sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pansus DPR Papua mau anggota TNI pelaku mutilasi warga Nduga dihukum mati

DPR Papua juga mendorong adanya pengadilan koneksitas. Ini sesuai isi Pasal 89 ayat (1) KUHAP.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Jumat, 25 Nov 2022 20:57 WIB
Pansus DPR Papua mau anggota TNI pelaku mutilasi warga Nduga dihukum mati

Panitia Khusus (Pansus) Kemanusian DPR Papua (DPRP) mendorong enam prajurit TNI yang menjadi tersangka kasus dugaan pembunuhan disertai mutilasi empat warga Nduga dijerat hukuman mati.

Hal itu disampaikan Wakil Ketua Pansus Kemanusiaan DPRP, Namantus Gwijangge, menyikapi pernyataan Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa, yang menyebut enam anak buahnya dihukum maksimal.

Namantus mengatakan, pihaknya mengapresiasi langkah tegas Panglima TNI dalam menyikapinya kasus ini. Kendati demikian, dirinya mengingatkan, keluarga korban mau para pelaku dihukum mati, bukan hukuman maksimal.

"Dari kejadian ini, kami salut untuk pimpinan TNI, dalam hal ini Panglima TNI, Pak Jenderal Andika Perkasa. Tindakan dia tegas, pernyataan dia tegas. Yang kami sesalkan dari pernyataan terakhirnya ini, pasal yang dikenakan kepada para pelaku itu tidak jelas, hanya meminta hukum maksimal," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (25/11).

Berdasarkan fakta-fakta yang dikumpulkan Pansus DPRP, ungkap Namantus, seharusnya pelaku dijerat Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Ini juga sesuai permintaan keluarga korban.

"Kalau cuma maksimal, maksimal apa, gitu? Harus pasal yang jelas. Nah, pasal yang diminta keluarga adalah karena ini pembunuhan berencana dan dimutilasi, maka minta pasal maksimalnya adalah Pasal 340, hukuman mati. Nah, ini yang kami dorong," tuturnya.

Selain hukuman mati, Pansus DPRP juga mendorong pengadilan koneksitas untuk penyelesaian perkara. Alasannya, mekanisme peradilan yang dijalankan saat ini keliru, di mana pelaku TNI diproses di peradilan militer, sedangkan pelaku warga sipil di peradilan umum. 

Diketahui, proses peradilan untuk Mayor Inf HFD dkk berlangsung di Pengadilan Militer Makassar, Sulawesi Selatan, dan Pengadilan Militer Jayapura, Papua. Sementara itu, para pelaku warga sipil diadili di Pengadilan Negeri (PN) Mimika, Papua.

Sponsored

Padahal, kata Namantus, sesuai Pasal 89 ayat (1) KUHAP, suatu perkara pidana dilakukan bersama-sama oleh warga sipil dan anggota militer yang diperiksa peradilan umum kecuali apabila kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer, maka diadili peradilan militer.

"Nah, itu perintah undang-undangnya. Tapi kalau [mekanisme peradilan untuk Mayor Inf HFD dkk] hari ini tidak. Jangan, kan, lebih dari satu, satu orang [anggota TNI] saja ikut terlibat, maka mau tidak mau mekanismenya [peradilan koneksitas] harus dijalankan," paparnya.

Menurut Namantus, pertimbangan kasus mutilasi empat warga Nduga diselesaikan dengan mekanisme peradilan koneksitas berangkat dari titik berat korban. Dia bilang, jika titik berat korbannya adalah warga sipil, seharusnya peradilannya berlaku secara koneksitas, semua pelaku diadili di pengadilan umum.

"Pertimbangannya adalah ketika titik berat korbannya sipil, maka seharusnya bawa ke mekanisme koneksitas. Maka, [pelaku] bawa ke mekanisme peradilan umum," tandasnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid