sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Memutus mata rantai kriminalisasi pemakai narkoba

Narapidana pengguna narkoba mestinya direhabilitasi. Langkah memenjarakan pemakai narkoba hanya akan membuat kapasitas penjara jadi padat.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Rabu, 26 Jun 2019 18:25 WIB
Memutus mata rantai kriminalisasi pemakai narkoba

Saat ini, pengguna narkoba yang tertangkap kerap dijebloskan ke penjara. Walau sebenarnya, untuk beberapa kasus, mereka bisa dimasukkan ke dalam pusat rehabilitasi.

Berdasarkan data situs Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas), pengguna narkoba dikategorikan ke dalam narapidana khusus, bersama narapidana korupsi, terorisme, dan genosida.

Jumlahnya pun terbanyak kedua, setelah narapidana pengedar atau bandar narkoba. Dilansir dari situs Dirjenpas, per Mei 2019, jumlah narapidana pengguna narkoba di lapas seluruh Indonesia sebanyak 41.864 orang.

Masih dipidana

Petugas kepolisian melakukan olah TKP pabrik narkotika jenis sabu di Kalideres, Jakarta, Senin (24/6). /Antara Foto.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandrayati Moniaga menolak pemidanaan terhadap pengguna narkoba. Pengguna narkoba, kata Sandrayati, semestinya mendapat pembinaan dan rehabilitasi.

Ia pun menyesalkan, banyak terpidana pengguna narkoba yang mendekam di lapas. Hal ini, kata dia, bisa menyebabkan kelebihan kapasitas lapas.

“Saat ini, kami mendorong adanya perbaikan sistem (di lapas), tetapi belum spesifik ke (terpidana pengguna) narkoba. Kami harus bekerja sama terlebih dahulu dengan BNN dan kepolisian soal itu,” ujar Sandrayati saat ditemui Alinea.id di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Selasa (25/6).

Sponsored

Dihubungi terpisah, analis kebijakan narkotika dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Yohan Misero menilai, pemidanaan pengguna narkoba dari perspektif kemanfaatan hukum, tak berguna sama sekali. Ia mempertanyakan bagaimana pemerintah memposisikan pecandu narkoba.

“Apakah seorang penjahat atau seorang yang perlu ditolong? Dari regulasinya, jawabannya kabur seolah menjamin kesehatan pencandu narkotika, tetapi di sisi lain justru menjerat mereka dengan hukuman pidana,” kata Yohan saat dihubungi, Selasa (25/6).

Yohan mengatakan, bila pemerintah menganggap pemakai narkoba sebagai kelompok orang yang perlu diberi pertolongan, maka sudah seharusnya mengedepankan intervensi kesehatan dan menutup opsi hukuman pidana.

Namun, kata dia, yang terjadi hingga kini, opsi pidana masih dibuka. Ia pun tak melihat pendekatan kesehatan yang masif ke para pengguna narkoba, yang ada hanya pemenjaraan.

“Nyaris 50% lebih orang yang ada dipenjara karena kasus narkotika,” ujar Yohan.

Pemidanaan bagi anak-anak pemakai narkoba juga tak luput dari perhatian Yohan. Ia menganggap, hal itu sebagai kriminalisasi yang menyedihkan. Akibatnya, kata dia, anak-anak yang masih memiliki masa depan panjang diperkenalkan dengan kengerian, terkurung di balik jeruji besi. Selain itu, stigma narapidana akan melekat pada anak pengguna narkoba.

“Masalahnya, hukum sendiri justru menebalkan stigmanya,” ujar Yohan.

Deputi Bidang Pemberantasan BNN Irjen Pol Arman Depari (kiri) bersama Kepala Biro Humpro BNN Brigjen Pol Sulistyo Pudjo Hartono (kanan) menunjukkan barang bukti narkoba jenis ekstasi berserta tersangka saat rilis kasus narkotika di kantor Badan Narkotika Nasional (BNN), Jakarta, Selasa (25/6). /Antara Foto.

Rehabilitasi pemakai

Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) bidang Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan, dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN), pada 2017 angka prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia sebesar 1,77% atau setara 3,37 juta orang. Rentang usianya, antara 10 hingga 59 tahun.

Sementara pada 2018, angka prevalensi penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar dari 13 provinsi di Indonesia mencapai 3,2%, setara 2,29 juta orang.

Pihak BNN, kata Kepala BNN Heru Winarko, terus melancarkan strategi memberantas narkoba, seperti mencegah dengan mengadakan sosialisasi antinarkoba, serta memberantas dan menghukum gembong pengedar narkoba.

Heru berdalih, revisi UU Narkotika sedang diajukan ke parlemen. Ia menekankan pada persoalan penilaian (assesment). Heru menuturkan, BNN berusaha mengoptimalkan tugas dan wewenang Tim Asesmen Terpadu (TAT). Sehingga, setiap ada penangkapan pengguna narkoba, TAT akan memberi penilaian terlebih dahulu.

Assesment hukum dan medis, kata Heru, diterapkan untuk menilai dan mengorek informasi, apakah pengguna narkoba itu terlibat jaringan gelap peredaran narkoba atau tidak. Lantas, sejauh mana ketergantungannya.

“Kita bisa melihat dengan saksama, mereka (pengguna) banyak tidak langsung dipenjara, banyak yang di-assesment dan direhab di rumah sakit-rumah sakit Polri," ujar Heru saat ditemui usai acara “Puncak Peringatan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) Tahun 2019” di The Opus Grand Ballroom, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (26/6).

Selesai rehabilitasi, pengguna narkoba akan dibekali pelatihan agar bisa bekerja dan diterima kembali di masyarakat. Heru mengatakan, BNN akan bekerja sama dengan pihak lapas untuk menuntaskan masalah penyalahgunaan narkoba dan rehabilitasi warga binaan kasus narkoba. Pihaknya juga bersinergi dengan Kementerian Sosial.

“Melalui kerja sama dengan Kementerian Sosial, sebanyak 16.337 pengguna narkotika telah direhabilitasi,” ucap Heru.

Rehabilitasi terhadap pengguna narkoba diatur di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di dalam Pasal 128 disebutkan, peserta rehabilitasi wajib tidak dituntut pidana.

Yayasan Kesatuan Peduli Masyarakat (Kelima) Mandiri merupakan salah satu yayasan penanggulangan penyalahgunaan narkoba dan HIV AIDS yang ada di Jakarta. Yayasan ini berdiri pada 2003, bekerja sama dengan badan narkotika Pemprov DKI Jakarta bidang prevensi dan instalasi napza Rumah Sakit Marzoeki Mahdi.

Menurut Ketua Yayasan Kelima Mandiri Samawati, di sini pecandu narkoba menjalani rehabilitasi minimal tiga bulan. Setelah keluarga menyerahkan fotokopi kartu keluarga dan KTP, pecandu narkoba baru diperiksa atau di-assesment (penilaian) untuk menentukan bagaimana penanganan rehabilitasinya.

Samawati mengatakan penanganan pecandu narkoba memerlukan program khusus. Bagi anak yang masih dalam usia sekolah, diperbolehkan rawat jalan. Asalkan rutin tes urine seminggu sekali.

“Sepanjang rawat jalan, keluarga klien akan diberikan pembekalan konseling. Keluarga klien harus tetap berkomunikasi dan berkonsultasi guna melaporkan kondisinya,” kata Samawati saat dihubungi, Rabu (26/6).

Samawati melanjutkan, pemberian konseling tergantung permasalahannya. “Yang paling berat pecandu dan yang sudah kena kejiwaannya,” tuturnya.

Rehabilitasi pecandu narkoba yang tergolong berat, kata dia, harus dirawat inap. Namun, tetap diberi konseling dan motivasi.

“Diperlukan kerja sama keluarga untuk kemajuan pemulihan si klien,” ucapnya.

Anak-anak pun rentan terpapar narkoba. Wakil Ketua Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati mengatakan, sebelum 2014 anak yang terlibat penyalahgunaan narkoba banyak yang dipenjara.

Akan tetapi, beberapa tahun terakhir kasus seperti itu semakin berkurang. Rita menyarankan, jangan sampai rehabilitasi anak pemakai narkoba justru menjauhkannya dari orang tuanya.

