sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Influencer Covid-19: Penyambung lidah pemerintah di tengah wabah

Upaya pemerintah menggandeng influencer dalam sosialisasi bahaya Covid-19 tak bakal efektif jika tidak dibarengi upaya-upaya luring.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 27 Mar 2020 17:01 WIB
Influencer Covid-19: Penyambung lidah pemerintah di tengah wabah

Sudah hampir sejam, Kamin manteng di depan televisi. Satu per satu saluran ia susur. Dengan teliti, pria berusia 60 tahun itu memantau setiap informasi terbaru mengenai penyebaran wabah Coronavirus atau Covid-19 di Indonesia. 

"Dia siarin apa saja. Saya mau bandingin supaya jelas korbannya udah berapa. Berapa yang meninggal, berapa yang sembuh. Takutnya sudah ada korban di sekitar kita," ujar Kamin saat berbincang denga Alinea.id di kediamannya di Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, Minggu (22/3).

Televisi menjadi satu-satunya sumber informasi bagi Kamin untuk mengetahui perkembangan wabah Covid-19. Meskipun punya ponsel, Kamin mengaku tak pernah menggunakannya untuk bermedia sosial. 

Jika dilihat dari usianya, Kamin tak termasuk generasi milenial. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai petani singkong itu lahir jauh sebelum era internet. 

Facebook, Twitter, Instagram, buzzer dan influencer adalah kata-kata yang tak familiar di telinganya. Tak heran jika Kamin hanya "percaya" pada televisi di rumahnya. 

"Saya enggak bisa (main media sosial). Orang yang abis baca medsos, saya lihat juga info yang mereka terima itu beda-beda soal Corona," ujar Kamin. 

Hari itu, pemerintah mengumumkan sudah ada 514 kasus pasien positif Covid-19. Sebanyak 48 di antaranya meninggal. Mayoritas berusia di atas 50 tahun. 

Di layar televisi, pemerintah--baik pusat maupun daerah--berulangkali mengimbau masyarakat untuk bekerja dari rumah. Meski begitu, Kamin tetap nekat ke luar rumah. "Saya kan cuma mau ke kebon," kata dia. 

Sponsored

Mengacu pada survei yang dirilis RRI dan Indo Barometer beberapa hari lalu, Kamin bisa dikategorikan sebagai kelompok masyarakat yang tahu anjuran pemerintah, namun tidak mengindahkannya. Total ada sekitar 30,8% orang-orang seperti Kamin. 

Survei itu digelar dengan melibatkan 400 responden dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, Banten, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Hasil survei menunjukkan masih ada 56,3% responden yang belum menerima arahan pemerintah mengenai langkah-langkah pencegahan Covid-19. 

Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di area permukiman warga di Kelurahan Mappala, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (25/3). /Foto Antara

Gandeng influencer "gratisan"

Kondisi seperti terekam dalam survei itulah yang coba diubah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan menggandeng 20 influencer untuk menyosialisasikan bahaya Covid-19 kepada publik. Kerja sama tersebut resmi disepakati dalam sebuah pertemuan di Graha BNPB, Jakarta, Jumat (21/3) lalu. 

Selain dari kalangan selebritas, influencer yang setuju membantu BNPB berasal dari aktivis, olahragawan, dan tokoh milenial. Nama-nama tenar di jagat maya yang digandeng, semisal Indra Bekti, Rachel Vennya, Taqy Malik, dan Sarah Alana Gibson. 

Deputi Bidang Pencegahan BNPB Lilik Kurniawan menyebut langkah itu sengaja diambil untuk memperluas jangkauan sosialisasi pencegahan Covid-19. Membenarkan hasil survei RRI dan Indo Barometer, ia mengakui, saat ini masih ada jarak antara pemerintah dan masyarakat. 

Potret itu, menurut Lilik, bisa tecermin dari sikap sebagian masyarakat yang kurang peduli terhadap seruan pemerintah untuk berkegiatan di rumah selama penanganan wabah Covid-19. Perilaku itu menyebabkan wabah kian sulit dikendalikan.

"Padahal, Presiden berapa hari yang lalu sudah menyampaikan supaya masyarakat sebaiknya di rumah aja. Tapi, ternyata kan (dicek ke) lapangan, (orang-orang) malah kelayapan. Puncak ramai. Pantai ramai," ucapnya kepada Alinea.id, Jumat (20/3).

Lilik optimistis kalangan influencer bisa berperan besar membantu pemerintah menyosialisasikan bahaya Covid-19. Apalagi, mayoritas influencer yang digandeng BNPB punya puluhan ribu hingga jutaan pengikut di jagat maya. 

"Mereka kami berikan konten dan informasi positif untuk mereka gunakan sebagai bahan edukasi, sosialisasi dan mitigasi. Kami harap dengan konten dan sosialisasi mereka. Masyarakat bisa lebih menerima dan turut menekan persebaran Covid-19," ujarnya.

Lilik menegaskan, tidak ada anggaran khusus yang dikucurkan untuk para influencer yang dilibatkan BNPB. Menurut dia, inisiatif untuk menyosialisasikan bahaya Covid-19 justru datang dari kalangan influencer. "Mereka yang merasa perlu ambil bagian," imbuhnya.

Terkait orang-orang seperti Kamin, Lilik mengatakan, BNPB sudah punya strategi khusus. Meski demikian, Lilik enggan merinci strategi itu. "Intinya kami akan mengajak semua pihak yang punya jaringan sampai ke level desa dan komunitas," ujarnya.

Salah satu influencer yang digandeng BNPB, Atiatul Muqtadir membenarkan ia dan rekan-rekannya bekerja tanpa dibayar. Menurut pria yang akrab disapa Fathur itu, kalangan influencer sudah terlebih dahulu bergerak untuk menyosialisasikan bahaya Covid-19 sebelum diundang BNPB. 

"Kami datang ke sana justru mau minta informasi yang akurat supaya donasi yang kita kumpulin bisa dialokasikan ke masyarakat. Pemerintah pun kami minta menstabilkan harga-harga. Sayang bila dana yang terkumpul terpaksa untuk membeli peralatan yang mahal," ucap Fathur kepada Alinea.id, Sabtu (21/3). 

Fathur menuturkan, ia dan rekan influencer lainnya bakal mengacu pada ketentuan yang ditetapkan World Health Organization (WHO) dan lembaga resmi lainnya. Salah satu fokusnya ialah mendorong agar imbauan social distancing dan bekerja dari rumah efektif.

"Kami ingin mengubah paradigmanya. Bukan berarti di rumah saja itu tidak produktif. Tapi, banyak hal yang bisa kita lakukan dengan hanya cukup dari rumah. Itu yang hari ini menjadi penting untuk langkah kita menekan persebaran wabah Corona," ucapnya.

Selain sosialisasi dengan cara kampanye di dunia maya, Fathur menjelaskan, ia dan rekan-rekannya juga bakal bergerak secara luring untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, semisal lewat program penyemprotan desinfektan dan pembagian masker bagi para pekerja informal. 

"Jadi, masing-masing sudah punya program. Ada yang fokusnya ke disinfektan, ada yang fokus membantu perawat di rumah sakit dan ada yang sosialisasi," ujar Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Gadjah Mada (UGM) itu. 

Kiprah influencer seperti yang diutarakan Fathur setidaknya bisa tergambar dari aktivitas Tirta Mandira Hudhi atau yang tenar di Twitter dengan nama akun @tirtha_hudhi. Selain mengingatkan para pengikutnya akan bahaya Covid-19, Dr Tirta juga menampung donasi dari publik untuk membantu pencegahan Covid-19. 

Saban hari, Dr Tirta melaporkan kegiatannya di lapangan kepada para pengikutnya. Laporan-laporan itu banjir apresiasi dari warga Twitter. Ribuan "like" dan "love" berdatangan sebagai tanda dukungan terhadap aktivitas influencer yang resmi digandeng BNPB untuk melawan wabah Covid-19 itu. 

Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di area permukiman warga di Kelurahan Mappala, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (25/3). /Foto Antara

Pemerintah harus jemput bola

Pakar komunikasi politik dari Universitas Airlangga (Unair) Suko Widodo pesimistis pelibatan influencer dalam sosialisasi bahaya Covid-19 bakal efektif. Menurut dia, pemerintah harus hadir langsung di tengah-tengah masyarakat. 

"Sebab, untuk ke tahap perilaku agar orang bertindak itu harus lebih banyak face to face. Jadi, ketika informasi disampaikan, harus ada perangkat yang kemudian menyertainya. Pelibatan influencer itu belum menjamin sebab hubungannya dengan masyarakat tidak real," ucapnya kepada Alinea.id, Sabtu (21/3).

Tak bisa tidak, Suko menegaskan, pemerintah harus segera menjemput bola ke lapangan. Pasalnya, masih banyak warga yang acuh tak acuh terhadap bahaya Covid-19. Itu mengindikasikan sosialisasi di layar kaca dan media sosial belum sepenuhnya efektif. 

"Saya keliling ke beberapa tempat. Saya datang ke berbagai pasar di Surabaya, enggak ada yang takut. Mereka menolak. Bahkan, (ada yang) mengatakan, 'Mati yo ben, Mas. Wong koncone akeh. (Mati, ya, biarin Mas. Orang banyak ini). Mereka melakukan perlawanan-perlawanan kultural," jelas dia. 

Untuk sosialisasi luring, Suko menyarankan sejumlah solusi. Pertama, menurunkan tim ke desa-desa untuk sosialisasi tatap muka. Kedua, menggandeng tokoh-tokoh masyarakat dan agamawan. Ketiga, memperbaiki pola komunikasi. Terakhir, penertiban lewat upaya paksa. 

"Kalau yang ngomong kepala kampung, ketua masjid, atau ketua gereja itu lebih ditaati. Kalau hanya medsos, saya tidak yakin dapat mengubah perilaku masyarakat. Selain itu, (perlu ada) informasi yang sifatnya instruktif dari negara. Instruktif itu harus ada sedikit upaya paksa," jelas dia. 

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Kepada Alinea.id, juru bicara pemerintah untuk penanggulangan Covid-19 Achmad Yurianto membenarkan bila pemerintah kewalahan menyosialisasikan pencegahan bahaya Covid-19 kepada publik. Namun, ia membantah pemerintah berjarak dengan publik. 

Menurut dia, wajar jika sosialisasi bahaya Covid-19 belum sampai hingga ke pelosok. Apalagi, upaya sosialisasi hanya dilakukan oleh pemerintah pusat. Ia pun meminta semua pemangku kepentingan turut sumbang tenaga untuk menyebarluaskan imbauan pemeritah. 

"Saya pikir pemerintah daerah juga punya tanggung jawab. Kalau semuanya harus pemerintah pusat, ya, enggak mungkin. Indonesia ini bukan Singapura yang kecil," ujarnya kepada Alinea.id di Jakarta, Sabtu (21/3). 

Diakui Yuri, masih banyak warga yang ngeyel tak mau mematuhi imbauan pemerintah. Karena itu, ia mendorong agar pentolan-pentolan di komunitas masing-masing turut bergerak mengingatkan atau memperingatkan para anggotanya akan bahaya penyebaran Covid-19. 

"Sebab, kembali lagi ini adalah penyakit menular yang berbasis komunitas. Kalau tidak ada intervensi pada komunitas dengan spesifikasi masing-masing, mau sampai kapan pun enggak akan selesai masalah ini," jelas dia. 

Berita Lainnya
×
tekid