sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Hafiz Alquran dan potensi diskriminasi masuk perguruan tinggi

Bisa menghafal Alquran menjadi syarat masuk perguruan tinggi negeri, selain melalui SNMPTN, SBMPTN, dan ujian mandiri.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Kamis, 27 Jun 2019 21:55 WIB
Hafiz Alquran dan potensi diskriminasi masuk perguruan tinggi

Saat ini, untuk diterima di perguruan tinggi negeri, mahasiswa tak hanya bisa masuk melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), dan ujian mandiri. Calon mahasiswa pun bisa masuk melalui jalur penghafal Alquran alias hafiz Alquran.

Beberapa universitas negeri menerima jalur hafiz Alquran ini, di antaranya Universitas Sebelas Maret (UNS), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Jambi (Unja), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Telkom University, dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Pada 2012, UNS mulai menerima calon mahasiswa yang punya sertifikat hafiz Alquran berupa poin tambahan. Batas hafalan calon mahasiswa di universitas ini, minimal 15 juz. UNS tercatat sebagai universitas negeri pertama yang memberikan apresiasi bagi calon mahasiswa yang memiliki sertifikat hafiz.

IPB mulai membuka jalur hafiz Alquran pada 2017. Berdasarkan situs resmi IPB, penerimaan mahasiswa baru hafiz Alquran lewat jalur seleksi prestasi internasional dan nasional (PIN).

Calon mahasiswa yang bisa menghafal 30 juz, akan diapresiasi pihak kampus dengan memberikan nilai tambahan setara prestasi olimpiade internasional. Sementara yang hafal minimal 15 hingga 29 juz, diapresiasi setara olimpiade nasional.

Selain universitas negeri, perguruan tinggi swasta pun menerapkan jalur hafiz Alquran untuk seleksi penerimaan mahasiswa baru. Salah satunya Universitas Islam Bandung (Unisba), yang dimulai pada 2009. Saat itu, Unisba hanya menerima tiga mahasiswa baru yang hafal Alquran 30 juz.

Perwakilan pesantren Al Huda membaca Alquran usai menerima bantuan di Masjid Baiturrahim, Kota Gorontalo, Gorontalo, Jumat (24/5). /Antara Foto.

Kebijakan kampus

Sponsored

Qori, salah seorang mahasiwa yang terlibat dalam urusan penerimaan mahasiswa baru jalur hafiz Alquran di UNJ mengatakan, jalur hafiz Alquran adalah kebijakan di kampusnya. Ia mengapresiasi kebijakan ini.

“Tapi sebaiknya, lebih diperjelas lagi terkait persyaratan. Misalnya, harus menyertakan bukti sertifikasi hafalan,” kata Qori saat dihubungi Alinea.id, Kamis (27/6).

Unesa juga termasuk yang menerima mahasiswa baru lewat jalur hafiz Alquran. Menurut juru bicara Unesa, Vinda Maya Setianingrum, kebijakan menerima mahasiswa baru dari jalur hafiz Alquran dimulai sejak pihak universitas meneken kerja sama dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jawa Timur.

Pembukaan jalur hafiz Alquran, kata Vinda, bertujuan memberikan kesempatan bagi siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN), yang tak mampu bersaing di jalur SNMPTN dan SBMPTN.

“Karena ingin mengapresiasi anak-anak yang punya kemampuan di bidang agama, tetapi secara akademik kurang kompetitif,” ujar Vinda saat dihubungi, Kamis (27/6).

Vinda mengatakan, kuota jalur hafiz Alquran tersedia 100 kursi, dengan tes hafalan 1 hingga 15 juz. Ia menuturkan, kebijakan pembukaan jalur hafiz Alquran, jalur pesantren, dan jalur disabilitas merupakan gebrakan dari rektor baru Unesa, yang dilantik pada 2018.

Pengaruh pada karakter 

Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sutan Adil Hendra mengapresiasi perguruan tinggi negeri yang membuka jalur khusus hafiz Alquran. Menurut dia, jalur hafiz Alquran sebagai seleksi masuk perguruan tinggi negeri diperlukan untuk membina karakter.

“Kehadiran penerimaan mahasiswa baru jalur hafiz Alquran mampu memupuk kecintaan peserta didik terhadap kitab suci agama Islam,” kata Sutan saat dihubungi, Kamis (27/6).

Ia menilai, lolos perguruan tinggi negeri tanpa tes merupakan hadiah bagi peserta didik yang berhasil menuntaskan hafalan Alquran. Kitab suci, kata dia, adalah pemandu karakter. Ke depan, ia berharap bukan sekadar hafiz Alquran, tetapi juga mampu menguasai isinya dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dihubungi terpisah, pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah, menyambut positif jalur hafiz untuk seleksi masuk universitas negeri. Namun, catatannya, persentase kuota yang disediakan tak boleh besar. Sebab, kata dia, kategori prestasi bukan hanya hafiz Alquran.

“Itu berarti ada penghargaan terhadap kondisi nyata yang mana siswa-siswi SMA di pesantren, boarding school, dan full school days memiliki program hafalan Alquran. Secara makro, itu juga menunjukkan penghargaan pemerintah terhadap umat Muslim dan prestasi anak bangsa,” ujar Jejen saat dihubungi, Kamis (27/6).

Menurutnya, di UIN Syarif Hidayatullah, hafalan Alquran sangat berkorelasi dengan prestasi akademik. Jejen mengamati, di Fakultas Kedokteran, beberapa mahasiswa yang hafal Alquran ternyata nilainya bagus.

Selain itu, katanya, mahasiswa yang hafal Alquran dari sisi sikap, punya motivasi belajar yang tinggi, tidak mudah menyerah, dan tidak menyia-nyiakan waktu.

Nah, sikap itu sumbernya berasal dari Alquran tadi,” tutur Jejen.

Juri (kanan) menyimak peserta lomba membaca Alquran di Kampung Beberan, Serang, Banten, Selasa (21/5). /Antara Foto.

Sementara itu, pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Mohammad Abduhzen memandang, jalur hafiz Alquran sebagai nilai tambah. Akan tetapi, ia menolak jalur ini sebagai seleksi masuk perguruan tinggi negeri tanpa tes akademik.

Alasannya, universitas negeri merupakan lembaga akademik. Maka, otomatis memerlukan kompetensi di bidang keilmuan.

“Kecakapan menghafal Alquran menjadi salah satu variabel yang bisa menentukan penerimaan, itu lebih bagus,” ucap Abduhzen saat dihubungi, Rabu (26/6).

Pentingnya pertimbangan kecakapan menghafal Alquran, sebut Abduhzen, karena di dalam Pancasila sila pertama terdapat penjelasan Ketuhanan yang Maha Esa. Abduhzen memandang, pembentukan insan intelektual berkarakter harus punya kejernihan berpikir dan wawasan keagamaan.

“Kualitas moral penting. Salah satu inspirasi dan basis moralnya berasal dari agama, dan Alquran adalah kitab suci yang jadi sumbernya,” ucap Abduhzen.

Abduhzen membantah bahwa hafalan Alquran bersifat diskriminatif. Baginya, jalur khusus ini bisa diartikan sebagai jalur prestasi yang jadi bahan pertimbangan.

“Misalnya, prestasi di bidang olahraga, tidak semuanya bisa. Sama dengan hafal Alquran, tidak semua calon mahasiswa baru bisa kan?” ujar Abduhzen.

Diskriminatif?

Di sisi lain, pengamat pendidikan Doni Kusuma Albertus mengatakan, penerimaan mahasiswa baru harus sesuai jalur. Hafiz Alquran, sebut Doni, hanya cocok untuk perguruan tinggi Islam, tak tepat diterapkan di perguruan tinggi negeri.

“Untuk masuk IAIN masih masuk akal, tetapi kalau universitas umum kurang tepat karena akan mendiskriminasi calon mahasiswa yang beragama non-Muslim. Padahal, proses seleksi penerimaan mahasiswa baru harusnya nondiskriminasi,” ujar Doni saat dihubungi, Rabu (26/6).

Doni menuturkan, jalur hafiz Alquran tak ada urgensinya bagi pendidikan di perguruan tinggi negeri. Jalur ini berbeda dengan jalur prestasi yang menonjolkan capaian akademik taraf nasional maupun internasional.

“Kalau hafiz Alquran yang dipakai untuk kriteria semacam sarjana hukum, psikologi, teknik, ya enggak ada hubungannya. Apalagi kalau hal itu menjadi syarat, itu mendiskriminasi,” tutur Doni.

Namun, senada dengan Abduhzen, ia pun sepakat hafiz Alquran sebagai nilai tambah hasil ujian akademik.

Sementara itu, setali tiga uang dengan Doni, anggota Ombudsman Ninik Rahayu, tak setuju dengan adanya jalur hafiz Alquran karena bertentangan dengan standar pendidikan, yaitu mengakomodir hak semua orang.

“Sistem pendidikan itu harus inklusif berlaku untuk semua. Kalau ada untuk golongan tertentu, saya kira itu mengarah pada pola-pola diskriminatif atas nama agama,” ujar Ninik, Rabu (27/6).

Berita Lainnya
×
tekid