“Peran orang tua penting guna mendukung keberhasilan proses rehabilitasi anak pelaku penyalahgunaan narkoba,” kata Rita saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Selasa (25/6).

Yohan Misero pun menyarankan proses rehabilitasi anak pelaku penyalahgunaan narkoba agar lebih santai, dengan skema rawat jalan. Skema rawat jalan, kata Yohan, bisa mendekatkan anak pecandu narkoba kepada keluarganya, serta bisa memberi kesempatan menjalani pendidikan.

“Selama ini penegak hukum perspektifnya, seorang pemakai narkotika harus dikurung lama, tiga bulan sampai 5 bulan di suatu tempat gitu, diasingkan dari keluarga dan konteks hidup lainnya,” kata dia.

Mencegah kriminalisasi

Sejumlah warga menunjukan kelima jari mereka sebagai bentuk penolakan terhadap bahaya narkoba pada peringatan Hari Anti Narkotika Internasional 2019, di Medan, Sumatera Utara, Rabu (26/6). /Antara Foto.

Di sisi lain, Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan mengatakan, pihaknya mendesak penghapusan kriminalisasi terhadap pemakai narkoba, termasuk penguasaan atau kepemilikan narkoba dalam jumlah terbatas untuk konsumsi pribadi.

“Menurut kami, kriminalisasi pemakai narkotika itu mempunyai beberapa implikasi yang buruk. Pertama, menambah beban penjara menjadi overcrowding (kelebihan kapasitas),” kata Ricky saat dihubungi, Rabu (26/6).

Kedua, kata dia, kriminalisasi yang tercermin dalam UU Narkotika, tak pandang bulu terhadap orang yang betul-betul pemakai atau pengedar kelas teri. Sebab, kata Ricky, yang dilihat adalah perbuatannya, tanpa melihat tujuannya untuk apa.

“Jadi, seandainya ada orang yang tertangkap dengan menguasai satu linting ganja atau 0,5 gram sabu, itu akan dianggap sebagai jual beli, daripada dianggap sebagai pemakai,” ujarnya.

Ketiga, sebut dia, dengan mengirimkan banyak pemakai narkoba ke penjara, justru akan memindahkan pasar narkoba ke dalam penjara. Tak heran, kata dia, peredaran narkoba di dalam lapas masih sering terjadi. Turunan dari problem ini, ujar Ricky, menunjukkan adanya pasar gelap dalam lapas, malah mengimplikasikan adanya keterlibatan petugas lapas.

“Karena tidak mungkin adanya peredaran gelap dalam lapas tanpa keterlibatan petugas lapas,” tuturnya.

Kriminalisasi terhadap pemakai narkoba, menurutnya, juga menguntungkan oknum penegak hukum yang korup. Sebab, adanya narkoba di masyarakat, kata Ricky, menunjukkan adanya oknum penegak hukum yang memungkinkan narkoba beredar secara gelap.

Saat ini pengguna narkoba kerap dikriminalisasi.

Ricky menyarankan, pemakai narkoba jangan dianggap melawan sanksi hukum atau dikenakan sanksi berupa penjara. Alasannya, selama pemakai narkoba dikriminalisasi, maka akan ada sinyal kepada masyarakat dan komunitas pemakai narkoba bahwa menggunakan narkoba itu salah di mata hukum.

“Kalau orang sudah diwanti-wanti dan di-warning untuk memakai narkotika itu salah dan melawan hukum, maka mana ada pemakai narkotika yang berani mengajukan dirinya mencari layanan rehabilitasi untuk memulihkan ketergantungannya,” ucap Ricky.

Akibatnya, kata dia, ketika pemakai narkoba ditangkap dan dibawa ke rehabilitasi, hal itu karena keterpaksaan. Bukan keinginan pribadinya. Seharusnya, menurut Ricky, diberi sinyal kepada pemakai narkoba bahwa mereka tak salah di mata hukum, dan sama saja seperti merokok.

“Maka, kalau mereka mau mencari layanan kesehatan ke rumah sakit atau ke puskesmas, tidak perlu takut lagi, dan masyarakat tidak mencap stigma buruk terhadap mereka,” kata dia.

Berita Lainnya
×
tekid