close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi
icon caption
Ilustrasi
Nasional
Selasa, 23 Februari 2021 15:49

Gadis 15 tahun bunuh sepupu karena cabul, Komnas Perempuan: Ingat kasus NF

Kepolisian diminta menggunakan Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak.
swipe

Gadis berusia 15 tahun di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, ditangkap polisi setelah diduga membunuh sepupunya, NB. MS mengaku terpaksa membela diri, karena hendak diperkosa pria berusia 48 tahun tersebut.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi meminta, aparat kepolisian menggunakan Peraturan Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum, sebagai pedoman. 

Menurut dia, juga melaksanakan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

"Mengingat kepolisian belum memiliki peraturan internal terkait pedoman pemeriksaan PBH (perempuan berhadapan dengan hukum), maka kepolisian dapat menjadikan peraturan di kejaksaan dan pengadilan sebagai referensi dalam memeriksa perkara korban kekerasan seksual," ucapnya dalam keterangan tertulis, Selasa (23/2).

Dalam pemeriksaan perkara, kata dia, penyidik perlu mempertimbangkan kesetaraan gender dengan mengidentifikasi fakta terkait ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang berperkara; ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan; diskriminasi; dampak trauma psikis yang dialami korban; ketidakberdayaan fisik dan psikis korban; relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya; dan riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi.

Dalam proses penggalian fakta dalam kasus pembunuhan tersebut, Siti mengingatkan, penyidik kepolisian dilarang menunjukkan sikap dan mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi, ataupun mengandung stereotip gender. 

Selain itu, penyidik pun dituntut tidak mempertanyakan dan mempertimbangkan pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku maupun meringankan hukuman pelaku. Banyaknya kasus inses menunjukkan perempuan sejak usia anak sudah dalam situasi yang tidak aman. 

Bahkan, dia menegaskan, ancaman kekerasan seksual berasal dari keluarganya yang semestinya memberikan perlindungan terhadap tumbuh kembangnya.

Ia pun menjelaskan, anak korban kekerasan seksual akan mengalami trauma psikologis mendalam. Apalagi, pelaku kekerasan seksual masih memiliki hubungan kekeluargaan. Jadi, korban lebih memilih bungkam dan tidak segera mencari bantuan.

"Trauma psikologis dan ketidakberdayaan kemudian diekspresikan dalam bentuk kemarahan baik kepada pelaku atau orang lain pernah ditemui dalam kasus ABH (anak berhadapan dengan hukum) NF (15 tahun) (di Sawah Besar, Jakarta Pusat) yang diperkosa tiga orang, yaitu paman dan pacarnya mengekspresikan kemarahan dan ketidakberdayaannya terhadap balita tetangganya," tutur Siti.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Achmad Rizki
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan