sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Disrupsi, konvergensi, digitalisasi jurnalisme ditandai kehebatan reporter multifungsi

Kenapa, kok dia mengajak orang untuk setop membaca berita?

Arpan Rachman
Arpan Rachman Kamis, 10 Feb 2022 20:30 WIB
Disrupsi, konvergensi, digitalisasi jurnalisme ditandai kehebatan reporter multifungsi

Rolf Dobelli, pengarang asal Inggris, menulis buku berjudul Stop Reading the News: How to Cope with the Information Overloaded and Think More Clearly (Stop Membaca Berita: Manifesto untuk Hidup yang Lebih Bahagia, Tenang, dan Bijaksana) terbitan KPG, 2021.

"Saya tertarik ketika ada di rak buku melihat buku ini. Kenapa, kok dia mengajak orang untuk setop membaca berita? Di tengah banyaknya berita beredar baik itu di koran, majalah, dan televisi, di media sosial," kata Martha Warta Silaban.

Editor Tempo.co itu kemudian mengisahkan ulang hasil bacaannya dengan apik di loka karya jurnalistik bertajuk 'Wartawan Bisa Apa di Era Digital?' diselenggarakan Monumen Pers Nasional untuk memeriahkan Hari Pers Nasional tahun 2022. Siaran yang ditayangkan Youtube dihelat simultan di empat kota Jakarta, Yogyakarta, Surakarta, dan Kendari, Senin (7/2/2022).

"Di bukunya, Dobelli mengajak pembacanya untuk melakukan hal radikal, setop, berhenti membaca berita selama 30 hari. Dia mengatakan beberapa alasannya, yaitu membaca berita itu membuang-buang waktu, membaca berita itu racun bagi tubuh, dan berita itu diciptakan oleh jurnalis. Kemudian dia mengatakan, kalau Anda tidak bisa melakukan secara radikal, lakukan secara selow, pilih saja berita-berita dari majalah berita mingguan atau dari surat kabar. Ia menyatakan berita dari media online itu terlalu banyak membuat pusing, jadi racun bagi tubuh, dan menghentikan kreativitas," lanjutnya.

Menurut Maria, hal itu yang terjadi dalam diri Dobelli kepada pembacanya. Di Indonesia sendiri, katanya, pada pertengahan bulan Juli tahun 2021 mungkin ada beberapa di antara peserta loka karya yang menerima WhatsApp, beredar via WA ajakan setop membaca berita tentang Covid-19, yang mengatasnamakan warga Bojonegoro, Lamongan, Gresik, Purbalingga, Banyumas, Semarang, Yogyakarta, Majalengka, dan Cirebon.

"Ada sembilan poster di situ dan dikatakan kenapa kita harus setop membaca berita karena membuat kecemasan. Tentu tidak salah juga ada pengertiannya bagaimana orang yang mengidap Covid-19 itu menjadi rasa cemas ketika dia membaca berita-berita tentang Covid-19 yang tentunya misinformasi," singkapnya.

Lalu bagaimana dengan kita di sebuah negara demokrasi bernama Indonesia ini? Di mana media itu banyak digunakan orang untuk berbagai hal. Mengutip Joseph Turow (2014: 37-38) mengatakan, "People use the media in four ways: for enjoyment, for companionship, for surveillance, and for interpretation" (orang menggunakan media dalam empat cara: untuk kesenangan, persahabatan, pengawasan, dan untuk interpretasi). Di negara demokrasi, pers adalah pilar keempat.

Ini melanjutkan dari filsuf Montesquieu, dia mengatakan, bahwa di sebuah negara demokrasi ada tiga kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Presiden BJ Habibie, pada Hari Pers beberapa tahun yang lalu, mengatakan bahwa ada Pillar Quadro, yaitu pers sebagai pilar keempat. Dan pers di Indonesia dilindungi dan dijamin oleh negara. Indonesia punya Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers.

Falsafah Turow, Montesquieu, dan Habibie itu difasihkan Maria dalam presentasinya. Dia juga menyinggung tentang pendiri Rappler, media daring dari Filipina.

"Ada yang menarik dari Maria Ressa ketika dia menyampaikan pidato saat dia meraih Nobel, dan dia menerimanya di hall di Oslo, sebuah city hall yang begitu cantik dekornya," puji Maria Warta Silaban.

Maria (Ressa) mengatakan, 'Without facts, you can't have the truth; and without truth, you can't have trust. Without trust, we have no shared reality, no democracy. And it becomes impossible to deal with the existential problems of our times: climate, coronavirus, now, the battle for truth' (tanpa fakta, Anda tidak bisa punyai kebenaran; dan tanpa kebenaran, Anda tidak dapat memiliki kepercayaan. Tanpa kepercayaan, kita tidak memiliki realitas bersama, tidak ada demokrasi. Dan menjadi tidak mungkin untuk menangani masalah eksistensial di zaman kita: iklim, virus corona, sekarang saatnya, pertempuran untuk kebenaran).

"Kita tidak akan bisa tahu apa yang terjadi di sekitar kita bahwa ada perubahan iklim. Wartawanlah yang menyampaikannya. Kita tidak tahu apa itu Covid-19 kalau tidak ada media yang menyampaikannya. Bagaimana kita harus menjaga kesehatan, bagaimana saya harus menggunakan masker ini, walaupun saya sudah tes PCR seperti yang diminta," ujarnya.

"Jadi tetap kita menjalankan protokol kesehatan. Karena kita tahu para ahli menyatakan kita harus menerapkan 5M atau bahkan 6M menjaga jarak. Mudah-mudahan nanti ke depan ada jurnalis dari Indonesia yang meraih Nobel dan berangkat ke Oslo dan bicara di depan tokoh-tokoh hebat yang ada di sana," tambahnya.  

Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations (LSPR) Jakarta menggambarkan inilah media massa di era digitalisasi di mana ada konvergensi dan multiplatform. Bagaimana pemirsa dapat menonton suatu berita di televisi bila ingin menyaksikannya lebih panjang, tontonlah di Vidio.com dan jika ingin lagi (bisa) di Youtube.

"Demikian juga di Tempo. Berita dari majalah bisa kita cuplik di hari berikutnya untuk ditayangkan secara singkat di Tempo.co. Atau sebelum tayang di Tempo majalah, itu kita pancing dulu pembaca di Tempo.co pada hari Minggunya. Dan kita juga menyajikan berita video," ungkapnya.

Maria mengagumi reporter sekarang yang hebat-hebat menurut dia. Reporter bisa menulis, membuat video, dan ada beberapa di antara mereka juga yang pandai membuat grafis. Multifungsi ini yang terjadi. Orang pun bisa mendapatkan informasi dari berbagai media multiplatform.  

"Di era digitalisasi, kita melihat ada transformasi di situ, termasuk transformasi bagaimana orang-orang bisa melaporkan apa yang terjadi di sekitar dia, yang disebut citizen journalism," katanya.

Berita Lainnya
×
tekid