close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Warga melintas di depan mural bertema keanekaragaman budaya di kawasan Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, Selasa (17/12). Mural tersebut sebagai media edukasi kepada masyarakat tentang kekayaan budaya serta mengajarkan nilai toleransi keberagaman Indonesia unt
icon caption
Warga melintas di depan mural bertema keanekaragaman budaya di kawasan Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, Selasa (17/12). Mural tersebut sebagai media edukasi kepada masyarakat tentang kekayaan budaya serta mengajarkan nilai toleransi keberagaman Indonesia unt
Nasional
Sabtu, 21 Desember 2019 23:33

Kebebasan ibadah di RI masih kerap terancam

Peristiwa pelarangan bagi umat Nasrani beribadah Natal di Kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung, Sumbar, pekan ini menunjukkan intoleransi.
swipe

Meski disebut-sebut sebagai negara yang menjanjikan toleransi kehidupan beragama di dunia, Indonesia belakangan memperlihatkan kondisi ancaman serius terhadap kebebasan berkeyakinan. 

Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengungkapkan, peristiwa pelarangan bagi umat Nasrani beribadah Natal di Kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat, pekan ini menunjukkan tingkat toleransi beragama sudah menurun.

“Ancaman terhadap kebebasan berkeyakinan ini menunjukkan bahwa toleransi di Indonesia ini masih dalam tingkat semu. Antarumat beragama yang berbeda hanya menjaga hubungan baik, tetapi tidak tulus dari dalam hati,” kata Bonar, di kantor Setara Institute, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (21/12).

Lebih jauh Bonar mencuplik data peringkat toleransi sedunia hasil riset Open Doors, lembaga misi Kristen internasional yang membantu korban persekusi dari pemeluk Kristen di seluruh dunia. Mengacu data Open Doors, pada 2018, Indonesia berada pada tingkat 38.

“Skor Indonesia cukup baik, tak seperti di Bangladesh,” ucapnya. Selain itu, kata Bonar, posisi Indonesia setara dengan Turki dan Tunisia yang diharapkan membagikan semangat toleransi beragama di dunia.

Di sisi lain, fakta penolakan bagi umat Kristiani di Sumatera Barat menguatkan hasil survei Kementerian Agama RI. Awal Desember lalu, Kemenag RI menyebutkan indeks kerukunan beragama di Provinsi Sumbar termasuk rendah, yaitu berada pada peringkat terburuk kedua setelah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Senada dengan data itu, Bonar mengungkapkan, menurut Indeks Kota Toleran 2018 yang diriset oleh tim Setara Institute, Padang termasuk satu dari sepuluh kota dengan tingkat toleransi beragama paling rendah di Indonesia. Kota lain yang juga dinilai kurang toleran ialah Jakarta, Yogyakarta, dan Banda Aceh.

Bonar menguraikan, pemeringkatan itu didasarkan pada sejumlah kriteria, antara lain peraturan daerah yang bersifat diskriminatif atau berpotensi disharmonisasi sosial, perlindungan dan keamanan terhadap warga, dan pernyataan pejabat pemerintahan terkait toleransi dan kebebasan beragama.

Menurut dia, pemerintah pusat harus bersinergi dengan pemerintah daerah demi menyelenggarakan tatanan sosial yang adil berkeadilan dan menjamin hak-hak berkeyakinan. Hal ini berperan penting bagi pencegahan intoleransi.

“Akar dari radikalisme ialah intoleransi. Kalau pemerintah enggak bisa atasi intoleransi, maka radikalisme akan juga sulit diatasi,” kata Bonar.

Perlu jaminan perlindungan

Selain itu, Bonar menyayangkan peran aparat kepolisian yang kurang aktif dalam menangani persoalan pelarangan beribadah bagi kaum Kristiani di Sumbar. Akibatnya, fungsi perlindungan dan penyelesaian masalah hanya bertumpu pada pihak Kantor Wilayah Kementerian Agama setempat.

“Polisi selalu berdalih menjaga keamanan dan perdamaian, juga menahan bila ada pelanggaran fisik. Tapi polisi dalam kasus ini hanya bertindak mencegah agar tak terjadi konflik fisik,” ujarnya.

Sementara itu, Sudarto selaku Program Manager di lembaga Pusaka Foundation yang berbasis di Padang memaparkan, gosip atau wacana miring kristenisasi merebak luas di Sumatera Barat sejak 2006. Pusaka Foundation berulang kali menerima aduan dari pemeluk agama Kristen dan Katolik di Sumatera Barat yang terhambat kesempatannya untuk beribadah.

Sudarto pun mengatakan, pelarangan terhadap umat Nasrani untuk beribadah kerapkali terjadi. Penolakan itu juga berupa protes warga Muslim terhadap Nasrani untuk melaksanakan ibadah harian dan mingguan.

Mengutip survei Biro Pusat Statistik pada 2018, Sudarto mengatakan, sebesar 50% dari penduduk asli atau Minang menolak pelaksanaan ibadah umat Kristiani di rumah penduduk. Sementara itu, sebesar 87% warga Minang menolak pendirian bangunan gereja.

“Dan 37% warga Minang menolak bertetangga dengan orang Kristen. Ini seperti api dalam sekam,” ucapnya.

img
Robertus Rony Setiawan
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan