sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ironi diskon rokok di tengah bengkaknya angka perokok anak

Jumlah perokok anak terus naik, harga rokok dianggap masih terjangkau.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Selasa, 02 Jun 2020 17:00 WIB
Ironi diskon rokok di tengah bengkaknya angka perokok anak

Eryana tak kuasa menahan amarahnya tatkala mendapati ceceran tembakau dari saku celana putra sulungnya pagi itu. Meski putranya kerap mengelak, itu bukan pertama kali wanita berusia 37 tahun itu mendapatkan puntung rokok dari saku celana anaknya. 

"Saat mau cuci bajunya, saya sering dapat puntung rokok. Yang kami takuti selama ini ternyata terbukti. Dia sudah mengenal rokok," kata Eryana saat berbicang dengan Alinea.id di Jakarta, Sabtu (30/5) siang.

Bersama suaminya, Agustinus, Eryana kerap kali mengajarkan anaknya mengenai bahaya rokok. Sang suami bahkan rela tak merokok di depan anak-anaknya meskipun ia termasuk perokok aktif. 

Sayangnya, cara itu masih tak mempan. Kerap kali keduanya mencium bau rokok dari putra mereka pulang sepulang sekolah. "Mungkin karena pergaulan anak saya, ya. Kita kan tidak 24 jam bersama mereka. Jadi, mungkin saat bersama teman-teman itu dia mencoba merokok," ujarnya.

Meski demikian, pasangan suami-istri ini tak bisa sepenuhnya menyalahkan anaknya. "Sekeras apa pun kita melarang, anak-anak mudah mudah membelinya di warung-warung," tutur Eryana.

Nurul, 47 tahun, salah seorang pemilik warung di kawasan Jakarta Pusat mengaku kerap berada dalam posisi dilematis saat menjual rokok kepada para remaja. Rokok, kata Nurul, merupakan salah satu dagangan yang paling laris di warungnya. 

"Kadang saya larang (membeli rokok), kadang terima juga. Saya terima kalau jualan lagi sepi," kata Nurul saat berbincang dengan Alinea.id, Senin (1/6) sore.

Menurut Nurul, tidak setiap hari remaja membeli rokok di warungnya. Selain itu, wanita asal Jawa Barat ini mengaku tak pernah melayani remaja yang membeli rokok bungkusan. "Biasanya beli ketengan (eceran). Itu pun kalau saya layani," kata dia.  

Sponsored

Eryana dan Agustinus satu dari sekian banyak orangtua yang khawatir akan bahaya rokok terhadap masa depan anaknya. Mereka umumnya khawatir anak-anak mereka menjadi perokok aktif karena terbukanya akses terhadap produk adiktif itu. 

Data hasil survei Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019 mengamini kekhawatiran pasangan Eryana dan Agustinus. Menurut GYTS, sebanyak 40,6% pelajar di Indonesia atau dua dari tiga anak laki-laki berusia 13-15 tahun pernah menggunakan produk tembakau. Selain itu, satu dari lima anak perempuan diketahui sudah pernah menggunakan produk tembakau. 

Data GYTS juga menunjukkan bahwa sebanyak 19,2% pelajar saat ini merokok dan 60,6% tidak dicegah ketika membeli rokok. Temuan lainnya ialah terkait promosi rokok. Diketahui, tujuh dari sepuluh pelajar melihat iklan atau promosi rokok di televisi atau tempat penjualan dalam 30 hari terakhir.

Memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2020 yang jatuh pada Minggu (31/5), World Health Organization (WHO) menyebut industri tembakau menginvestasikan US$9 miliar setiap tahun untuk mengiklankan produk-produknya yang menargetkan anak-anak. Menurut WHO, 40 juta anak berusia 13-15 tahun saat ini menggunakan barang-barang nikotin di seluruh dunia.

