sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Faktor-faktor maraknya kasus kekerasan seksual oleh guru agama

P2G mencatat, kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama formal dan nonformal selama 2021 terjadi di 27 daerah.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Rabu, 15 Des 2021 11:46 WIB
Faktor-faktor maraknya kasus kekerasan seksual oleh guru agama

Banyak kasus kekerasan seksual dengan pelaku guru agama terungkap belakangan ini. Misalnya Herry Wirawan, pemimpin sekaligus pengajar di pondok pesantren Madani Boarding School Cibiru di Kota Bandung, Jawa Barat (Jabar), yang memerkosa memperkosa 21 santriwati berusia 13-17 tahun sejak 2016.

Kemudian, guru agama sekaligus pengasuh pondok pesantren (ponpes) di Kabupaten Tasikmalaya, Jabar, yang melakukan kekerasan seksual kepada sejumlah santriwati berusia 15-17 tahun. Dia sudah dilaporkan kepada kepolisian.

Selain itu, seorang guru agama berinisial M di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (Jateng), terjerat kasus perkosaan terhadap 15 muridnya yang berusia 8-9 tahun pada September November. Termukahir, guru mengaji berinisial MMS di Kota Depok, Jabar, yang mencabuli 10 muridnya berusia 10-15 tahun pada Oktober-Desember 2021.

Berdasarkan catatan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan agama formal dan nonformal selama 2021 terjadi di 27 kota/kabupaten. Data tersebut belum termasuk kekerasan seksual yang terjadi di luar satuan pendidikan agama formal, seperti kasus pencabulan terhadap belasan anak laki-laki oleh guru mengaji di Padang dan Ternate.

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan, banyaknya kasus kekerasan seksual yang terungkap belakangan ini menjadi alarm darurat. Menurutnya, kasus ini harus dicegah serta ditangani secara sistematis dan komprehensif dari segi peraturan, ketersediaan prasarana, hingga perubahan budaya di lingkungan pendidikan.

Siti berpendapat, kekerasan seksual dengan pelaku pemuka agama tidak dilepaskan dari akar kekerasan seksual akibat ketimpangan relasi kuasa berbasis gender. Ini mengakar dalam budaya masyarakat yang bersumber dari sistem sosial-budaya patriarki, yang memberikan legitimasi laki-laki sebagai pemegang otoritas dan superioritas sehingga melakukan kontrol dan membangun norma berdasarkan nilai-nilai patriarki, pengalaman, dan kepentingan laki-laki.

“Ideologi patriarkis demikian telah memengaruhi cara berpikir masyarakat kita, mempengaruhi penafsiran atas teks-teks agama, dan juga para pengambil kebijakan-kebijakan publik/politik. Pengaruh ini melampaui ruang dan waktu kehidupan manusia baik di ranah privat, publik maupun negara," ucapnya kepada Alinea.id, Rabu (15/12).

Ketimpangan relasi kuasa berbasis gender tersebut, sambung Siti, diperburuk ketika pelaku memiliki kendali lebih terhadap korban dari segi ekonomi, pengetahuan, hingga status sosial. Kendali muncul dalam bentuk hubungan patron-klien, seperti antara orang tua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat atau tokoh agama-warga, ataupun pengasuh-santri.

Sponsored

“Karenanya ketika ada kekerasan seksual, korban cenderung diam karena ada relasi tersebut juga secara sosial, masyarakat lebih memercayai seseorang yang dinilai memiliki otoritas keagamaan atau pengetahuan sehingga ketika korban bersuara diarahkan untuk kepentingan nama baik institusi," tuturnya.

Jika ditilik lebih lanjut, ungkap Siti, kekerasan seksual di lingkungan pesantren memiliki ciri khas dibandingkan lembaga pendidikan lainnya. Modus pemaksaan perkawinan, memanipulasi santri terjadi perkawinan dengan pelaku, memindahkan "ilmu", akan terkena azab, tidak akan lulus dan hafalan bakal hilang, hingga memanfaatkan kerentanan santri belum bayar biaya pendidikan, contohnya.

Di sisi lain, terdapat beberapa faktor yang mendorong maraknya kasus kekerasan seksual di pesantren. Aan Anshori dalam Kekerasan Seksual di Pesantren: Upaya Membayar Janji yang Sulit Ditepati dalam buku Kekerasan Seksual dan Keadilan yang Harus Ditegakkan menulis, "pesantren merupakan institusi feodal yang patriarkis dan seksis. Pesantren sangat serius menjaga batas berdasarkan jenis kelamin dalam artian substantif maupun interaktif. Namun, perempuan diletakkan dalam posisi subordinat di hadapan laki-laki."

Menurutnya, kondisi tersebut adalah konsekuensi logis literatur dominan yang belum bersih dari cara pandang patriarkis-misoginis. Mayoritas kekerasan seksual di pesantren terjadi karena penyalahgunaan wewenang dari seseorang yang dianggap lebih superior, misalnya kiai, ustaz, hingga santri senior.

Korban tidak berdaya saat pelaku menggunakan ancaman maupun bujuk rayu yang bersifat agamis. Korban seolah dipaksa tunduk karena melawan berarti melakukan kejahatan serius, apalagi di banyak pesantren tidak hanya tubuh perempuan yang dianggap aurat, tetapi suaranya juga termasuk aurat karena pesantren merasa menanggung beban dan terobsesi untuk menelurkan santriwati ideal.

Berita Lainnya
×
tekid