilaksanakan secara besar dan luas dengan melibatkan pengusaha besar, tanpa melibatkan masyarakat lokal, tanpa kajian amdal sebelumnya, dan cenderung dipaksakan dan harus jadi sebagai PSN. Proyek PSN ini umumnya dialokasikan di kawasan hutan dan diprogram oleh pemerintah untuk tidak dibebani pungutan apapun juga dan tanpa membayar ganti rugi apapun kepada pelaku usaha yang terkena dampak PSN tersebut. Hal ini memunculkan ide untuk pengembangan lumbung pangan desa sebagai sebuah alternatif solusinya.

Pengertian lumbung pangan desa adalah sarana untuk penyimpanan dan pengelolaan bahan pangan pokok sebagai cadangan pangan desa untuk antisipasi terjadinya kerawanan pangan, keadaan darurat dan gangguan produksi pada musim kemarau (Distan Ngawi. 2024). Lumbung pangan desa juga dapat dipahami sebagai program ketahanan pangan dalam bentuk gerakan pembentukan usaha produktif yang berbasis kepada potensi lokal pedesaan, seperti: sawah, kebun, ternak maupun home industry. Upaya ini dapat diwujudkan melalui proses peningkatan produksi di areal yang telah ditetapkan.

Sekarang ini titik pusat pembangunan apapun termasuk lumbung pangan desa di daerah telah bertumpu pada unit desa sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Desa menjadi pusat kemajuan ekonomi yang ditopang oleh Alokasi Dana Desa (bersumber dari APBD) dan Dana Desa (bersumber dari APBN). Keberadaan Dana Desa telah terbukti dapat menyediakan infrastruktur jalan yang layak dan fasiltas ekonomi desa lainnya seperti pendirian pasar tradisional dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Sebagai contoh lumbung pangan masyarakat dan sarana pendukungnya telah dibangun dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan diresmikan oleh Bupati Ngawi  pada tanggal 26 Desember 2022 bertempat di Gapoktan Sri Mulyo Rahayu, Desa Guyung, Kecamatan Gerih (Distan Ngawi, 2022).

Lumbung pangan desa ini merupakan salah satu kegiatan yang bisa dilakukan dengan membentuk petani-petani binaan atau gabungan kelompok-kelompok tani (Gapoktan) yang berada di suatu desa dengan dilengkapi teknologi tepat guna dan pendampingan yang intensif dari mulai pembibitan dan hingga pascapanen. Contoh lumbung pangan desa yang berhasil dan lestari adalah lumbung pangan Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi yang seluruh warganya bermata pencaharian sebagai petani. Semua warga menanam padi di sawah dan huma, menanam palawija di kebun, serta beternak ikan di kolam. Warganya masih memegang teguh adat, budaya dan kepercayaan leluhur yang menghargai alam, makhluk, dan hal-hal yang ditabukan ini dengan memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Keyakinan terhadap alam dan pencipta-Nya diterapkan dalam sistem pertanian tanpa menggunakan pupuk kimia, hanya mengandalkan pupuk organik dan mengikuti pola pergerakan alam. Pembasmian hama juga tak pernah memakai obat-obatan kimia. Penanaman padi hanya dilakukan sekali dalam satu tahun, tujuannya untuk mengistirahatkan tanah atau menggunakannya dengan penanaman komoditas lainnya (Roosyana, 2021).

Lumbung pangan Kasepuhan Ciptagelar merupakan lumbung tradisional berbasis kearifan lokal dengan konsep menyatu dengan alam. Amanat para leluhurnya dilanjutkan dengan melarang perusakan mata air karena air merupakan sumber utama kehidupan. Untuk menjaga ketersediaan air, pohon-pohon kayu besar juga dilarang untuk ditebang. Prinsip yang diterapkannya adalah “daripada ditebang, lebih baik ditambah. Semua aktivitas dalam kehidupan ini membutuhkan air, jangankan manusia, hewan juga membutuhkan air”. Ketersediaan air yang tetap terjaga, disokong sistem manajemen leuit alias lumbung padi, membuat Kasepuhan Ciptagelar tak pernah mengalami krisis pangan. Penduduknya juga tak pernah mengalami gagal panen lantaran hama atau kekurangan air, selama Kasepuhannya ini eksis (Roosyana, 2021).

Untuk lumbung pangan desa modern dapat dirancang dengan menggunakan salah satu inovasi teknologi terkini terkait sektor pertanian, yaitu penerapan teknologi internet of things (IoT) yang merupakan konsep pertanian dengan menggunakan bantuan drone dan teknologi sensor, baik untuk mengalisis tanah maupun memonitor cuaca, seperti kondisi tanah seperti suhu, pH, kandungan unsur hara, suhu udara, kelembaban, dan arah angin. Hasil monitoring ini akan dianalis untuk memberikan rekomendasi yang tepat kepada petani agar terhindar dari terjadinya gagal tanam dan gagal panen serta bisa menjaga kestabilan bahkan meningkatkan produktivitas lahannya (Nugroho, 2022).

Pembangunan lumbung pangan desa merupakan aksi kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pemerintah desa dalam mewujudkan swasembada pangan di tingkat desa dan kemudian dampaknya akan meluas ke tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Hal ini mengingat bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia dan merupakan hak setiap orang di Indonesia untuk mendapatkan pangan yang layak dan tercukupi. Di samping itu, swasembada pangan yang baik dapat diwujudkan dengan ketentuan pemerintah pusat dan daerah harus dapat bekerjasama dengan masyarakat desa khususnya yang berprofesi sebagai petani agar dapat meningkatkan produktivitas lahan pertaniannya. 

Rekomendasikan kebijakan lumbung pangan ke depan  

Berdasarkan uraian di atas, kebijakan lumbung pangan ke depan harus diwujudkan melalui pembentukan lumbung pangan desa, penghentian konversi sawah menjadi pemukiman, pelaksanaan kampanye untuk mengurangi konsumsi nasi, penentuan harga beras tinggi di tingkat petani, penerapan diversifikasi pangan, prioritasisasi pengembangan pangan lokal, dan peninjauan ulang pemberian beras miskin.

Perwujudan lumbung pangan desa harus digalakkan oleh pemerintah pusat sebagai bagian dari program swasembada pangan (food sufficiency) dan juga kebijakan ketahanan pangan (food security) dan kedaulatan pangan (food sovereignty). Dana desa yang dialokasikan ke desa dapat digunakan untuk mendukung dan menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pembangunan lumbung pangan desa. Keberhasilan lumbung pangan desa juga akan menjadi indikator keberhasilan atau pendukung tercapainya lumbung pangan nasional.

Saat ini laju perubahan lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman banyak terjadi, tidak saja di Pulau Jawa tetapi pulau-pulau lainnya. Daerah-daerah sentra produksi beras telah berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman elite, walaupun sudah ada UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, tetapi pelaksanaanya jauh panggang dari api. Seharusnya pemerintah memberikan penghargaan bagi kabupaten/kota yang masih tetap mempertahankan lahan pertanian pangannya berupa penambahan anggaran pertaniannya ataupun pembebasan PBB untuk lahan sawahnya dan memberikan hukuman bagi para bupati/walikota yang mengizinkan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman.

Kampanye untuk mengurangi makan nasi menjadi bagian dari solusi mendukung swasembada pangan, mengingat prevelensi penyakit diabetes semakin meningkat di Indonesia. Laporan International Diabetes Federation (IDF) tahun 2021 menyebutkan Indonesia berada di urutan ke 5 dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 19,47 juta jiwa, prevelensi diabetes sebesar 10,6% (Diabetes Indonesia, 2023). Hal ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan Indonesia menjadi negara dengan konsumsi beras global terbesar keempat di dunia, yang konsumsinya mencapai 35,3 juta metrik ton sepanjang tahun 2023 lalu. Hal ini sejalan dengan Data Susenas September 2022 menunjukkan Tingkat partisipasi konsumsi beras 98,35%. Artinya 98,35% rumah tangga di Indonesia mengonsumsi beras dengan rata-rata konsumsi beras per kapita mencapai 6,6 kg per bulan di tahun 2023 (Badan Pangan Nasional, 2024).

Penentuan harga beras yang tinggi di tingkat petani akan menjadi insentif bagi petani untuk terjun kembali ke sawah. Selama ini pemerintah melalui Bulog membeli gabah di tingkat pentani terlalu rendah sehingga usaha produksi beras tidak menarik lagi bagi para petani. Banyak petani di Tasikmalaya mengubah sawah yang awalnya ditanam padi sekarang menjadi tanam mendong untuk bahan pembuatan kerajinan tangan berupa tikar, tempat pakaian kotor dan tempat pensil dan lain-lain. Di Jawa Tengah banyak desa-desa telah mengganti usaha pertanian padi dengan usaha penanaman kayu sengon yang lebih menjanjikan dan menguntungkan.

Diversifikasi pangan yang awalnya sudah berjalan dengan baik, seperti masyarakat Madura yang pangan utamanya adalah jagung, masyarakat Maluku, Nusa Tenggara dan Papua yang konsumsi pangan utamanya adalah sagu dan Masyarakat Papua dengan pangan utamanya umbi-umbian, serta masyarakat Jawa dengan menu utamanya singkong yang dibuat tiwul, kolak, keripik telah bertransformasi memakan beras karena kebijakan pembagian beras miskin oleh pemerintah. Dampak negatifnya adalah diversifikasi pangan menjadi mati suri dan membuat mereka sangat tergantung pada pasokan beras, Jadi wajar saja, jika tingkat ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras sangat tinggi (98,35%) dan sisanya 1,65% adalah penganut diversifikasi pangan termasuk peminat vegetarian.

Sudah banyak pangan lokal yang dijadikan perburuan bagi para penggemar wisata kuliner baik yang berasal dari dalam dan luar negeri. Pemerintah seharusnya memprioritas produk pangan lokal untuk dikembangkan karena program ini juga seiring dan sejalan dengan program pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di daerah-daerah. Contoh pangan lokal yang berhasil adalah pembuatan jenis makanan gudeg dan rendang dalam kaleng yang sudah bisa di ekspor ke mancanegara.  

Peninjauan ulang pembagian beras miskin harus dilakukan pemerintah karena memiliki dampak besar dan membuat ketergantungan masyarakat tinggi terhadap beras. Jika diperlukan pemberian beras miskinnya dikhususkan di kota-kota besar karena keterbatasan lahan yang dimilikinya, walaupun sekarang sudah ada teknologi tepat guna untuk menanam padi dalam polybag yang dapat dilakukan di setiap rumah atau pekarang oleh semua warga yang memiliki keterbatasan lahan. Seharusnya pemerintah membantu dan mengembangkan teknologi pertanian polybag atau hidroponik yang berorientasi pada pengembangan diversifikasi pangan di tingkat desa/kelurahan.

Penutup

Pengembangan lumbung pangan nasional dalam skala luas dan tanpa amdal yang benar serta hadir sebagai PSN memiliki risiko besar terjadinya kegagalan, degradasi lingkungan dan meminggirkan hak-hak hidup masyarakat adat di sekitar lokasi proyek lumbung pangan tersebut. Oleh karena masih banyak opsi lain yang dapat dilakukan, salah satunya adalah pembangunan dan pengembangan lumbung pangan desa. Lumbung pangan ini harus mendapat dukungan penuh, baik dari pemerintah pusat dan daerah dengan menyusun kebijakan dan regulasi untuk pelaksanaannya di lapangan.

Upaya lainnya dapat dilakukan oleh para pemangku kepentingan dalam mendukung perwujudan lumbung pangan desa, di antaranya penghentian konversi sawah menjadi pemukiman, pelaksanaan kampanye untuk mengurangi konsumsi nasi, penentuan harga beras tinggi di tingkat petani, penerapan diversifikasi pangan, prioritas pengembangan pangan lokal, dan peninjauan ulang pemberian beras miskin serta penerapan prinsip “small is beautiful, big is obesity” baik dalam pengembangan lumbung pangan nasional maupun dalam melaksanakan proyek-proyek strategis nasional lainnya.  

img
Subarudi
Kolomnis
img
sat
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan