sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Indonesia, bangsa bineka yang tak ekstrem ke kiri dan kanan

Para pahlawan yang berjuang mempertahankan kemerdekaan kala itu, berasal dari berbagai etnis, agama, maupun ras. 

 Siti Nurjanah
Siti Nurjanah Selasa, 16 Nov 2021 20:44 WIB
Indonesia, bangsa bineka yang tak ekstrem ke kiri dan kanan

Pemerhati isu strategis Imron Cotan menyatakan,  proses pembentukan Indonesia sebagai sebuah bangsa sudah dimulai sejak masa kolonial Belanda di abad 18. Proses itu tak henti, terus berlanjut hingga memasuki masa pergerakan nasional di abad 20 dan bermuara pada Proklamasi Kemerdekaan 1945.

"Dan wujud geografis kita sebagai negara kepulauan, yang terletak di antara dua samudra dan dua benua, membuat bangsa kita memiliki ciri khas yang berbeda dengan negara-negara besar lainnya yang umumnya kontinental," ujar Imron Cotan dalam Webinar Moya Institute bertajuk Momentum Hari Pahlawan: Peneguhan Kembali Nasionalisme, Senin (15/11). 

"Posisi geografis yang demikian, membuat bangsa kita, cenderung akomodatif. Tidak ekstrem ke kiri atau ke kanan," tambah Mantan Duta Besar Indonesia untuk China itu.

Masih kata Cotan, peristiwa Pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan, merupakan 'tes' pertama sebagai bangsa dalam menghadapi ancaman. 

Yang patut diingat, sambung Cotan, para pahlawan yang berjuang mempertahankan kemerdekaan kala itu berasal dari berbagai etnis, agama, maupun ras. 

"Saya sendiri menemukan, ternyata ada makam pahlawan di berbagai kota yang didalamnya terdapat makam para pahlawan dari berbagai etnis, dengan nama yang juga beragam," ujarnya.

"Sejarah bangsa kita menunjukkan, bahwa nasionalisme kita pasti bangkit ketika ada ancaman tertentu, tanpa harus diajar-ajari. Dan nasionalisme kita, memang berbasis kebinekaan," tambah mantan Duta Besar Indonesia untuk Australia itu. 

Pada kesempatan yang sama, Psikolog klinis dan forensi yang juga pegiat perempuan Kasandra Putranto menegaskan, meski sudah bukan di masa perang kemerdekaan lagi. Namun bangsa Indonesia sesungguhnya sampai sekarang masih menghadapi berbagai 'perang'. 

Sponsored

Perang yang dihadapi bangsa saat ini, menurut Kasandra bukanlah perang bersenjata sebagaimana zaman revolusi kemerdekaan dulu.

"Misalnya dua tahun ini, kita sedang perang melawan virus Covid 19. Lalu ada juga perang cyber, perang biochemical, dan ada juga perang ideologi, ketika orang-orang sekarang ini sangat mudah saling menghujat hanya karena perbedaan pandangan politik, ini semua tantangan kita saat ini," ujar Kasandra Putranto.

Kasandra pun menyinggung tentang kemampuan bangsa sekecil Korea Selatan, yang mampu mendunia dengan K-Pop nya. Dia mengatakan, globalisasi saat ini mungkin bisa mendatangkan kerugian bagi bangsa Indonesia, termasuk akibat 'serbuan' budaya asing semacam K-Pop.

Namun, di sisi lain, menurut Kasandra, Indonesia  juga bisa belajar dari keberhasilan Korea dengan K-Pop.

"Mengapa bangsa sekecil itu mampu memengaruhi dunia dengan K-Pop. Dan mereka sangat mencintai K-Pop nya, yang adalah budaya mereka sendiri. Itu yang bisa dan harus kita pelajari," ujar Kasandra.

Di sisi lain, dalam webinar yang sama, Pengacara sekaligus aktivis politik Kapitra Ampera, menyinggung tentang nasionalisme di bidang ekonomi.

Menurut Kapitra, dalam menggelorakan rasa nasionalisme di bidang ekonomi tak cukup dengan hanya  mengimbau masyarakat untuk cinta produk-produk Indonesia.

"Kita juga harus bisa memproduksi produk-produk berkualitas, agar bisa merebut pasar," ujar Kapitra. 

"Jangan hanya menghimbau masyarakat untuk membeli produk Indonesia, tanpa ada upaya meningkatkan mutu nya," imbuhnya. 

Kapitra menyatakan, kesuksesan China menghasilkan produk-produk yang kompetitif, sehingga bisa bersaing dengan produk-produk Barat patut dijadikan contoh.

"Hanya dengan menghasilkan produk-produk kompetitif, ketergantungan kita pada produk-produk impor bisa semakin dikurangi," ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid