Tim pengkaji Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mengundang perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil pada Selasa (9/3). Pertemuan sesi pagi dihadiri SAFEnet dan IJRS, sedangkan sesi siang diikuti anggota koalisi lainnya, seperti LeIP, ICJR, ELSAM, dan Amnesty Internasional Indonesia.
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto menyebut, hingga saat ini, pembuktian ketidakadilan UU ITE masih mudah ditemukan. “Senin (8/3), kami baru saja mendampingi dua orang korban ketidakadilan akibat UU ITE dari Tiku V Jorong Sumatera Barat, yaitu Andi Putera dan Ardiman yang harus berhadapan dengan Ketua KAN yang telah merampas hak-hak warga. UU ITE justru menjerat mereka berdua yang menggunakan media sosial untuk mendapatkan keadilan dengan pasal ujaran kebencian. Pendekatan restorative justice yang dikumandangkan Kapolri Listyo Sigit tidak berjalan di Polda Sumbar,” ucapnya dalam keterangan tertulis, Rabu (10/3).
Ia juga meminta pemerintah menghentikan pembuatan pedoman interpretasi UU ITE. Namun, betul-betul merevisi total sembilan pasal bermasalah. Sementara itu, Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid meminta, hingga saat ini, ketidakadilan akibat UU ITE harus dihentikan terlebih dahulu dengan mengeluarkan SP3 di tingkat kepolisian dan SKP2 di tingkat kejaksaan.
Ia pun mengusulkan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi amnesti atau pembebasan tanpa syarat terhadap mereka yang dipenjara akibat UU ITE. Putusannya juga harus telah berkekuatan hukum tetap. Koalisi Masyarakat Sipil, kata dia, menyesalkan tidak dimasukkannya revisi UU ITE dalam prioritas tahun 2021. Koalisi Masyarakat Sipil sudah menduga pemerintah dan DPR tidak cukup serius ingin melakukan revisi UU ITE.
Koalisi Masayrakat Sipil terdiri dari LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, ICJR, IJRS, ELSAM, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Greenpeace Indonesia, KontraS, Amnesty International Indonesia, PUSKAPA UI, Imparsial, AJI Indonesia, PBHI, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia, ICW, LeIP, dan WALHI