sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Larangan ekspor CPO seharusnya diikuti kebijakan pembelian TBS sawit

Menyusul kebijakan pelarangan ekspor CPO dan seluruh turunannya, harga TBS kelapa sawit dari petani rakyat langsung anjlok.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Rabu, 18 Mei 2022 13:09 WIB
Larangan ekspor CPO seharusnya diikuti kebijakan pembelian TBS sawit

Anggota Komisi VII DPR Mulyanto mengatakan, kebijakan pemerintah melarang ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya harusnya diikuti dengan kebijakan pembelian tandan buah segar (TBS) sawit oleh pemerintah melalui BUMN dan lembaga terkait. Hal ini perlu dilakukan agar hasil panen petani sawit rakyat tetap tersalurkan ke industri yang membutuhan, sehingga harga jual TBS tetap terjaga. 

Hal ini diungkap Mulyanto dalam menanggapi aksi unjuk rasa ratusan petani rakyat di Kantor Menko Perekonomian, Istana dan Patung Kuda Kebon Sirih pada Selasa (15/5). Mulyanto menyebut pemerintah harus membuat kebijakan yang terintegrasi, terkait satu sama lain, agar tidak ada pihak yang dirugikan atas pemberlakuan sebuah kebijakan. 

"Terkait pembelian TBS sawit oleh pemerintah hal ini sangat dimungkinkan. Karena saat ini pemerintah sedang gencar memproduksi biofuel. Jadi tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak membeli hasil panen sawit rakyat," kata Mulyanto dalam keterangannya, Rabu (18/5).

"Mereka sudah tidak tahan lagi menanggung beban atas anjloknya harga TBS sejak Presiden Jokowi mengumumkan pelarangan ekspor CPO dan turunannya (22/4)," sambung dia.

Dia menilai pemerintah memang menghadapi  kondisi yang dilematis. Namun demikian, Mulyanto meminta pemerintah jangan takluk terhadap mafia minyak goreng dan pengusaha nakal lalu tunduk mencabut kebijakan larangan ekspor CPO tersebut. 

Menurutnya, yang diperlukan saat ini adalah kebijakan agar petani sawit rakyat tidak menjadi korban. 

"Pemerintah jangan plin-plan dan mencla-mencle dengan kebijakan larangan ekspor CPO ini. Harga migor (minyak goreng) curah masih bertengger di angka Rp19100 per kg. Jauh di atas HET yang sebesar Rp15.500 per kg," ungkap Mulyanto. 

Oleh karena itu, Mulyanto mendesak pemerintah segera menolong nasib para petani sawit rakyat dengan memberikan insentif. Dia mengatakan, pemerintah harus bertanggungjawab atas kebijakan yang diputuskannya terutama kepada pihak yang paling rentan terdampak. Apalagi pandemi belum berakhir dan daya beli mereka masih lemah.

Sponsored

Menurut Mulyanto, insentif penting untuk meringankan petani sawit rakyat adalah dengan menyerap produk TBS tersebut dengan harga yang wajar. Misalnya dengan membeli dan mengolah biofuel yang bersifat mandatori dari sawit rakyat serta insentif pupuk.

Selain itu BUMN Perkebunan dan anak perusahaannya yang mengolah hasil perkebunan harus didorong Pemerintah untuk meningkatan serapan produk TBS petani sawit rakyat tersebut.

Langkah ini, menurut Mulyanto akan cukup membantu para petani sawit rakyat selama masa pelarangan ekspor CPO.

Untuk diketahui, berdasarkan data Kementerian Pertanian, pada tahun 2019 luas lahan sawit rakyat sebesar 5,9 juta hektare atau sekitar 41% dari luas total lahan sawit nasional. Lahan BUMN hanya sebesar 4%. Sisanya sebesar 55% adalah lahan sawit dari swasta besar. Dengan kebijakan pelarangan ekspor CPO dan turunannya, maka proporsi sawit rakyat yang terdampak cukup besar.

Diinformasikan, menyusul kebijakan pelarangan ekspor CPO dan seluruh turunannya, harga TBS kelapa sawit dari petani rakyat langsung anjlok. Harga TBS petani hari ini, Rabu (18/5) hanya mencapai  Rp1.200 per kg. Apalagi untuk TBS dari petani yang non kemitraan, jauh dari sebelumnya dimana buah sawit petani dihargai Rp3.600 sampai Rp4.000/Kg.
 

Berita Lainnya
×
tekid