Terbukanya akses terhadap rokok bagi anak-anak juga diketahui dari hasil survei Yayasan Lentera Anak (YLA) pada 2017. Hasil survei terhadap praktik promosi rokok yang digelar YLA menemukan bahwa sebanyak 79,2% produk rokok promosi dibanderol dengan harga murah, yakni pada kisaran Rp600 hingga Rp1.000.

Adapun harga rokok promosi per bungkus berkisar antara Rp10.000 hingga Rp15.000. Itu artinya rokok mudah dijangkau oleh anak-anak dan remaja karena dijual dengan harga murah, baik secara eceran maupun dalam bungkusan.

Ilustrasi perokok anak. /Foto Pixabay

Prevalensi perokok anak terus meningkat

Ketua YLA Lisda Sundari mengatakan, peringatan HTTS harusnya menjadi momentum untuk menekan angka perokok anak di Indonesia. Terlebih, berbasis data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional, prevalensi perokok anak terus meningkat dari tahun ke tahun. 

"Karena tidak cukup keluarga dan orang tua yang harus melindungi anak-anak kita, tapi juga negara. Mereka (pemerintah) punya kekuasaan. Wewenang dan tugas negara adalah membuat kebijakan yang lebih berpihak pada perlindungan anak, supaya mereka tidak bisa menjangkau atau mengakses rokok," kata Lisda dalam sebuah diskusi online di Jakarta, Senin (1/6).

Menurut Riskesdas tahun 2018, prevalensi perokok anak-anak mencapai 9,1%. Angka itu setara 7,8 juta anak atau naik dari angka pada 2013 yang hanya 7,2%. Padahal, Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menargetkan prevalensi perokok anak harus turun menjadi 5,4% pada 2019. 

Lisda pesmisistis target RPJMN itu bakal dicapai dalam beberapa tahun ke depan. Ia bahkan menyebut kemungkinan besar jumlah perokok anak bakal bertambah karena terbitnya aturan mendiskon rokok yang tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. 

"Makanya, itu jadi salah satu penyebab mengapa perokok anak di Indonesia terus meningkat," imbuh Lisda. 

Peraturan Bea Cukai 37/2017 merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Meskipun aturan itu sempat direvisi menjadi PMK Nomor 156/2018, namun ketentuan yang memperbolehkan diskon harga rokok itu tidak diubah. 

Beleid itu menetapkan bahwa harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen diperbolehkan dipatok sebesar 85% dari harga jual eceran (HJE) atau banderol yang tercantum dalam pita cukai. Dengan demikian, konsumen mendapatkan keringanan harga sampai 15% dari tarif yang tertera dalam banderol. 

Tak hanya itu, produsen juga dapat menjual dengan harga di bawah 85% dari banderol. Penjualan dengan harga semacam itu diperbolehkan asalkan dilakukan di 40 kota yang telah disurvei Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Sekalipun pemerintah menaikkan cukai rokok, menurut Lisda, kebijakan itu belum tentu efektif. Apalagi, Lisda mengaku kerap menemukan bahwa rokok yang beredar di masyarakat pada bulan atau tahun berikutnya itu masih rokok dengan banderol cukai yang lama.

"Kalaupun naik, ternyata tidak signifikan karena harganya masih terjangkau. Apalagi, (masyarakat) masih boleh beli batangan dan ada kebijakan diskon," jelasnya.

Menurunkan prevalensi perokok anak, lanjut Lisda, tak cukup dengan mengerek nilai cukai rokok. Selama harga rokok masih murah, iklan dan sponsor merajalela, menurut dia, prevelensi rokok anak tetap akan tinggi.

"Negara lain kecenderungan prevelensi rokok menurun, cuma Indonesia terus meningkat. Contoh, Thailand. Mereka menerapkan kebijakan yang sangat lengkap," jelas dia.

Dalam diskusi yang sama, pegiat Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Tubagus Haryo Karbyanto mengatakan kebijakan diskon rokok bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. 

