sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Air masih jadi komoditas, seruan Anies cegah corona sia-sia

Lantaran hingga kini, terang KMMSAJ, masih terjadi swastanisasi air. Berlangsung sejak 23 tahun silam.

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Senin, 23 Mar 2020 08:30 WIB
Air masih jadi komoditas, seruan Anies cegah corona sia-sia

Ajakan warga DKI Jakarta rajin mencuci tangan oleh Gubernur, Anies Baswedan, dalam meminimalisasi penularan pandemi coronavirus anyar (Covid-19), dianggap sia-sia. Lantaran pemerintah provinsi (pemprov) membiarkan swastanisasi air Ibu Kota hingga kini.

Dus, air menjadi komoditas bisnis. Pun tak bisa dijangkau seluruh lapisan masyarakat.

"Pengelolaan air oleh swasta ini, menjadikan air sebagai komoditas bisnis. Yang tidak bisa dijangkau semua golongan masyarakat," tutur perwakilan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), Suhendi, melalui keterangan tertulis yang diterima Alinea.id, Senin (23/3).

"Akibatnya, prioritas layanan air bersih hanya menjangkau kalangan masyarakat menengah ke atas. Dan dipusatkan bagi kawasan perumahan mewah, apartemen, hotel, mal, dan perkantoran," ucapnya.

Hal tersebut, tambah dia, berimbas terhadap masifnya penyebaran SARS-CoV-2 di Jakarta. Bahkan, telah ditetapkan sebagai episentrum di Tanah Air.

Merujuk data resmi, sebanyak 307 warga Jakarta positif Covid-19 hingga Minggu (22/3), pukul 18.00. Sebanyak 180 orang di antaranya dirawat. Lalu, 21 sembuh, 77 isolasi mandiri, dan 29 meninggal.

Suhendi mengingatkan, air merupakan hak konstitusional kebutuhan dasar masyarakat. Sehingga, tak bisa dibatasi aksesnya. Untuk alasan apa pun.

Sayangnya, ungkapnya, Anies tampak enggan menghentikan swastanisasi air―telah berlangsung selama 23 tahun. "Janjinya menghentikan swastanisasi air Jakarta masih jadi angan-angan kosong," ujarnya.

Sponsored

"Alih-alih meminta warga DKI Jakarta tetap di rumah dan rajin mencuci tangan untuk mencegah penularan Covid-19, gubernur sendiri justru terus membiarkan adanya hambatan akses seluruh golongan masyarakat terhadap air," paparnya.

KMMSAJ mencatat, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat tak mampu mengakses air bersih. Khususnya, kaum papa.

Pertama, kualitas air buruk dan tak layak konsumsi. Seperti di Rawa Badak, Koja, Jakarta Utara. Masyarakat setempat mesti bertahan dengan air keruh dan bau.

"Keadaan yang lebih buruk juga dialami oleh masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat. Airnya tidak hanya hitam dan bau. Namun, juga berbusa/berbuih," urainya.

Kedua, ketersediaan air tersendat-sendat. Di beberapa wilayah Jakarta, hanya mengalir pada jam tertentu. Sehingga, imbauan perbanyak mencuci tangan takbisa dilakukan.

Ketiga, warga mesti membeli air dengan harga mahal. Imbas swastanisasi air, masyarakat harus membayar Rp6.300-Rp7.800 per meter kubik air.

"Ini dirasa lebih berat oleh perempuan. Karena perannya yang lebih banyak bersinggungan dengan air. Untuk memastikan kebutuhan anak, keluarga, dan rumah tangga terpenuhi," katanya.

Atas dasar itu, KMMSAJ mendesak beberapa hal kepada negara. Khususnya dalam rangka memperingati Hari Air Dunia―jatuh pada 22 Maret. Pertama, presiden dan kepala daerah memastikan penguasaan air. Demi kemakmuran rakyat. Sesuai mandat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara RI (UUD NRI) 1945.

Kemudian, mendesak Anies menunaikan janji. Segera memutus kontrak pemprov via PAM Jaya dengan PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta. Guna menghentikan swastanisasi air.

Ketiga, Pemprov Jakarta menjamin ketersediaan dan akses air minum maupun air bersih bagi seluruh warga. Terutama masyarakat miskin kota dan kelompok rentan.

Lalu, meminta DPRD Jakarta memastikan gubernur menjalankan amanat konstitusi. Selanjutnya, menjamin keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam kelembagaan dan pengambilan keputusan pengelolaan air.

Keenam, mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengawasi rencana pengambilalihan pengelolaan air oleh pemprov. Lantaran rentan terjadi rasuah.

Berita Lainnya
×
tekid