sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Jihadis keluarga, bentuk provokasi jaringan teroris

Dalang pelaku teroris memiliki sejumlah alasan melibatkan satu keluarga dalam aksi teror.

Robi Ardianto
Robi Ardianto Selasa, 15 Mei 2018 13:07 WIB
Jihadis keluarga, bentuk provokasi jaringan teroris

Rentetan bom yang terjadi di Surabaya pada akhir pekan lalu, tidak hanya membawa duka atas korban tapi juga menimbulkan rasa keprihatinan atas pelaku. Menyertakan istri dan anak untuk melakukan aksi keji tersebut tentu tidak bisa diterima secara akal sehat.

Namun dalang terorisme punya alasan kuat memilih keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak sebagai pelaku bom. Salah satunya karena memiliki nilai berita yang tinggi. 

Pengamat terorisme Solahudin menilai, pelibatan anak dan istri sebagai pelaku teror didorong sejumlah faktor. Pertama, alasan pengamanan di jaringan. Melibatkan anak dan perempuan akan sulit diidentifikasi oleh polisi, sebab langkahnya dinilai tidak terlalu mencolok bahkan sulit dipantau aparat.

Kedua, pelaku keluarga mendapatkan porsi besar dari sejumlah media massa yang memberitakan. Dalang pelaku teror sadar  media massa akan menempatkan kasus ini sebagai peristiwa dengan nilai berita paling tinggi. Nah, yang harus disadari, kata Solahudin, terorisme tanpa media itu tidak akan 'bunyi', karena inti dari terorisme adalah menyebarkan rasa takut.

Ketiga, sebagai langkah memprovokasi jaringan.

“Secara tidak langsung seolah ingin menyampaikan pesan kepada para jamaahnya bahwa anak kecil saja berani. Tapi kenapa yang dewasa malah tidak berani. Ini sebenarnya pesan yang ingin disampaikan," tukas Solahudin.

Solahudin juga yakin aksi teror di Surabaya telah dipersiapkan sejak lama. Jadi bukan karena respons dari kejadian di Mako Brimob beberapa waktu lalu. Meskipun, ricuh para narapidana teroris (napiter) di Mako Brimob membangkitkan semangat para pelaku teror. Juga semakin mempercepat rencana mereka. Mengapa dipercepat? Sebab para pelaku khawatir bisa terlebih dahulu aksinya terungkap oleh polisi. Nah, dibandingkan ketahuan lebih dahulu oleh polisi mereka (pelaku teroris) segera bertindak. 

Solahudin bahkan memperkirakan pelaku teror bakal beraksi saat Ramadhan tiba. Alasannya, meniru Perang Badar yang dilakukan pada bulan Ramadhan. 

Sponsored

Mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI) Nasir Abbas menambahkan, sebetulnya anggota JI hanyalah sedikit, akan tetapi lingkarannya yang terdiri dari suporter dan simpatisan terbilang banyak. Apalagi lingkaran tersebut dinilai tidak mempercayai pemerintahan dan cenderung apatis. 

Nasir juga menilai doktrin bunuh diri yang mengajak anak merupakan buah pemikiran agar tidak hanya sang ayah yang masuk surga saat melakukan aksi teror. Tapi juga anak dan istrinya pun turut masuk surga, apabila melakukan hal serupa. 

Menguatnya stigma-stigma negatif terhadap keluarga ataupun istri napiter tanpa disadari turut membuat rasa malu, minder, takut menghantui. Alasan tersebutlah yang memungkinkan pelaku turut membawa anak dan istrinya, agar anak dan istri tidak terkena stigma tersebut.

Kondisi saat ini dinilai sudah berbeda. Sebelumnya pelaku bom bunuh diri hanya dengan menyuruh saja. Tapi ada pola baru yaitu pimpinan tidak hanya menyuruh, namun menyertakan keluarganya.

Ambil contoh, Noordin M Top, teroris kawakan yang dikenal selama ini hanya menyuruh pelaku saja dalam aksi bom bunuh diri. Kini, sudah berubah terbukti dengan pelaku teror di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, yang melibatkan anak dan istrinya. 

Kesalahan UU Terorisme

Di sisi lain, Solahudin menilai jamaknya aksi teror di Indonesia karena kesalahan dari Undang Undang Terorisme No 15 Tahun 2003. Pengamat sekaligus penulis buku terorisme ini bercerita, pada awalnya berasal dari Perppu Nomor 1, Nomor 2, dan Nomor 3 Tahun 2002 dikeluarkan pada Pemerintahan Megawati Soekarnoputri atas respons dari kejadian Bom Bali 1. 

Saat kejadian Bom Bali 1 pada tanggal 12 oktober 2002, Indonesia belum memiliki UU Terorisme. Makanya, Pemerintahan Megawati saat itu tergesa-gesa membuatnya Perppu nomor 1 dan 2. Lalu, disahkan pada tanggal 18 Oktober 2002.

“Hanya dibuat dalam waku enam hari, akibatnya UU tidak cukup respons terhadap dinamika perkembangan terorisme. Bahkan banyak celahnya dan banyak bolongnya,” tukas Solahudin. 

Selain itu, tidak adanya pasal dalam UU terorisme yang bisa menjerat orang lain melakukan provokasi untuk melakukan tindakan terorisme membuat penegakan hukum atas kasus terorisme seperti setengah-setengah. Dalam kacamata penegakan hukum, pemerintah lebih memilih bahwa penegakan hukum atas kasus terorisme menghormati HAM. Padahal, Pemerintah Indonesia memandang terorisme sebagai tindak pidana. 

Evaluasi selanjutnya adalah melihat kinerja polisi sepanjang menangani terorisme sejak tahun 2002 sampai tahun 2017. Sudah lebih dari 1.600 kasus yang berhasil diungkap, tapi kata Solahudin hanya satu kasus yang tidak bisa diungkap, yaitu kejadian bom ITC depok, Jawa barat.

Dari sisi pelaku yang diproses hukum, sebanyak 99% terbukti bersalah diputus pengadilan. Hanya menyisakan satu kasus yang pelakunya dibebaskan. Sehingga, jika ingin melihat kinerja, polisi bisa dikatakan cukup baik mengungkap teror. Nah, kalau begitu apa masih perlu dibutuhkan keterlibatan TNI. 

Baca juga: 

Fenomena Jihadis perempuan demi eksistensi kelompok teror

Berita Lainnya
×
tekid