Pada pasal 35 ayat (1) beleid itu, misalnya, disebutkan bahwa pemerintah melakukan pengendalian promosi produk tembakau dengan tidak memberikannya secara gratis, memberikan potongan harga, hadiah produk tembakau, atau produk lainnya yang dikaitkan dengan produk tembakau.

"Nah, dari sini saja sebetulnya sudah kelihatan betul bahwa peraturan tadi sebetulnya bertentangan dengan PP ini sendiri. Kalau kita dengar, anak-anak muda datang ke acara konser yang disponsori itu ada praktik pemberian cuma-cuma," kata Tubagus. 

Ilustrasi larangan merokok. Foto Unsplash/Lex Guerra

Negara perlu intervensi 

Menurut Tubagus, kebijakan diskon rokok justru memudahkan anak dan remaja mendapatkan barang adiktif tersebut. Apalagi, tidak ada aturan yang ketat soal iklan rokok, sponsor, ataupun praktik yang menargetkan remaja sebagai konsumen utama rokok.

"Industri (perusahaan rokok) sendiri yang menyatakan bahwa produk rokok remaja menjadi faktor penting dalam perkembangan industri rokok," ujar Tubagus.

Tubagus menilai kebijakan diskon rokok bertentangan dengan tujuan negara, tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDG's), dan filosofi pengendalian tembakau via cukai. 

Mengutip laporan WHO, Tubagus mengatakan, sekitar 225.700 orang di Indonesia meninggal akibat merokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan tembakau setiap tahunnya. Rokok, kata dia, juga mengancam bonus demografi. 

"Makanya, perlu segera diambil langkah-langkah hukum untuk mencabut kebijakan diskon rokok, baik itu melalui government review, amendemen, hingga judicial review," katanya.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea Cukai Kemenkeu Nirwala Dwi Heryanto mengatakan kebijakan pemerintah menaikkan tarif cukai merupakan salah satu instrumen pengendalian tembakau setiap tahun. Tujuannya untuk membuat harga rokok tidak terjangkau, khususnya di kalangan remaja dan anak-anak. 

Karena itu, Nirwala mengaku heran kenaikan tarif cukai itu justru diasosiasikan dengan diskon rokok. "Sebetulnya apa sih itu? Kenapa disebut kok diskon oleh masyarakat? Dan saya enggak tahu seperti apa pemahaman awalnya," kata Nirwala.

Menurut Nirwala, yang disebut sebagai diskon rokok sebenarnya merupakan potongan harga di tingkat penjualan atau retailer. Di tingkat retailer, Ditjen Bea dan Cukai tidak punya kuasa untuk mengawasi. 

"Makanya, kami lakukan itu di perusahaan. Cuma masalahnya, harga dari pabrik kalau sudah 100%, nanti menjadi sama antara HJE dan harga transaksi pasar (HTP). Terus, nanti yang mengongkosin distribusi siapa? Itulah yang disebut teman-teman penggiat antitembakau sebagai diskon," jelasnya.

Menurut dia, HJE merupakan harga patokan untuk kepentingan fiskal. Adapun HTP diserahkan kepada pasar dan minimal 85% dari HJE sebagaimana bunyi PMK Nomor 152 Tahun 2019. "Harga jual eceran (HJE) itu di tingkat retailer, sedangkan pengawasan Bea Cukai enggak mungkin melakukan pengawasan di retail," tegas dia. 

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Bintang Puspayoga mengakui perlunya ada intervensi negara untuk menekan jumlah perokok pemula. 

Dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id, Minggu (31/5), Bintang mengusulkan sejumlah solusi. Salah satunya ialah lewat pengetatan dan pelarangan promosi dan sponsor rokok.

"Jika tidak ada upaya serius, maka pada 2030 jumlah perokok anak akan mencapai 15,8 juta atau 15,91% (berdasarkan proyeksi Bappenas 2018)," kata Bintang.
 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid