sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kisah kelam pecandu narkoba di panti rehabilitasi swasta

“Habis saya dipukul dan tempeleng. Kami digebukin sudah kayak maling.”

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Sabtu, 26 Mar 2022 18:08 WIB
Kisah kelam pecandu narkoba di panti rehabilitasi swasta

Kecanduan narkoba membuat Irwan—bukan nama sebenarnya—harus menerima rentetan nasib apes. Kisah berawal pada November 2020. Ketika itu, petugas dari Polres Jakarta Selatan menangkap Irwan di rumahnya di Jakarta Timur.

Padahal, Irwan yang bertahun-tahun kecanduan narkotika jenis putau, sedang menjalani terapi rumatan metadon dalam program rehabilitasi narkoba rawat jalan di Puskesmas Jatinegara, Jakarta Timur—yang telah berjalan dua bulan.

Walau nihil menemukan barang bukti narkotika, Irwan tetap dibawa ke kantor polisi. Di Polres Jakarta Selatan, ia hanya diminta surat keterangan terapi rumatan metadon dari Puskesmas Jatinegara.

Sehari menginap di polres, Irwan dijemput petugas dari panti rehabilitasi swasta di Bekasi, Jawa Barat. Setibanya di panti rehabilitasi, ia tak menyangka bakal mendapat perlakuan kasar petugas.

“Habis saya dipukul dan tempeleng,” katanya saat dihubungi Alinea.id, Rabu (23/3).

Dugaan penyiksaan dan pemerasan

Setelah itu, Irwan dimasukkan ke ruang detoksifikasi. Di dalam ruang untuk membuang zat adiktif pasien pecandu narkotika seluas 3 kali 4 meter itu, Irwan dikurung bersama 12 pasien lain.

Selain kedinginan setiap malam karena tak ada sehelai kain pun untuk alas tidur, Irwan mengaku tak diberikan makanan yang layak. Makan pagi merangkap siang, hanya diberi setengah bungkus mi instan. Makan malam diberi sedikit porsi nasi.

Sponsored

“Saya membatin sama porsi makanannya. Soalnya saya lagi mutusin zat metadon yang saya ikuti (dalam program) di puskesmas,” katanya.

“Kalau minum atau makan sangat sedikit, itu menderita sekali, seperti sakau.”

Karena merasa tak diperlakukan manusiawi, beberapa pasien merencanakan kabur. Nahas, Irwan dituding sebagai salah seorang dalang rencana melarikan diri itu. Bersama lima pasien lainnya, Irwan kembali disiksa dengan cara dipecut pakai kabel.

Pihak panti kemudian memutuskan memindahkan Irwan dan lima pasien tadi ke tempat rehabilitasi lain di daerah Bakauheni, Lampung. Selama empat jam perjalanan darat, mereka duduk jongkok berhimpitan di bagian belakang mobil jenis minibus.

Karopenmas Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan (kiri) dan Direktur Tindak Pidana Narkoba, Brigjen Krisno Halomoan Siregar (kanan) dalam konpers pengungkapan kasus narkoba, Senin (21/3/2022). Alinea.id/Immanuel Christian

Kejadian berulang. Sesampainya di panti rehabilitasi di Bakauheni, ia pun dapat penyiksaan: dipukul pakai balok kayu dan pipa besi.

“Kami digebukin sudah kayak maling,” ujarnya.

Awal 2021, Irwan keluar dari panti itu. Namun, kini ia tak bisa melakukan pekerjaan berat akibat perlakuan kasar di panti. Kaki kirinya menyisakan lebam bekas dipukul benda tumpul.

Dio—nama samaran—juga mengalami nasib malang. Setelah ditangkap petugas Polres Tangerang Selatan pada awal November 2021, ia langsung dirujuk ke salah satu panti rehabilitasi ketergantungan narkoba di daearah Cianjur, Jawa Barat.

Sesampainya di sana, ia mendapat “salam perkenalan” berupa dicambuk dengan selang. Setelah itu, rambutnya dicukur habis dan dirinya dijemur di bawah terik matahari.

Selepas sore, Dio baru dimasukkan ke ruang detoksifikasi. Aturan di panti itu pun ketat. Pasien tak diberi izin keluar kamar dari pukul 21.00 WIB hingga 06.30 WIB. Dalam sehari, para pasien diberi makan hanya dua kali.

Dio juga mengaku, ada praktik pemerasan di panti. Baru pertama kali tiba di panti itu, ia diminta uang Rp15 juta.

“Kemudian dua minggu setelahnya, turun jadi Rp10 juta, terus seminggu lagi turun jadi Rp8 juta,” ucap Dio, Kamis (24/3).

Menurut Dio, uang itu akan digunakan sebagai biaya operasional panti. Akan tetapi, Dio tak pernah membayarnya, meski petugas terus mendesak agar keluarganya mengeluarkan uang.

“Kalau dikasih program sih enggak masalah bayar,” tuturnya.

“Ini sudah tidak dikasih program, tidak dikasih pengetahuan tentang adiksi, disuruh bayar.”

Senasib dengan Dio, Bunga—juga nama samaran—mengaku diperas petugas panti rehabilitasi ketergantungan narkoba milik swasta di daerah Bogor, Jawa Barat. Tahun lalu, saat pertama kali tiba di panti itu, ia langsung ditawarkan bebas dengan syarat membayar Rp30 juta.

“Akhirnya gue negosiasi,” katanya saat berbincang di Bogor, Jawa Barat, Kamis (24/3).

“Dari Rp30 juta, (turun) Rp20 juta, Rp10 juta, akhirnya (jadi) Rp6 juta.”

Jumlah itu disepakati. Namun, sebelum pulang, ia disuruh memasak makanan untuk pegawai panti. Segala kebutuhan dapur ia beli sendiri di pasar dan warung.

Sama seperti Bunga, Rizki—bukan nama sebenarnya—juga disuruh menjadi juru masak di tempat rehabilitasi saat bulan Ramadan tahun 2018. Menurutnya, di panti rehabilitasi tersebut semua pasien mendapat tugas khusus dari petugas, seperti memasak, mencuci baju, dan tukang bersih-bersih. Ia merasa, segala tugas itu bukan bagian dari program rehabilitasi.

“Kalau mau disamakan, persis banget (seperti kerangkeng manusia milik Bupati Langkat) itu,” tutur Rizki, Kamis (24/3).

Perlu dibenahi

Ilustrasi pecandu narkoba. Foto Pixabay

Hasil riset yang dilakukan Yayasan Aksi Keadilan Indonesia akhir tahun lalu menyebut, ada penyelewengan tugas dan fungsi lembaga rehabilitasi adiksi. Dari 41 responden yang tersebar di wilayah Jabodetabek, setidaknya hanya 2,4% pasien yang merasa puas dengan layanan rehabilitasi ketergantungan narkoba milik swasta. Sedangkan 39% lainnya tak puas.

Sementara itu, Koordinator Bantuan Hukum Aksi Keadilan Indonesia, Bambang Yulistyo membenarkan, pasien ketergantungan narkoba mengeluhkan layanan rehabilitasi adiksi, seperti ada praktik kekerasan, pemerasan, dan nihilnya program.

“Dari 39% responden yang merasa tidak puas ini, banyak mengeluhkan terjadi praktik kekerasan ekonomi, misalnya pemerasan,” ucap Bambang saat ditemui di kantornya di Bogor, Kamis (24/3).

“Terus fasilitas atau pemberian hak dasarnya tidak layak, seperti ditempatkan di ruang 3 kali 4 meter, diisi 20 hingga 30 orang.”

Menurut Bambang, program di panti rehabilitasi amat berguna bagi pasien. Sebab, dapat membantu para pecandu untuk pulih dan kembali beraktivitas normal di lingkungannya.

Hasil riset Yayasan Aksi Keadilan Indonesia juga menyebut, sebanyak 31% dari 41 responden menilai fasilitas rawat di lembaga adiksi swasta buruk, 22% menilai sangat buruk. Hanya 7,3% yang menilai sangat baik.

Bambang merasa kecewa dengan temuan tersebut. Ia mengatakan, seharusnya lembaga rehabilitasi memberi pelayanan optimal kepada pasien. Ia melanjutkan, soal penyiksaan, pasien mendapatkan hal itu dalam proses hukum di kepolisian dan pemulihan di panti rehabilitasi.

“(Responden) mendapat kekerasan fisik dalam proses hukum itu, 24 orang (dari riset Yayasan Aksi Keadilan Indonesia). Terus di tempat rehabilitasi itu, 10 orang yang mendapat kekerasan fisik dan psikis,” ucap Bambang.

Lalu, ia mengatakan, responden yang mendapat kekerasan ekonomi atau pemerasan selama proses hukum, ada 28 orang dari 41 responden. “Sementara di tempat rehabilitasi, ada 33 dari 41 responden,” katanya.

Bambang berharap, panti rehabilitasi yang dikelola swasta dapat melakukan perbaikan. Ia meminta, tak ada lagi praktik pemerasan terhadap pasien karena tak semua pecandu punya uang.

“Karena kan nominalnya cukup besar,” tuturnya.

“Bila (panti rehabilitasi) tak sanggup membiayai operasional, pasien dirujuk saja ke panti rehabilitasi milik negara.”

Di sisi lain, anggota Divisi Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Nixon Randy Sinaga menyarankan Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Badan Narkotika Nasional (BNN) turun tangan mengatasi problem panti rehabilitasi swasta yang nakal.

Jika perlu, katanya, pemerintah membuat produk hukum lintas instansi untuk mengawasi panti rehabilitasi adiksi nakal yang dikelola swasta.

“Sepengatahuan kami, sepertinya belum ada suatu regulasi yang kokoh dan integratif antara Kemensos, Kemenkes, dan BNN agar membatasi lembaga rehabilitasi swasta dalam hal pembiayaan,” ujar Nixon, Jumat (25/3).

Menanggapi hal itu, Kepala Biro Humas dan Protokol BNN, Sulistyo Pudjo Hartono mengatakan, pihaknya tak punya wewenang membenahi penyelewengan di panti rehabilitasi milik swasta. Menurutnya, lembaga yang punya otoritas untuk menindaknya adalah Kemensos dan Kemenkes.

Infografik rehabilitasi narkoba. Alinea.id/DebbieAlyw.

“Kalau barang-barang (panti rehabilitasi) ilegal, bukan urusan kita,” kata Pudjo, Kamis (24/3).

Pudjo memastikan, tempat rehabilitasi yang dikelola BNN tak ada yang menyeleweng dan gratis. Para pasien pecandu narkoba, kata dia, dijamin mendapat pelayanan yang baik.

Merujuk data dari situs web BNN, terdapat 108 tempat rehabilitasi narkoba rawat inap dan 558 rawat jalan di seluruh Indonesia yang bernaung di bawah BNN. Tempat rehabilitasi ini ada di lapas, puskesmas, serta rumah sakit.

“Jadi, kalau yang dikelola swasta tentu saja business-oriented,” ujarnya.

“Beda dengan kita, orang masuk (rehabilitasi) kurus, keluar gendut. Sehat-sehat.”

Menurut Bambang, sebuah panti rehabilitasi ketergantungan narkotika swasta yang benar, harus mematuhi pedoman Ikatan Konselor Adiksi Indonesia (IKAI). Dalam pedoman itu, pasien mendapat skrining sebelum mengikuti proses rehabilitasi.

“Hasil skrining itu untuk menentukan pasien harus mengikuti rawat jalan atau rawat inap,” katanya.

Tak hanya itu. Panti rehabilitasi juga akan memperkenalkan program rehabilitasi pada keluarga, wali, atau pendamping pasien. Panti rehabilitasi swasta, ujar Bambang, umumnya mematok tarif sebesar Rp3 juta hingga Rp10 juta per bulan. Fasilitasnya pun terjamin.

“Panti memberikan makanan tiga kali sehari sesuai kebutuhan gizi, ditambah snack (camilan), susu, kopi, dan teh,” ujarnya. Kemudian, satu kamar diisi dua hingga empat orang.

“Lalu, ada konseling minimal seminggu sekali, mengadakan outing, dan konseling keluarga,” kata Bambang.

Berita Lainnya
×
tekid