sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Siapa yang mengulur-ulur RUU Terorisme, pemerintah atau DPR?

Ketua Panja RUU Teroris mengungkap pembahasan definisi teroris hingga kini masih belum tuntas, terutama terkait motif dan tujuan politik.

Syamsul Anwar Kh
Syamsul Anwar Kh Senin, 14 Mei 2018 22:48 WIB
Siapa yang mengulur-ulur RUU Terorisme, pemerintah atau DPR?

Pascaserangkaian teror di Rutan cabang Salemba di Mako Brimob dan Surabaya serta Sidoarjo, desakan pengesahan revisi UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme kembali mengemuka. Terlebih Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut urgensi regulasi baru karena peraturan yang lama bersifat responsif atau aparat baru bisa bertindak setelah terjadi aksi teror.

Bahkan, mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) tersebut meminta Presiden Joko Widodo membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) jika revisi UU 15/2003 tak kunjung tuntas di parlemen.

Di sisi lain, Presiden Joko Widodo sendiri juga telah mengingatkan DPR agar segera merampungkan RUU tersebut. Suami Iriana ini juga berencana mengeluarkan Perppu apabila di akhir masa sidang kali ini, DPR belum menyelesaikan regulasi terkait penanganan teroris.

Namun, berdasarkan surat yang beredar di Whatsapp grup, Kemenkumham sempat meminta penundaan pembahasan RUU Teroris pada 9 Januari 2017. Melalui surat Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham bernomor PPE.PP.01.01-10 yang ditujukan kepada Sekretariat Jenderal u.b Deputi Bidang Persidangan, disebutkan alasan penundaan karena ada beberapa substansi yang perlu mendapat kesepakatan para pimpinan instansi/lembaga terkait.

(Surat Ditjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham kepada DPR terkait penundaan pembahasan RUU Teroris/Istimewa)

Selanjutnya, surat bernomor PPE.PP.01.04-87 yang ditujukan kepada Plt Sekjen DPR, juga berisi permintaan penundaan rapat Panja pembahasan RUU Teroris ditunda. Sedianya, rapat tersebut digelar pada 31 Januari 2017 dan 1 Februari 2017.

Kemudian pada 7 Februari 2017, melalui surat bernomor M.HH.PP.01.02-16, Menkumham Yasonna H Laoly meminta Ketua Panja RUU Tindak Pidana Teorisme untuk menunda pembahasan karena alasan konsolidasi terkait sejumlah masukan dan tanggapan dari kementerian/lembaga terkait. Lalu pada 15 November, surat berkop Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkum bernomor PPE.PP.01.04-1337 untuk Sekjen DPR, kembali meminta penundaan rapt Panja RUU Terorisme.

Sponsored

(Surat Menkumham Yasonna H Laoly kepada Ketua Panja RUU Teroris terkait permintaan penundaan pembahasan RUU Terorisme/istimewa)

Ketua Panja RUU Terorisme M Syafii membenarkan adanya sejumlah surat permintaan penundaan pembahasan regulasi tersebut. Padahal, pembahasan di tingkat Panja sendiri, RUU Terorisme tak mengalami kendala.

"Benar surat (penundaan) itu. (Pembahasan Panja) semua berjalan, tidak ada kendala," kata Syafii kepada Alinea, Senin (14/5).

Bahkan, politikus Gerindra itu mengklaim RUU Terorisme sudah 99,99% rampung. Kendati demikian, ia menyebut pembahasan definisi terorisme hingga kini masih berlangsung alot.

"Tinggal poin yang definisi terorisme aja. Jadi 99,99% sudah selesai," terangnya.

Syafii pun memaparkan definisi teroris yang ditawarkan pemerintah ke DPR, yakni dengan menghilangkan unsur motif dan tujuan politik terorisme. Ia pun bersikeras mempertahankan poin tersebut untuk membedakan tindak pidana teroris dengan kriminal biasa.

"Dari Panja ada unsur politiknya. Karena kalau tidak ada motif politik, itu kriminal biasa. Di dunia ini semua gerakan terorisme pasti punya motif dan tujuan politik. Dari pemerintah tidak mau ada unsur itu," papar Sayfii.

Adapun poin yang sudah disepakati DPR terkait defini terorisme ialah memenuhi unsur tindak kejahatan, kemudian menimbulkan rasa takut yang masif, atau menimbulkan korban atau merusak objek vital strategis. Unsur terakhir yang diajukan DPR ialah unsur politik.

"Itu unsur yang sudah disepakati tinggal redaksionalnya. Begitu pemerintah memberi redaksional, motif dan tujuan politik malah hilang," jelasnya.

Sebaliknya, Syafii menyebut pemerintah ingin diberi kebebasan untuk menetapkan siapa teroris dan siapa yang bukan dengan menghilangkan unsur politik di poin definisi tersebut.

"Makanya kita kan sudah bilang, aparat pemerintah itu pada dasarnya tidak memiliki kewenangan apapun kecuali yang diamanatkan oleh hukum," paparnya.

Sementara terkait pelibatan TNI, Syafii memastikan DPR telah sepakat secara aklamasi, termasuk menyetujui surat Panglima TNI bernomor B/91/I/2018 yang berisi saran rumusan peran TNI.

Dalam surat itu, satu pasal yang diajukan adalah pasal 43 h yang terdiri dari 3 ayat. Ayat pertama, tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Ayat kedua, dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan melalui pencegahan, penindakan, dan pemulihan berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan atau kementerian lembaga terkait.

Ayat ketiga, ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dalam peraturan presiden.

"Itu (pembahsan surat Panglima TNI) sudah lama, aklamasi," tukasnya.

Berita Lainnya
×
tekid