sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Meiliana dan mimpi utopis Indonesia tanpa sentimen SARA

Peradilan atas Meiliana adalah bentuk trial by the mob yang merusak integritas lembaga peradilan. 

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Kamis, 23 Agst 2018 16:24 WIB
Meiliana dan mimpi utopis Indonesia tanpa sentimen SARA

Meiliana dipenjara. Tak tanggung-tanggung, ia divonis 18 bulan usai menjalani rangkaian sidang panjang di Pengadilan Negeri (PN) Medan sejak ditetapkan tersangka, Maret 2017. Warga keturunan Tionghoa ini hanya bisa tersedu sedan kala majelis hakim akhirnya memutus ia bersalah pada Kamis (21/8) lalu. Di luar pengadilan, kerumunan massa yang kerap menyemut sejak sidang perdana gembira, lantaran "si penista agama" ini dihukum.

Meiliana sendiri masih ingat betul, kronologi kejadian hingga ia terseret dalam kasus yang mirip menimpa eks Gubernur DKI Ahok tersebut. Hari itu, 22 Juli 2016 pukul tujuh pagi, ia belanja ke warung Kasini milik Ka Uo. Di sana ia mengeluhkan soal suara pengeras suara yang bersumber dari Masjid Al-Maksum tepat depan kediamannya, Jalan Karya, Tanjungbalai Selatan 1, Medan. Oleh Ka Uo, keluhan soal suara azan yang terlampau keras dari Meiliana akan disampaikan pada ayahnya, yang kebetulan pengurus masjid.

Sayang, alih-alih disampaikan pada sang ayah, Ka Uo justru meneruskan pesan Meiliana pada adiknya, Hermayanti. "Her, orang China muka itu, minta kecilkan volume masjid," ujar Ka Uo. Tak butuh waktu lama hingga pesan ini terus direpetisi. Mulanya disampaikan pada tiga pengurus masjid lainnya. Lalu ke lurah setempat, Bhabinkamtibmas, hingga Babinsa. Di luar massa sudah berkumpul di depan rumah Meiliana, siap-siap memukulnya.

Berulang kali Meiliana menandaskan, tak keberatan dengan suara azan, hanya mengeluhkan soal suara azan yang terlalu keras. Warga kian panas, sedang informasi sumir berkeliaran di antara mereka. Dibumbui etnis China larang-larang azan dan sejenisnya, warga pun sepakat konvoi ke arah vihara untuk menghancurkan rumah ibadah itu.

Kronologi ini disarikan dari laporan penelitian bertajuk "Rekayasa Kebencian dalam Konflik Agama: Kasus Tanjung Balai" yang dikutip Tirto. Dalam laporan itu jelas tertulis, tak ada warga yang mau mempolisikan Meiliana. Bahkan, MUI Tanjungbalai pun enggan mengeluarkan fatwa penodaan agama kepadanya. Desakan justru menguat dari FUI, HTI, dan pesantren al-Wasliyah. MUI menyerah hingga akhirnya menelurkan fatwa pada Januari 2017. Singkat cerita, Meiliana dijerat dengan pasal serupa yang digunakan menyeret Ahok, yakni Pasal 156 subsider 156 a KUH Pidana tentang penistaan agama.

Peradilan sesat dan sentimen SARA

Ketua Setara Institute Hendardi mengungkapkan, vonis atas Meiliana adalah bentuk peradilan sesat. Menurutnya PN Medan hanya memaksakan diri memutus perkara yang tidak bisa dikualifikasi sebagai peristiwa hukum.

"Pengadilan bukan bekerja di atas mandat menegakkan keadilan sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945, tetapi bekerja di bawah tekanan massa. Peradilan atas Meiliana adalah bentuk trial by the mob yang merusak integritas lembaga peradilan," terangnya dalam rilis resmi pada Alinea, Kamis (23/8).

Sponsored

Proses hukum atas Meiliana, imbuhnya, merupakan akumulasi penyimpangan kerja aparat penegak hukum dari mulai kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Ini sekaligus menggambarkan lemahnya institusi peradilan atas tekanan massa kelompok intoleran.

Kinerja ini pula menggambarkan intoleransi, cara pikir, dan cara kerja diskriminatif yang melekat dalam institus-institusi peradilan di Indonesia. "Intoleransi bukan hanya tumbuh di tengah masyarakat tetapi juga merasuk ke banyak kepala aparat penegak hukum dan para penyelenggara negara," ujarnya lagi.

Hendardi menguraikan, benih intoleransi di Tanah Air terjadi sejak 2004 saat Presiden Susiolo Bambang Yudhoyono memimpin. Intoleransi itu dibiarkan hingga sepuluh tahun berselang. Sementara, selama hampir empat tahun masa kerja Joko Widodo, ia nyaris tidak mengambil tindakan nyata mengatasi intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama.

"Alih-alih mengambil tindakan nyata menjamin kebebasan beragama, Jokowi sebatas membubarkan organisasi semacam Hizbut Tahrir Indonesia, lebih karena alasan keberadaannya yang mengancam secara politik, tetapi tidak genuine untuk membela kebebasan itu sendiri," sambungnya.

Dalam pengamatan Setara Institute, sedari hulu, proses hukum atas Meiliana sendiri berjalan di luar koridor rule of law dan fair trail. Proses hukum penodaan agama dalam perkara ini sejak awal dipicu oleh sentimen SARA atas dirinya.

Pascaperusakan vihara dan klenteng oleh kerumunan massa, dengan desakan ormas dan kelompok-kelompok intoleran, MUI Sumatera Utara mengeluarkan fatwa Meiliana melakukan penistaan agama. "Serupa dengan pola kasus Ahok dan sebagian besar kasus penodaan agama, kombinasi tekanan massa, kelompok intoleran, dan fatwa MUI menjadi determinan bagi penetapannya sebagai tersangka oleh kepolisian, dan kemudian ditahan sejak Mei 2018," terangnya.

Selama proses peradilan, persidangan selalu diwarnai tekanan psikologis terhadap hakim, jaksa, terdakwa serta penasihat hukumnya, dengan kehadiran anggota ormas dan kelompok-kelompok intoleran.   

Dalam konteks yang lebih makro, ujarnya, Setara Institute menilai, berbagai ketidakadilan dan ketidaktepatan penerapan hukum dalam kasus-kasus penodaan agama di Indonesia mengindikasikan, reformasi hukum penodaan (blasphemy law) harus segera dilakukan. Ini sejalan dengan amanat Mahkamah Konstitusi, revisi atas UU Nomor 1 Tahun 1945. Ini berorientasi pada pemberantasan ujaran kebencian, pemidanaan hasutan, dan pidana kebencian.

Di sisi lain, Setara mendesak Komisi Yudisial untuk memeriksa dugaan penyimpangan dan hakim-hakim yang tak profesional menangani kasusi Meiliana. "Untuk institusi penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan harus memastikan hal serupa tidak berulang. Lalu menyusun panduan penanganan kasus-kasus yang berhubungan dengan bidang keagamaan, sehingga aparat di berbagai tingkatan memiliki panduan dalam bekerja," pungkasnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid