close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi penikaman./Foto Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi penikaman./Foto Pixabay.com
Peristiwa
Rabu, 25 Juni 2025 12:14

Mutilasi di Padang Pariaman: Kenapa femisida terus berulang?

Kasus mutilasi di Padang Pariaman merupakan indikasi problem struktural di masyarakat.
swipe

Penemuan tubuh perempuan yang tak utuh di Sungai Batang Anai, Padang Pariaman, Sumatera Barat, Selasa (17/6), bikin geger warga setempat. Tubuh itu tanpa kepala, tangan, dan kaki. Baru keesokan harinya, bagian-bagian tubuh korban lainnya ditemukan polisi. 

Polisi bergerak cepat. Dari hasil identifikasi, korban diketahui bernama Septia Ananda, 25 tahun. Tak butuh lama bagi aparat kepolisian setempat untuk menangkap pelaku yang bernama Satria Juhanda (SJ) alias Wanda.

"Didapati bahwa terduga pelaku adalah inisial SJ ini yang kemudian langsung kami amankan pada Kamis (19/6) dini hari," kata Kapolres Padang Pariaman, AKBP Faisol Amir kepada wartawan.

Kepala polisi, Wanda mengaku membunuh Nanda, sapaan akrab Septia Ananda, karena persoalan utang-piutang. Nanda disebut pelaku punya utang sebesar Rp3,5 juta kepadanya. 

Yang mengagetkan, Nanda ternyata bukan satu-satunya korban Wanda. Setelah diinterogasi secara mendalam, Wanda mengaku membunuh dua perempuan lainnya. 

"Pelaku mengaku bahwa dirinya juga telah membunuh dua orang mahasiswi yang merupakan kekasihnya dan teman dari kekasihnya, serta jasadnya dibuang di dalam sumur," jelas Faisol. 

Polisi lantas membongkar sumur yang ada di sekitar rumah tersangka. Di dalam sumur, ditemukan tengkorak kepala yang ditengarai adalah korban pembunuhan atas nama Siska Oktavia Rusdi (Cika) dan Adek Gustiana (Adek). Keduanya hilang sejak Januari 2024

Cika, menurut keterangan polisi, dibunuh Wanda karena cemburu. Saat menjalani kuliah kerja nyata (KKN), Cika disebut Wanda dekat dengan pria lain. Adapun Adek ikut dibunuh karena mendukung kedekatan Cika dengan pria lain itu. 

Sosiolog dari Universitas Negeri Padang (UNP) Sumatera Barat Erianjoni mengatakan kasus dugaan mutilasi yang terjadi di Padang Pariaman termasuk kategori femisida. Secara harfiah, femisida merupakan pembunuhan terhadap perempuan. 

Istilah itu digunakan untuk menyoroti kekerasan yang terjadi bukan hanya tindakan kriminal biasa, tetapi didorong oleh kebencian berbasis gender, diskriminasi atau ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.

"Dalam perspektif gender ada yang menyebut ini sebagai femisida atau pembunuhan oleh laki-laki terhadap perempuan," kata Erianjoni seperti dikutip dari Antara, Rabu (25/6).

Dalam perspektif sosiologi, menurut Erianjoni, tindakan Wanda terkategori sebagai defensif mutilasi. Artinya, kejahatan yang dilakukan pelaku dengan tujuan menghilangkan jejak. 

Erianjoni menduga pelaku seorang psikopat dan pembunuhan yang ia lakukan sudah direncanakan sebelumnya. "Ini adalah pembunuh berdarah dingin. Dalam bahasa psikologisnya disebut psikopat," jelas Erianjoni. 

Ini bukan kali pertama kasus femisida sadis diungkap polisi. Di Jawa Tengah, misalnya, tercatat ada enam kasus femisida sepanjang 2024. Teranyar, seorang pekerja seks komersial ditemukan tewas di Hotel Citra Dream, Semarang. Ia dibunuh karena pelaku tak puas dengan pelayanan korban. 

Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan, Chatarina Pancer Istiyani mengatakan femisida tak seharusnya dipandang sebagai kasus pembunuhan biasa oleh aparat penegak hukum. Pada femisida, terkandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi. 

"Kasus pembunuhan dengan motif femisida meningkat karena masalah relasi kuasa tidak dilihat sebagai akar  kasus pembunuhan ini," kata Istiyani kepada Alinea.id. 

Dalam sidang umum Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menurut, Istiyani, femisida didefinisikan pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan perempuan sebagai properti.

Tak hanya femisida, kekerasan terhadap perempuan dalam beragam bentuk juga masih marak lantaran ada problem persepsi di publik dan aparat penegak hukum. 

Korban yang terlibat kasus pornografi, misalnya, kerap beralih status menjadi pelaku karena pendekatan yang dipakai aparat ialah kriminalisasi. "Ini merupakan masalah yang sangat struktural, karena aparat punya pandangan yang patriarki," kata Istiyani. 
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan