sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Membangun ibu kota baru di tengah anjloknya ekonomi imbas pandemi

Rencana pemindahan ibu kota negara memasuki babak baru setelah pemerintah menyerahkan surat presiden dan draf RUU IKN kepada DPR.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 08 Okt 2021 08:57 WIB
Membangun ibu kota baru di tengah anjloknya ekonomi imbas pandemi

Pada Rabu (29/9) siang, Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyerahkan surat presiden dan draf Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) kepada pimpinan DPR di Kompeks Parlemen, Jakarta.

Dalam konferensi pers yang digelar hari itu juga di lobi Gedung Nusantara III, Kompleks MPR/DPR, Jakarta, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, dengan dikirimnya surat presiden dan draf RUU IKN ke DPR, program pemindahan ibu kota negara masuk babak baru.

“Kami harapkan pemerintah bisa lebih mengkonkretkan dalam melakukan sosialisasi kepada publik terkait rencana melaksanakan pemindahan ibu kota negara, baik dari sisi ekonomi, sosial, dan efektivitas, termasuk tahapan dan skema pembiayaannya,” ujar Puan.

Draf RUU IKN terdiri dari 34 pasal dan 9 bab. Dalam kesempatan itu, Suharso Monoarfa menyebut, di dalamnya terdapat tahapan-tahapan pembangunan ibu kota baru hingga terkait pembiayaan. Hingga kini, ujar Suharso, pemerintah sudah mulai melakukan pembangunan infrastruktur logistik di sekitar kawasan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Tak tepat

Di dalam Pasal 36 ayat (1) draf RUU IKN disebutkan, pembiayaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan ibu kota negara dapat bersumber dari APBN, pengelolaan barang milik negara, pendanaan swasta, kerja sama pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur, serta sumber lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan besaran dana untuk pembangunan ibu kota baru tercantum dalam lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2022. Pembangunan ibu kota negara masuk di dalam kategori mengembangkan wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan. Nilainya tercantum Rp510,799 miliar.

Menyoal skema pembiayaan pembangunan ibu kota negara, Alinea.id sudah berusaha menghubungi pihak Bappenas. Namun, hingga laporan ini diterbitkan, tak ada pihak dari Bappenas, termasuk Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, yang bersedia dimintai keterangan.

Sponsored

Ilustrasi ibu kota baru “Negara Rimba Nusa” karya pemenang I sayembara gagasan desain kawasan ibu kota negara, Senin (23/12/2019)./Karya Urban+/YouTube Kementerian PUPR.

Di sisi lain, keputusan menjadikan RUU IKN masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021 mendapat penolakan tiga fraksi di DPR, yakni PKS, Demokrat, dan PAN.

Anggota Komisi VII dari fraksi PKS Mulyanto berpendapat, pembangunan ibu kota negara harus ditunda karena bakal menyedot anggaran yang besar. Terlebih saat ini kondisi ekonomi negara tengah terpuruk, imbas pandemi Covid-19.

Ia menyarankan pemerintah fokus menata ekonomi yang karut-marut karena pandemi daripada membangun ibu kota baru yang kurang mendesak. Memaksakan pemindahan ibu kota negara, ujar dia, justru akan memperpanjang krisis ekonomi.

“Proyek IKN tidak tepat dan seharusnya tidak masuk dalam skala prioritas pembangunan,” katanya kepada Alinea.id, Senin (4/10).

“Sekarang harusnya fokus mengejar target vaksinasi serta mulai menata kembali pergerakan ekonomi di sektor-sektor prioritas.”

Menurut dia, pemerintah sebaiknya menggunakan anggaran untuk pemulihan ekonomi, seperti industri pengolahan berorientasi ekspor maupun pasar domestik, industri yang menyerap tenaga kerja tinggi, dan industri pariwisata.

Ia berkesimpulan, saat ini pemindahan ibu kota negara belum menemukan momentum yang tepat. “Dalam konteks ini, maka tak ada urgensi buru-buru membangun IKN, tak ada alasan yang mendesak segera pindah ibu kota,” ujar mantan peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) itu.

Mulyanto menilai, pemerintahan Joko Widodo alias Jokowi periode kedua tak tepat mengeluarkan keputusan strategis memindahkan ibu kota negara karena hanya memiliki waktu sedikit menjelang Pemilu 2024.

"Rezim yang sekarang tinggal beberapa tahun lagi," ucap Mulyanto.

Oleh karenanya, ia menyarankan realisasi pemindahan ibu kota diserahkan kepada pemerintahan selanjutnya, sembari menunggu kondisi ekonomi membaik. “Sementara pemerintah yang sekarang, melakukan kajian yang mendalam,” ujarnya.

Ditunda dulu

Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor (kanan) saat meninjau lokasi rencana ibu kota baru di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (17/12/2019). /Foto Antara.

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti juga berpendapat, pemindahan ibu kota di tengah situasi pandemi bukan keputusan yang bijak.

“Berisiko memperburuk kondisi ekonomi yang saat ini anjlok akibat pandemi,” ujar Esther saat dihubungi, Senin (4/10).

Lebih baik, kata Esther, pemerintah berupaya memulihkan ekonomi untuk mewujudkan mimpi Indonesia emas, ketimbang melakukan pemindahan ibu kota negara. Pemindahan ibu kota negara, menurutnya, tak mendesak dibandingkan tantangan ekonomi yang akan dihadapi.

"Lebih baik fokus bagaimana mewujudkan Indonesia emas, Indonesia menjadi salah satu negara dari lima negara adidaya dalam ekonomi di dunia,” katanya.

“Sehingga visi Indonesia emas bisa terwujud, bukan sekadar mimpi.”

Ia menyarankan pemerintah untuk fokus membuat program agar Indonesia keluar dari kategori negara berpendapatan menengah. Menurutnya, pemerintah seharusnya memprioritaskan upaya mendongkrak pertumbuhan ekonomi, yang saat ini anjlok minus 2,07%, dengan memupuk modal yang kuat lewat investasi.

"Selain itu, jangan lupa pembangunan sumber daya manusia adalah modal utama untuk mewujudkan hal itu," kata Esther.

Di samping itu, Esther memandang, pemerintah perlu menggenjot produksi ekspor berdaya saing tinggi, agar laku di pasar global. "Artinya ekspor produk final, bukan komoditas mentah yang diekspor," ucap Esther.

Ia menambahkan, program kedaulatan pangan untuk mengurangi ketergantungan impor pangan juga perlu diberi prioritas. "Sebab, negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Eropa, mereka tetap konsen pada pangan," ucap Esther.

Jika semua upaya pemulihan pertumbuhan ekonomi dilakukan secara serius, Esther yakin Indonesia akan meraih surplus neraca perdagangan. "Dan produk domestik bruto makin besar dan pertumbuhan ekonomi tinggi," kata Esther.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Satria Aji Imawan mengatakan, pendanaan untuk pembangunan ibu kota negara tak masalah dilakukan saat kondisi ekonomi yang anjlok. Asal tetap memperhatikan rasio utang dan melakukan pendanaan pembangunan secara cermat.

Menyoal skema anggaran, Satria menuturkan, bisa saja pemerintah bekerja sama dengan swasta untuk mengurangi beban pengeluaran. Namun, tetap saja mayoritas anggaran bersumber dari APBN.

"Bisa saja dengan skema public private partnership. Hanya saja perlu jadi catatan bahwa public memegang porsi lebih besar ketimbang private di skema itu,” kata dia dihubungi pada Kamis (7/10).

“Ada istilah 80-20. 80 public, 20 private.”

Satria berpandangan, anggaran negara tetap harus jauh lebih besar dibanding modal swasta. Tujuannya, supaya fungsi kontrol pemerintah lebih besar pula dalam mengelola ibu kota negara dan tak tunduk terhadap kepentingan bisnis.

"Poin pentingnya, kontrol pemerintah agar IKN benar-benar menjadi ibu kota dan pusat pemerintahan, bukan pusat bisnis," ucap Satria.

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra.

Akan tetapi, Satria menyarankan, aktivitas pembangunan ibu kota baru sebaiknya ditunda hingga Undang-Undang (UU) IKN disahkan. Katanya, pembangunan tanpa payung hukum rawan terjadi penyimpangan.

"Pemerintah bisa melakukan kegiatan survei saja, tapi bukan pembangunan," ujar Satria.

Penyimpangan itu, tutur Satria, bisa berupa kebocoran anggaran atau tumpang tindih kewenangan. Sebab, tak ada perangkat untuk mengawasi pembangunan.

Bila ingin segera pembangunan ibu kota negara, kata dia, seharusnya pembahasan RUU IKN dipercepat, dengan melibatkan semua pihak yang terkait dengan proyek ibu kota itu.

Masalahnya, ia memandang, sejauh ini pembahasan mengenai ibu kota negara belum banyak melibatkan pihak terkait, salah satunya masyarakat lokal di kawasan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Padahal, masyarakat lokal merupakan pihak yang bakal terdampak.

"Semua aktor dilibatkan karena berbicara pembangunan, maka ini kepentingan nasional. Jika pembangunan sukses, semua menanggung hasilnya, begitu juga ketika pembangunan gagal," ucap Satria.

Lebih lanjut, Satria melihat, pembahasan ibu kota negara masih berkutat pada penyediaan industri terpadu. Namun, nihil pada persoalan lingkungan. Padahal, Presiden Jokowi kerap gembar-gembor ibu kota negara bakal dibangun dengan konsep smart city.

"Ini yang perlu diperhatikan. Jangan sampai merusak lingkungan," ucap Satria.

Berita Lainnya
×
tekid