sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

BMKG 'senjatai' petani dan nelayan melawan anomali iklim

Informasi BMKG berpengaruh pada pola tanam, waktu bercocok tanam, panen, hingga varietas tanaman.

Fathor Rasi
Fathor Rasi Selasa, 09 Nov 2021 14:42 WIB
BMKG 'senjatai' petani dan nelayan melawan anomali iklim

Informasi tentang cuaca dan iklim tidak mudah dipahami masyarakat awam. Padahal, masyarakat awam terdampak langsung oleh perubahan cuaca dan iklim. Anomali iklim seringkali membuat mereka terpuruk.

Atas dasar itu, Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) turun gunung. Aparat BMKG di berbagai daerah membaur dengan masyarakat. Terutama masyarakat petani dan nelayan.

Kepada dua komunitas itu, kata Dwikorita Karnawati, BMKG memberikan bekal ilmu 'membaca' perilaku cuaca dan iklim. "Jadi, mereka (petani dan nelayan) bisa membuat persiapan jika akan ada cuaca ekstrem," kata Kepala BMKG Dwikorita, dilansir dari laman BMKG, Selasa (9/11).

Mantan Rektor Universitas Gajah Mada Yogyakarta itu menjelaskan, pemberian 'senjata' ini menjadi penting karena petani dan nelayan hanya menggunakan pengetahuan tradisional untuk mengenali perilaku iklim. Tanpa memanfaatkan alat apapun.

Dwikorita menjelaskan, informasi yang diolah BMKG menjadi bagian penting literasi iklim para nelayan dan petani. Informasi itu berpengaruh pada pola tanam, kapan mulai bercocok tanam, panen, hingga varietas tanaman yang ditanam. Juga kapan yang tepat menangkap ikan.

Kepada petani, Dwikorita mengatakan, BMKG mengenalkan perilaku iklim lewat Sekolah Lapang Iklim (SLI). Langkah ini diisiasi sejak 2013. Hasil sekolah ini, kata dia, telah meningkatkan produksi petani.

Selain produksi tanaman terjaga, kata Dwikorita, SLI membuat petani bertahan dari gempuran El Nino. "Meskipun ada El Nino, petani tetap bertahan. Mereka bisa meningkatkan produksinya hingga 39%," ucap dia.

Untuk nelayan, BMKG membuat Sekolah Lapang Cuaca Nelayan. "Alumni nelayan telah sukses menyelamatkan seluruh orang di desanya dari angin topan tropis. Karena dirinya mampu mempertahankan komunikasi melalui telepon seluler digital dan mereka mendapatkan informasi dan mereka dengan cepat bertindak untuk mengevakuasi daerah sekitar," ujar dia.

Sponsored

Dwikorita mengatakan pelayanan informasi cuaca dan iklim berbasis sains menjadi jembatan bagi multisektor. Tak hanya petani dan nelayan, informasi cuaca membantu sektor pariwisata hingga kesehatan.

"Salah satu contoh untuk kesehatan, kami mengkomunikasikan informasi tentang dampak perubahan iklim terhadap demam berdarah," kata dia.

Pengalaman BMKG bekerja di 'akar rumput' dan mempersenjatai petani dan nelayan ini diuraikan Dwikorita saat menjadi salah satu pembicara di Konferensi Para Pihak (COP) ke-26 di Glasgow, Skotlandia. Acara akan berlangsung hingga 12 November 2021. Ia berbicara di sesi "Climate Coaching: Closing the Gap Between Theory and Action."

Menekan hidrometeorologi ekstrem

Pada sesi lain, Dwikorita berkesempatan memaparkan upaya mitigasi terhadap dampak perubahan iklim pada hidrometeorologi ekstrem. Upaya ini penting, kata Dwikorita, karena wilayah Indonesia berhadapan dengan kompleksitas meteorologi, iklim, dan cuaca.

Ia mencontohkan kejadian hujan ekstrem pada Januari 2020. Saat itu intensitas hujan di Jakarta mencapai 377 milimeter hanya beberapa jam.

"Ini akibat cold surge sebagai hasil adanya celah tekanan antara dataran tinggi Tibet dengan Hongkong yang mengarah langsung ke wilayah barat daya Indonesia," ucap Dwikorita.

Guru Besar UGM itu mengatakan, dinamika iklim di Indonesia sangat dikontrol oleh wilayah di belahan dunia lain. Tak hanya intensitas hujan, ia juga menyebut terjadinya peningkatan karbondioksida (CO2).

Rata-rata peningkatan CO2 di Indonesia sebesar 2 ppm per tahun. "Rata-rata (CO2) di Indonesia itu 411, sedangkan rata-rata global adalah 415. Data tersebut diukur pada Januari 2021. Tetapi, peningkatan CO2 berada pada tren yang sama dengan global," ucap dia.

Pemanasan global juga berdampak pada angin topan tropis. Lima tahun terakhir, jelas dia, intensitas angin topan tropis lebih sering. Salah satu yang berdampak, yaitu Siklon Tropis Seroja.

"Ini berhubungan dengan peningkatan temperatur laut Indonesia yang pada saat itu mendekati 30 derajat Celcius. Normalnya 26 derajat Celcius. Siklon tropis ini berada di garis lintang 10 derajat, biasanya siklon tropis tidak sanggup mencapai lintang itu," lanjutnya.

Mitigasi menjadi salah satu langkah antisipasi. BMKG, klaim Dwikorita, telah meletakan ribuan alat observasi berupa sensor, satelit, dan radar di seluruh Indonesia. Data yang dihasilkan alat observasi itu kemudian dianalisis secara otomatis oleh kecerdasan buatan.

"Lalu hasil prakiraan cuaca dan peringatan dini secara otomatis disebar melalui mekanisme digital," kata Dwikorita.

Berita Lainnya
×
tekid