sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Orang Indonesia dilatih menulis bukan gaya piramida terbalik

Piramida terbalik itu adalah sistem dalam menulis yang mana hal paling penting ditaruh di bagian paling atas.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Jumat, 07 Jan 2022 22:41 WIB
 Orang Indonesia dilatih menulis bukan gaya piramida terbalik

Direktur Tempo Institute Qaris Tajudin dalam webinar Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP), di penghujung 2021 lalu, mengatakan bahwa siaran pers perlu ditulis dalam sistem piramida terbalik.

Piramida terbalik itu adalah sistem dalam menulis yang mana hal paling penting ditaruh di bagian paling atas. Lalu selanjutnya ke bawah menguraikan detail keterangannya.

Dia memberi contoh sebuah berita. Kemarin, ada angin kencang sekali di Tangerang. Menurut Qaris, di paragraf pertama dan kedua akan digambarkan ada angin kencang terjadi di Tangerang pada pukul sekian dikarenakan sesuatu.

Kemudian dijelaskan apa saja kerugian material lainnya seperti kalau ada warung yang roboh atau mobil tertimpa pohon, berapa banyak, ada korban jiwa atau tidak. Nanti di paragraf ketiga baru dituliskan detailnya. Tapi hanya dengan melihat dua paragraf awal, pembaca sudah akan memahami apa yang terjadi.

Saat ini, katanya, kecenderungan orang untuk media online adalah mereka paling banter hanya membaca sampai paragraf ketiga. Jadi media massa seperti di harian Kompas dan majalah Tempo memiliki alat yang melihat berapa pembaca untuk satu berita. Berapa persen yang hanya membaca judul, paragraf pertama-kedua, dan paragraf selanjutnya itu dapat dilihat redaksi dengan kecanggihan alat bantu tersebut.

"Masalahnya, orang (Indonesia) tidak dilatih menulis dengan gaya piramida terbalik. Tapi gaya piramida saja. Di mana kita dilatih seperti itu? Ketika kita menulis skripsi atau tesis," cetusnya.

Ditambahkan, orang dilatih untuk menulis pembukaan dulu. Hal-hal yang tidak penting ditulis duluan seperti mukadimah dan latar belakang. Bagian kesimpulan kemudian ditaruh di tempat paling akhir, padahal itu yang paling penting sebenarnya. Cara berpikir seperti ini terbalik jauh dari cara pikir untuk membuat berita atau siaran pers.

"Akibatnya orang kesulitan ketika disuruh membalik pikiran. Ini terjadi bukan hanya di kalangan Humas atau penulis lainnya. Di kalangan wartawan pun seperti itu, tapi biasanya disuruh menulis saja dulu, lantas harus dibuang dua atau tiga paragraf pertama. Itu kadang-kadang membuat tulisan bisa lebih baik," ujarnya.  

Sponsored

Qaris mengutip Amarzan Loebis, almarhum wartawan Tempo, yang pernah berkata: "Tidak ada tulisan yang jelek. Yang ada itu adalah perbedaan logikanya saja." Jadi beda tulisan itu adalah perbedaan sudut pandang saja. Ada yang penting menurut lembaga Humas dan ada yang lebih penting menurut publik. Kepentingan publik itu yang diasumsikan oleh wartawan.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid