sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

BPPTKG ungkap alasan Gunung Merapi masih berstatus siaga

Gunung Merapi pernah meletus di November 2010. Setelah peristiwa tersebut, Gunung Merapi masih berstatus aktif hingga saat ini (4/11).

Raihan Putra Tjahjafajar
Raihan Putra Tjahjafajar Jumat, 04 Nov 2022 19:28 WIB
BPPTKG ungkap alasan Gunung Merapi masih berstatus siaga

Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menjelaskan alasan panjangnya status siaga Gunung Merapi. Gunung Merapi pernah meletus di November 2010. Setelah peristiwa tersebut, Gunung Merapi masih berstatus aktif hingga saat ini (4/11)

“Siaga ini panjang, karena aktivitas merapi saat ini, sesuai dengan kriteria status siaga. Status siaga itu ketika, sebuah gunung berapi memiliki aktivitas yang berpotensi mengancam penduduk di pemukiman, ada potensi itu. Tetapi, belum nyata. Jadi potensi itu ditujukan dengan gumpalan lava yang bertengger di barat daya sebesar 1,8 juta meter kubik. Dan di tengah kawah juga ada 2,8 juta meter kubik. Apabila kedua kubah itu longsor akan berpotensi ke arah kepemukiman,” kata Kepala BPPTKG Agus Budi dalam siaran online yang dipantau pada kanal youtube BPPTKG Channel, Jumat (4/11). 

Selain itu, dari data yang terkumpul, dalam gunung merapi masih memiliki supply magma. Mengakibatkan terjadi gempa hingga sebanyak 40 kali perhari. Gempa itu berdasarkan dari dalam Gunung Merapi yang dinamakan gempa vulkanik. 

“Apabila kita melihat laporan mingguan, gempanya mencapai sekitar 40-an perhari. Itu jumlah yang signifikan,” tambahnya. 

Untuk diketahui, jenis gempa yang berasal dari dalam gunung memiliki beberapa jenis, di antaranya gempa vulkanik dangkal tipe A (VTA) dan gempa vulkanik dangkal tipe B (VTB). 

Selain itu, pemantauan Gunung Merapi memiliki berbagai cara, hal itu bertujuan untuk memastikan kepada masyarakat bahwa pemantauan itu akurat. 

“Jadi, kami prinsipnya menerapkan semua metode yang bisa diterapkan untuk memantau Gunung Merapi. Metode yang lazim diterapkan adalah metode sesmik, deformasi, geokimia, visual, morfologi, dan drone.  Penerapan pemantauan itu bertujuan untuk memastikan data pemantauan itu memadai. Cukup untuk kita yakin, bahwa peringatan dini yang kita berikan kepada masyarakat itu adalah akurat,” tuturnya. 

“Ke depannya kita perlu mempunyai sensor pemantauan untuk kepentingan ini yang tidak terkendala cuaca. Karena peralatan yang tersedia masih terkendala cuaca. Apabila ada kabut, itu sudah tidak ada data lagi,” tutupnya.

Sponsored
Berita Lainnya
×
tekid