sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Peserta didik adukan beban belajar dari rumah, Pengamat: Ada kesalahan persepsi

Pelaksanaan pembelajaran jarak jauh seringkali diartikan sekolah dengan pemberlakuan jam belajar selayaknya jam sekolah normal.

Hermansah Manda Firmansyah
Hermansah | Manda Firmansyah Senin, 13 Apr 2020 17:59 WIB
Peserta didik adukan beban belajar dari rumah, Pengamat: Ada kesalahan persepsi

Sejumlah kepala daerah telah menginstruksikan kepada warganya agar bekerja dari rumah alias work from home (WFH). Bahkan aktivitas belajar dan mengajar untuk sementara tidak lagi dilakukan di sekolah, melainkan di rumah. Semua itu dilakukan dalam upaya meminimalisir penyebaran coronavirus di Indonesia.

Tetapi belakangan, baru diketahui beberapa kendala yang harus segera dibenahi untuk mengefektifkan program belajar dari rumah. Setidaknya itu terlihat dari jumlah pengaduan yang diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). 

Selama empat minggu pemerintah melaksanakan kebijakan belajar dari rumah, sebanyak 213 pengaduan telah diterima KPAI.  Ratusan pengaduan tersebut terjaring dari Senin, (16/3) hingga Kamis (9/4). Umumnya, pengaduan yang diterima KPAI langsung berasal dari siswa SMP, SMK, dan SMK dari berbagai daerah.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengungkapkan, mayoritas pengaduan menyangkut beratnya berbagai penugasan guru dan persoalan kuota internet. Pengaduan terbanyak berasal dari provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Dari total pengaduan yang masuk, sebesar 70% di antaranya terkait keluhan tugas berat yang harus dituntaskan dalam tempo singkat. Di sisi lain, penugasan tersebut disayangkan karena membosankan. Misalnya, merangkum materi dan menyalin soal di buku tulis, padahal materi dan soal sudah ada dalam buku paket.

“Keluhan untuk hampir semua bidang studi. Ada siswa SMP pada hari ke-2 pemberlakuan pembelajaran jarak jauh mengaku telah mengerjakan 250 soal dalam sehari,” ujar Retno dalam konferensi pers, Senin (13/4).

“Ada siswa SD juga yang mendapatkan tugas menyalin 83 halaman buku cetak,” tambah dia.

Pelaksanaan pembelajaran jarak jauh seringkali diartikan sekolah dengan pemberlakuan jam belajar selayaknya jam sekolah normal. Imbas, banyak guru pada jenjang SMP dan SMP yang menugaskan muridnya merangkum setiap jam pelajaran tiba.

Sponsored

Sehingga setiap pergantian mata pelajaran, siswa dibebani berbagai tambahan tugas baru, padahal tugas sebelumnya belum tuntas dikerjakan. Retno pun mengkritik proses pembelajaran di rumah yang sedemikian kaku–dari jam pertama, hingga jam terakhir.

KPAI juga menerima aduan mengenai kesulitan membeli kuota internet untuk pembelajaran daring bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Khususnya, ihwal jangkauan jaringan internet untuk proses belajar mengajar siswa yang tinggal di daerah tertinggal, terdepan, dan terpencil. Retno menyoroti keluhan terkait tiadanya fasilitas penunjang seperti laptop atau komputer untuk mengoptimalkan kegiatan belajar mengajar jarak jauh.

Menanggapi itu, Pengamat Pendidikan Doni Koesoema mengatakan, Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa darurat Penyebaran Coronavirus Disease (covid-2019), tidak mewajibkan selesainya target kurikulum.

"Banyak salah paham di kalangan pendidik tentang kebijakan belajar dari rumah yang memberatkan ekonomi orang tua dan melelahkan anak," tutur dia.

Pada poin nomor 2 surat edaran tersebut menyebutkan: 1. Belajar dari rumah melalui pembelajaran daring/jarak jauh dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan. 2. Belajar dari Rumah dapat difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup antara lain mengenai pandemi Covid-19. 3. Aktivitas dan tugas pembelajaran Belajar dari Rumah dapat bervariasi antarsiswa, sesuai minat dan kondisi masing-masing, termasuk mempertimbangkan kesenjangan akses/ fasilitas belajar di rumah. 4. Bukti atau produk aktivitas Belajar dari Rumah diberi umpan balik yang bersifat kualitatif dan berguna dari guru, tanpa diharuskan memberi skor/ nilai kuantitatif.

"Kurang sosialisasi atas surat edaran, sehingga banyak penyimpangan di lapangan. Banyak sekolah mengandaikan situasi normal sehingga belajar di rumah jadwalnya seperti sekolah biasa. Ini memberatkan dan menambah beban ekonomi orang tua yang harus membeli pulsa untuk isi kuota gawai anak-anak," terang Doni.

Lantas seperti apa penyelesaiannya? Doni menyarankan agar pemerintah dalam hal ini Kemendikbud membuka berbagai aduan masyarakat tentang belajar dari rumah. Kemudian menindaklanjuti secara lebih efektif, sekaligus melakukan kampanye tentang belajar dari rumah agar tidak merugikan anak dan orang tua.

 

Berita Lainnya
×
tekid