Koalisi Masyarakat Sipil menilai, ada banyak kejanggalan dalam peristiwa penembakan enam anggota Front Pembela Islam (FPI) yang diduga kuat pelanggaran HAM.
Pertama, mengapa polisi membuntuti iring-iringan FPI hanya karena mendengar kabar akan ada pengerahan massa untuk unjuk rasa. Kedua, alasan penembakan terbilang umum, karena ada penyerangan dari anggota FPI. Jika memang ada senjata api dari pihak FPI, mengapa polisi tidak melumpuhkan. Jika memang betul pihak FPI memiliki senjata api tidak berizin tentunya perlu diusut pula.
Ketiga, kejanggalan CCTV di lokasi kejadian yang tidak berfungsi. Keempat, kronologi kejadian yang bertolak belakang antara FPI dan Polri.
“Tentunya kronologi tersebut tidak bisa ditelan mentah-mentah karena seringkali tidak benar,” ujar perwakilan koalisi sekaligus Kepala Advokasi dan Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Nikodemus dalam keterangan tertulis, Selasa (8/12).
Terbukti, dalam kasus pembunuhan atas YBD oleh polisi pada 2011-yang disebut melawan aparat, sehingga harus ditembak. Namun, hasil autopsi menunjukkan tubuh YBD penuh luka penyiksaan karena diseret dan dipukuli. Selain itu, dalam operasi pekat jelang Asian Games 2018, polisi menembak 77 orang hingga tewas. Ironisnya, pelaku dipenjara dengan hukuman ringan. Ketika diautopsi, ternyata asal tembakan dari belakang dan patut diragukan kegentingannya. Padahal, penggunaan senjata api semestinya upaya terakhir untuk melumpuhkan atau mencegah pelaku melarikan diri.
Koalisi meminta penyelidikan dilakukan secara independen, transparan, dan akuntabel. Penggunaan senjata api secara sewenang-wenang tergolong pelanggaran HAM serius, karena korban dihilangkan nyawanya sebelum melewati proses peradilan.
“Penuntutan terhadap perkara tersebut akan otomatis gugur karena pelaku meninggal dunia,” tutur Nelson.
Koalisi khawatir tindakan brutal tersebut tidak mendapatkan sanksi. Sebab, hingga saat ini, tidak ada penegakan hukum sungguh-sungguh terhadap unlawfull killing maupun extrajudicial killing yang diduga kuat oleh aparat. Imbasnya, kasus serupa terus menerus berulang.
Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari YLBHI, LBH Jakarta, ICJR, IJRS, HRWG, Institut Perempuan, LBH Masyarakat, LeIP, KontraS, SETARA Institute, PSHK, ELSAM, Amnesty International Indonesia, Public Virtue Institute, PBHI, PIL-Net, ICEL, Asosiasi LBH APIK Indonesia, Imparsial, dan LBH Pers.