sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kotak kosong Pilkada: Dinasti politik daerah

Apalagi, jika masyarakat tidak bisa melawan petahana. Menangkan kotak kosong adalah simbol perlawanan itu sendiri.

Immanuel Christian
Immanuel Christian Selasa, 07 Mei 2024 17:09 WIB
Kotak kosong Pilkada: Dinasti politik daerah

Pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020, ada 25 daerah yang menggelar pemilihan dengan calon tunggal. Artinya, mereka melawan kotak kosong.

Tahun ini, jumlah tersebut menjadi acuan untuk melihat demokrasi dalam negeri semakin maju atau tidak. Sebab,  dalam masa reformasi ini seharusnya politik semakin aktif dari akar rumput.

“Fenomena kotak kosong ini terjadi karena memang petanana sangat populer atau memang ada yang membeli tiket partai lebih sehingga tidak ada kesempatan kandidat lain,” kata Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago, kepada Alinea.id, Selasa (7/5).

Sayangnya, masih banyak daerah yang pragmatis dan tidak mau ambil pusing. Hal ini juga seakan menjadi tanda, bahwa politik bukanlah kegemaran warga untuk berkecimpung di dalamnya.

Pengamat Politik Bambang Arianto menilai, semakin banyak figur yang muncul akan semakin banyak pilihan dari publik untuk mencari pemimpinya. Tentu cara mengatasinya lagi-lagi perkuat kaderisasi di arus partai politik

“Fenomena kotak kosong tentu menjadi bentuk kemunduran demokrasi, padahal era reformasi kita berharap akan banyak figur-figur merakyat yang bisa memimpin daerag lebih baik,” kata Bambang kepada Alinea.id, Selasa (7/5).

Ia pun memperkirakan fenomena ini akan semakin banyak. Ada beberapa alasan yang bisa dijabarkan.

Pertama, patronasi dari petahana yang terlalu kuat. Alhasil, akan menyulitkan calon lain untuk berkembang. Hal ini yang kemudian menumbuhsuburkan praktik dinasti politik terutama di arus lokal.

Sponsored

Kedua, partai politik tidak mampu menyemai kader yang kemudian bisa mewarnai demokrasi. Justru partai politik masih saja terbuai dengan figuritas atau tokoh lokal yang memiliki kekuatan finansial terbesar.

“Dampaknya ya partai politik kemudian menjadi pemburu rente saat pilkada terutama bagi kandidat politik tertentu, ditambah lagi publik tidak banyak memberikan kritikan dan diberikan ruang untuk mengrkitisi figur-figur yang muncul,” ujarnya.

Ketiga, kultur politik indonesia masih berkarakter figuritas. Hal ini seringkali dimanfaatkan oleh figur yang memiliki finansial kuat untuk maju dalam pilkada.

Maka dari itu, ia mengingatkan supaya ada edukasi politik yang menumbuhkan minat. Sehingga pragmatis politik tidak subur.

Apalagi, jika masyarakat tidak bisa melawan petahana. Menangkan kotak kosong adalah simbol perlawanan itu sendiri.

Sudah tidak heran bila itu terjadi karena menjadi wujud dari sikap masyarakat yang ingin menegaskan bahwa diperlukan perubahan. Mereka tidak ingin dinasti itu kembali maju, tapi apa daya karena publik tidak punya kuasa untuk menekan parpol dalam proses kandidasi politik.

“Itu bagus (kotak kosong menang). Bisa jadi publik di wilayah tertentu sudah tidak percaya dengan figur yang maju di suatu daerah tersebut,” ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid