sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sepak terjang Johannes Leimena, Menteri Kesehatan kesayangan Soekarno

Johannes Leimena paling sering menduduki kursi Menteri Kesehatan pada masa Soekarno.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Selasa, 29 Okt 2019 21:32 WIB
Sepak terjang Johannes Leimena, Menteri Kesehatan kesayangan Soekarno

Pada 23 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo resmi melantik 34 menteri dan 4 pejabat setingkat menteri, yang akan membantunya di Kabinet Indonesia Maju. Dua hari setelahnya, 12 wakil menteri pun dilantik untuk membantu beberapa menteri.

Ada beberapa nama menteri yang membuat publik terkejut. Selain Nadiem Makarim yang ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan), nama dokter Terawan Agus Putranto yang ditunjuk sebagai Menteri Kesehatan pun memancing perbincangan.

Sebab, mantan Kepala RSPAD Gatot Subroto itu pernah diberi sanksi pelanggaran etik kedokteran. Ia berkonflik dengan pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena metode penyembuhan yang tak biasa. Terawan menggunakan metode “cuci otak” untuk mengobati penyakit. IDI menganggap, metode digital subtraction angiography (DSA) itu belum teruji.

Sementara Jokowi menganggap, Terawan pantas menjabat Menteri Kesehatan karena berpengalaman soal manajemen anggaran dan personalia, mampu menangani bencana endemik, serta punya orientasi preventif.

Ketika masa pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia pun punya Menteri Kesehatan yang mumpuni. Ia tercatat paling sering menjabat Menteri Kesehatan, meski kabinet sering gonta-ganti.

Ia adalah Johannes Leimena. Selama 21 tahun, di masa pemerintahan Presiden Soekarno, nyaris tanpa putus ia menjabat menteri. Tak hanya menjabat menteri, Leimena—yang akrab disapa Jo—pernah pula menjadi wakil menteri.

Latar belakang pendidikan Leimena adalah seorang dokter. Menurut buku Kewarganegaraan yang Bertanggungjawab: Mengenang Dr. J. Leimena (1995), pria kelahiran Ambon, Maluku, 6 Maret 1905 itu menempuh pendidikan dokter di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) pada 1922. Leimena berhasil lulus pada 1930.

Setelah itu, Leimena menempuh pendidikan dokter di Geneeskunde Hogeschool (Sekolah Lanjutan Kedokteran). Ia juga sudah aktif di politik sejak muda. Ketika Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928, ia tergabung di dalam Jong Ambon.

Sponsored

Di dalam buku Johannes Leimena: Negarawan Sejati dan Politisi Berhati Nurani (2007) Victor Silaen menyebut, ia pernah pula aktif di organisasi Pergerakan Pemuda Kristen Indonesia dan Pergerakan Mahasiswa Kristen indonesia. Frans Hitipeuw di dalam buku Dr. Johannes Leimena, Karya dan Pengabdiannya (1996) menulis, ia merupakan salah seorang pendiri Partai Kristen Indonesia (Parkindo) pada November 1945.

Menjadi wakil menteri

Johannes Leimena dikenal sebagai sosok yang jujur dan sederhana. /Repro buku Untuk Republik: Kisah-Kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa (2019).

Leimena pertama kali bersua Bung Karno saat merawat korban luka pertempuran Lengkong—pertempuran antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melawan pasukan Jepang di Desa Lengkong, Tangerang Selatan—di rumah sakit Tangerang pada awal 1946.

Menurut Faisal Basri dan Haris Munandar di dalam buku Untuk Republik: Kisah-Kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa (2019), kunjungan Bung Karno ke Akademi Militer Tangerang mengantarkan Leimena ke kursi jabatan menteri di Kabinet Sjahrir II.

Tak lama, Leimena dipanggil Bung Karno ke Yogyakarta. Presiden Soekarno merekomendasikan Leimena kepada Perdana Menteri Sjahrir untuk menjabat Menteri Kesehatan.

Akan tetapi, Sjahrir tak mengangkatnya menjadi Menteri Kesehatan. Ia malah dijadikan menteri muda, mendampingi Menteri Kesehatan Darman Setiawan. Ada 16 menteri di Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946-2 Oktober 1946), dan 10 menteri muda.

Di dalam Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946-27 Juni 1947), ia tetap menjadi menteri muda, dengan sebutan jabatan Wakil Menteri Kesehatan. Di Kabinet Sjahrir III ini, posisi wakil menteri ada 12 dan menteri sebanyak 15.

Riris Katharina di dalam tulisannya “Posisi Wakil Menteri dan Implikasinya terhadap Birokrasi di Indonesia” yang terbit di Jurnal Politica (2011), istilah wakil menteri sudah diperkenalkan sejak Kabinet Presidensial (19 Agustus 1945-14 November 1945).

Ketika itu, jabatan wakil menteri hanya dua, yakni Wakil Menteri Dalam Negeri yang dijabat Harmani dan Wakil Menteri Penerangan yang dijabat Ali Sastroamidjojo. Istilah menteri muda dari tugas dan fungsinya mirip wakil menteri.

Victor Silaen menulis, sejak diangkat sebagai menteri muda, karier politik Leimena moncer. Bukan semata-mata bersahabat dengan Soekarno, ia selalu masuk jajaran kabinet karena kepiawaian dalam lobi-lobi politik dan keahlian di bidang kesehatan.

Saat menjabat Wakil Menteri Kesehatan, Leimena dihadapkan permasalahan tingginya angka kematian ibu dan anak. Rella Astiannis dan Didin Saripudin di dalam tulisannya “Johannes Leimena dalam Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia (1946-1956) di Jurnal FACTUM (2018) menyebut, ada tiga penyebab tingginya angka kematian ibu dan anak tersebut.

Pertama, sulitnya mengakses pelayanan kesehatan ibu dan anak di wilayah pelosok. Kedua, masyarakat Indonesia masih mempertahankan tradisi yang keliru, seperti pantang makanan tertentu untuk ibu hamil, penanganan dukun beranak, dan pemberian asupan makanan nonair susu ibu kepada bayi berumur kurang dari sebulan. Ketiga, kondisi pangan di Indonesia pascakemerdekaan.

Jabatan Leimena baru naik ketika Kabinet Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947-11 November 1947).

“Sejak Kabinet Amir Sjarifuddin, Johannes Leimena menjadi menteri penuh dan terus menerus menjadi anggota penting kabinet hingga 20 tahun berikutnya,” tulis Faisal Basir dan Haris Munandar.

Pendiri tonggak kesehatan masyarakat

Selama gonta-ganti kabinet, Leimena sering kali memegang jabatan sebagai Menteri Kesehatan.

Ia menjabat Menteri Kesehatan di Kabinet Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947-11 November 1947), Kabinet Amir Sjarifuddin II (11 November 1947-29 Januari 1948), Kabinet Hatta I (29 Januari 1948-4 Agustus 1949).

Kemudian, Kabinet RIS (20 Desember 1949-6 September 1950), Kabinet Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951), Kabinet Sukirman-Suwirjo (27 April 1951-3 April 1952), Kabinet Wilopo (3 April 1952-30 Juli 1953), dan Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-24 Maret 1956).

Selebihnya, ia menjadi Menteri Negara di Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949-20 Desember 1949), Menteri Sosial di Kabinet Djuanda (9 April 1957-10 Juli 1959), Menteri Distribusi di Kabinet Kerja I (10 Juli 1959-18 Februari 1960), Wakil Menteri Utama merangkap Menteri Distribusi di Kabinet Kerja II (18 Februari 1960-6 Maret 1962).

Kemudian, Wakil Menteri Pertama I di Kabinet Kerja III (6 Maret 1962-13 Desember 1963), Wakil Perdana Menteri II di Kabinet Kerja IV (13 November 1963-27 Agustus 1964), Menteri Koordinator di Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964-22 Februari 1966).

Lalu, Wakil Perdana Menteri II merangkap Menteri Koordinator, dan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan di Kabinet Dwikora II (24 Februari 1966-27 Maret 1966), dan Wakil Perdana Menteri untuk Urusan Umum di Kabinet Dwikora III (27 Maret 1966-25 Juli 1966).

Maka, sepak terjangnya memimpin Kementerian Kesehatan yang paling menonjol di antara jabatannya yang lain.

Leimena (tengah) bersama Adam Malik (kiri) dan Bung Karno (kanan). /Repro buku Untuk Republik: Kisah-Kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa

Di dalam skripsinya berjudul Kiprah Dr. Johannes Leimena sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 1946-1956 (2018), Rella Astiannis menyebut, berbekal bantuan dari Palang Merah Indonesia (PMI) dan Jawatan Kesehatan Tentara Indonesia, Leimena berusaha mengatasi beragam persoalan kesehatan, dengan sejumlah program peningkatan kesehatan masyarakat.

“Leimena mengadopsi kembali beberapa program era kolonial Belanda, seperti memberikan vaksin cacar pada balita dan orang dewasa. Kemudian, penyemprotan insektisida dikloro difenil trikloroetana (DDT) untuk membasmi penyakit malaria dan pes,” tulis Rella.

Rella menyebut, Leimena juga mendirikan daerah percontohan di Bandung dan Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA) untuk meningkatkan gizi ibu dan anak, dengan memanfaatkan bantuan dana dari UNICEF.

Surat kabar Het Nieuwsblad voor Sumatra edisi 27 Januari 1950 merekam Leimena yang mengeluh soal pelayanan publik, yang menghambat kinerja Kementerian Kesehatan. Ia juga membeberkan rencana masa depan perluasan layanan kesehatan, yang mencakup pengendalian penyakit malaria, TBC, kusta, cacar, tifus, dan disentri. Leimena berupaya menekankan sisi pencegahan, dengan mengingat pepatah “pencegahan lebih baik daripada penyembuhan.”

Selain itu, ia mendambakan pemberdayaan pendidikan kesehatan masyarakat, yang mencakup penyuluhan kebersihan dan kesehatan, program kebersihan desa, peningkatan jumlah rumah sakit dan klinik, menggiatkan pelatihan personel medis dan paramedis, pengadaan obat-obatan yang terpusat untuk seluruh Indonesia, melanjutkan penelitian ilmiah bidang kesehatan, memperbarui peralatan dan perlengkapan medis, mengembangkan layanan kesehatan penyandang cacat, dan membuat gambaran umum tentang keadaan di seluruh area perawatan kesehatan masyarakat.

Vivek Neelakantan di dalam tulisannya “The Indonesianization of Social Medicine”, yang terbit di Jurnal Lembar Sejarah Universitas Gadjah Mada edisi April 2013 menulis, ia memperkenalkan Konsep Bandung (Bandung Plan) pada 1951. Dalam konsep ini, ia berusaha mengintegrasikan pelayanan kesehatan aspek kuratif dan preventif. Artinya, pengembangan sistem pelayanan kesehatan tak bisa dipisahkan, baik di rumah sakit ataupun di puskesmas.

“Tampaknya merupakan mimpi yang tidak masuk akal karena pemerintah kekurangan dana untuk proyek semacam itu,” tulis Vivek Neelakantan.

Di dalam bukunya Science, Public Health and Nation-Building in Soekarno-Era Indonesia (2017) Vivek Neelankantan menyebut, Bandung Plan adalah perpanjangan dari model kesehatan perdesaan yang dipelopori J.L Hydrick. Konsep ini selaras dengan visi The League of Nations Conference of Rural Hygiene pada 1930.

Leimena mengatakan, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) merupakan perkembangan dari program Bandung Plan.

Saat malapraktik marak pada 1950-an, sebagai Menteri Kesehatan, ia menyarankan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk mencantumkan mata kuliah etika kedokteran.

Frans Hitipeuw di dalam bukunya Dr. Johannes Leimena, Karya, dan Pengabdiannya (1996) menulis, dalam ceramahnya, kepada IDI ia menyodorkan “Sumpah Hipocrates”, yang menetapkan etika kedokteran sebagai falsafah.

Pada 1951, Leimena membentuk Lembaga Makanan Rakyat. Lembaga ini bertugas memberi nasihat dalam masalah makanan dan kesehatan, dengan slogan “empat sehat, lima sempurna.”

Banyak terbengkalai

Akan tetapi, beberapa program terkait kesehatan yang dijalankan Leimena ada yang terbengkalai. Rella Astiannis dan Didin Saripudin mengungkapkan, tumpukan tugas membuat fokus Leimena terbelah.

Usahanya menekan angka kematian ibu dan anak yang tinggi, menjadi agak terhambat karena ia bukan hanya bertugas sebagai Menteri Kesehatan, tetapi juga anggota delegasi Indonesia dalam berbagai perundingan dengan Belanda.

Saat Perundingan Linggajati pada 1947, antara Indonesia dengan Belanda terkait status kemerdekaan Indonesia, ia ditunjuk sebagai Ketua Komisi Militer dan Komisi Teknis. Akibatnya, upaya menekan tingginya angka kematian ibu dan anak baru terealisasi pada 1951, dengan didirikannya BKIA.

Menurut Rella Astiannis dan Didin Saripudin, berkat berbagai program Leimena, angka kematian ibu dan anak mengalami penurunan, dari 22% pada 1951 menjadi 11,8% pada 1955.

Johannes Leimena tercatat sebagai menteri yang paling sering menjabat. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Misi kesehatan Indonesia juga terbengkalai karena Leimena diminta Presiden Soekarno untuk membujuk masyarakat Maluku Selatan. Pada 1950, Maluku Selatan bergejolak. Di sana diproklamirkan Republik Maluku Selatan.

Algemeen Dagblad edisi 29 April 1950 melaporkan, setibanya di Makassar dalam perjalanan ke Ambon, sebagai orang Indonesia maupun Ambon, Leimena menyesalkan proklamasi Republik Maluku Selatan itu.

Peristiwa 30 September 1965 mengubah situasi politik tanah air. Ia menyaksikan kejatuhan pemimpin yang dicintainya, Soekarno. Ketika Orde Baru berkuasa, ia memilih mengundurkan diri sebagai menteri. Namun, Presiden Soeharto mempercayakannya untuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) hingga 1973.

Leimena meninggal dunia pada 29 Maret 1977. Soekarno mengenang Leimena sebagai pribadi yang jujur.

“Saat bertemu dengannya, aku merasakan rangsangan indera keenam, dan bila gelombang intuisi dari hati nurani yang begitu keras seperti itu menguasai diriku, aku tidak pernah salah. Aku merasakan dia adalah seorang yang paling jujur yang pernah kutemui,” kata Bung Karno seperti dikutip dari buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965) karya Cindy Adams.

Berita Lainnya
×
tekid