sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kronologi penganiayaan dua pegawai KPK versi Pemprov Papua

Pemerintah Provinsi Papua membantah telah melakukan penganiayaan terhadap dua pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga hidung retak

Soraya Novika
Soraya Novika Senin, 04 Feb 2019 22:47 WIB
Kronologi penganiayaan dua pegawai KPK versi Pemprov Papua

Pemerintah Provinsi Papua membantah telah melakukan penganiayaan terhadap dua pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga hidung retak.

Kepala Bagian Protokol Biro Humas dan Protokol Pemprov Papua Gilbert Yakwar resmi membantah isu penganiayaan kedua petugas KPK tersebut sampai kepada tindakan operasi pada bagian hidung dan atau wajah. 

"Perlu kami sampaikan bahwa hal tersebut adalah tidak benar karena tidak ada penganianyaan sebagaimana sampai kepada kerusakan fisik pada bagian hidung dan atau wajah dimaksud," ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima Alinea.id, Senin (4/2).

Dia menjelaskan yang terjadi adalah tindakan dorong mendorong karena perasaan emosional diduga akan melakukan penyuapan yang akan berakibat pada tindakan operasi tangkap tangan (OTT) dari KPK.

Lebih lanjut Gilbert pun menjelaskan kronologis kejadian secara rinci. Menurutnya, saat itu per 2 Februari 2019 Pemprov Papua dan DPRD Papua tengah melakukan pertemuan resmi yang dihadiri perwakilan Kemendagri dari Direktorat Keuangan Daerah di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat.

"Saat itu Pemrov Papua dan DPRD Papua bersama dengan Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Keuangan Daerah bertemu secara resmi dalam rangka menjelaskan substansi hasil evaluasi RAPBD Provinsi tahun 2019 agar dapat dipahami oleh Pemerintah Provinsi dan DPRD Papua untuk segera ditindaklanjuti," terangnya.

Kemudian di tengah berlangsungnya agenda tersebut, Gilbert mengungkapkan bahwa beberapa pihak dalam rapat tersebut mendapati pegawai KPK telah berjaga mengawasi pertemuan itu untuk dilakukannya kegiatan OTT dengan dugaan akan ada tindakan penyuapan pada pertemuan dimaksud. 

Menurut dia, hal tersebut dapat terbaca dari beberapa bukti-bukti berupa cuplikan komunikasi melalui aplikasi pesan WhatsApp. Isinya informasi, gambar dan atau foto semua peserta rapat beserta keterangan, termasuk barang-barang yang dibawa peserta rapat seperti tas ransel, yang senantiasa dilaporkan secara detail antara pegawai KPK yang satu kepada pegawai KPK lainnya dan atau kepada atasannya yang tidak berada di tempat kejadian.

Sponsored

Terpantau pula adanya pihak lain dan atau orang lain yang sedang melakukan pemotretan secara berulang-ulang yang dikuti dengan komunikasi via telepon atas semua gerak-gerik peserta rapat.

"Yang bersangkutan pun didatangi untuk ditanyakan dan memastikan apakah benar yang bersangkutan tengah memantau semua pergerakan peserta rapat sebagaimana yang diduga," urainya. 

Akan tetapi, sambungnya, ketika yang bersangkutan dihampiri, dia malah gugup atau panik dan terlihat berkelit ketika ditanyakan perihal identitasnya serta tindakan apa yang dilakukan bersangkutan pada saat itu.

Setelah diusut secara lebih jauh, akhirnya pihak yang diinterogasi tersebut mengakui dirinya sebagai pegawai KPK.

Pada mulanya yang bersangkutan tidak mengakui sebagai pegawai KPK yang melakukan tugas pengawasan terhadap kegiatan evaluasi tersebut. Namun, setelah tas jinjingnya diambil dan dilihat isinya diperolah kartu identitas sebagai anggota KPK. 

Lalu ditanyakan pula berapa anggota yang bersama-sama dengan yang bersangkutan dan dijawab oleh yang bersangkutan bahwa mereka berjumlah enam orang. Namun, ternyata yang berada di tempat kejadian (lobby hotel Borobudur) hanyalah berdua orang saja.

Selanjutnya mereka diminta pula untuk memperlihatkan surat tugas atau surat perintah penugasan namun justru tak dapat menunjukkanya. Kemudian, yang bersangkutan menyatakan tidak ada, seraya mengatakan bahwa hanya diperintah oleh pimpinan. 

Selanjutnya, yang bersangkutan diminta untuk memperlihatkan siapa-siapa saja yang telah diambil gambar atau difoto dengan ponsel yang bersangkutan. Ternyata dalam handphone tersebut terdapat hampir semua foto pejabat Papua beserta keterangan termasuk barang-barang bawaan.

"Serta lebih disoroti lagi tentang adanya tas ransel yang dibawa oleh salah satu peserta yang diduga di dalamnya ada berisi uang untuk tujuan penyuapan," tuturnya.

Peserta lainya yang membawa tas ransel yang diduga berisi uang suap langsung dihampiri pihak Pemprov Papua untuk memperlihatkan isi dalam tas ransel dimaksud.

"Ternyata yang awalnya kami duga berisi uang sesungguhnya hanya berisikan dokumen-dokumen berupa kertas dan tidak terdapat uang di dalamnya," jelasnya.

Mengingat pegawai KPK tersebut tidak dapat memperlihatkan surat tugas dan atau surat perintah penugasan, maka atas dasar tersebut, yang bersangkutan pun diserahkan ke Polda Metro Jaya untuk dilakukan klarifikasi oleh Polda Metro Jaya apakah benar yang bersangkutan adalah Pegawai KPK.

Perlindungan Presiden

Atas dasar peristiwa ini, menurut Gilbert, Pemerintah Provinsi Papua termasuk DPR Papua justru merasa KPK mencederai hati pemerintah Papua dengan menunjukkan sikap ketidakpercayaannya tersebut.

Menurutnya, hal ini sangat mencederai hati pemerintah dan DPRD Papua yang telah menyeriusi arahan dan pembinaan yang dilakukan KPK selama empat tahun ini di Provinsi Papua. Terutama tentang pencegahan korupsi terintegrasi di Provinsi Papua.

"Atas rekomendasi KPK, kami telah membangun system e-planning, e-budgeting, e-samsat, e-perijinan, dan e-lapor. Pemerintah Provinsi Papua telah berusaha dengan sumber daya yang kami miliki di atas kekurangan dan kelemahan kami orang Papua untuk mendukung penuh arahan-arahan KPK melalui rencana aksi pemberatasan korupsi di Papua," ungkapnya.

Tindakan ini, kata dia, menunjukan ketidakpercayaan KPK terhadap kemampuan dan hati orang Papua untuk berusaha taat azas dan komitmen atas upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam NKRI.

Kini mereka mengaku takut untuk meneruskan amanah-amanah pemerintahan dan meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk dapat memberikan perlindungan lebih kepada pemerintahan daerah dalam menjalankan setiap tugasnya.

"Justru tindakan tersebut menimbulkan rasa takut untuk melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan karena aparatur akan dihantui perasaan akan ditangkap sewaktu-waktu. Untuk itu, kami meminta perlindungan kepada Bapak Presiden Republik Indonesia agar kami dapat bekerja dengan tenang, jauh dari rasa takut dan intimidasi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab di Pronvinsi Papua," tutupnya.

Berita Lainnya
×
tekid