Emak-emak di pusaran peredaran narkoba
Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap 285 tersangka dalam kasus peredaran dan penyalahhgunaan narkotika sepanjang April-Juni 2025. Dari total jumlah tersangka, sebanyak 256 orang merupakan laki-laki, sementara 29 lainnya adalah perempuan.
"Sebanyak 10 persen dari total tersangka yang tertangkap, mayoritas berstatus sebagai ibu rumah tangga,” kata Kepala BNN Komjen Pol Marthinus Hukom dalam konferensi di Kantor Pusat Bea Cukai, Jakarta Timur, Senin (23/6).
Menurut Marthinus, para tersangka perempuan itu diduga diperdaya oleh jaringan sindikat narkoba untuk menjadi kurir lintas daerah, baik lintas pulau atau lintas provinsi. Di sejumlah kasus, ada pelaku yang menyelundupkan narkoba di bagian organ intim.
"Saya mengajak seluruh perempuan di Indonesia untuk lebih waspada dalam membangun relasi, baik secara langsung maupun di media sosial," ujar Marthinus.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan perempuan rentan terperangkap dalam jerat peredaran narkotika karena motif ekonomi. Dalam banyak kasus, perempuan kerap menghadapi beban ganda, yakni menjalankan tanggung jawab domestik sekaligus menjadi penopang ekonomi keluarga.
"Sayangnya, sistem peradilan pidana di Indonesia masih belum sepenuhnya mampu memahami dan merespons kerentanan ini. Akibatnya, perempuan tidak hanya terjerat dalam kasus narkotika, tetapi juga mengalami bentuk penghukuman berlapis," kata Maidina kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Kaum perempuan, kata Maidina, kerap dimanfaatkan pelaku kejahatan narkoba yang juga merupakan orang dekat, seperti pacar atau suami. Kebanyakan dipaksa atau dijebak oleh pasangan atau jaringan peredaran narkotika untuk menjadi kurir, baik menggunakan ancaman atau iming-iming kesejahteraan yang lebih baik.
Sayangnya, aparat penegak hukum kerap menyederhanakan keterlibatan perempuan dalam peredaran narkotika sebagai permasalahan moral atau pilihan pribadi. Padahal, para perempuan yang terjun ke bisnis haram itu kerap tak punya pilihan lain. "Situasi ini dimanfaatkan untuk menjerat perempuan," imbuh Maidina.
Dalam konteks tindak pidana perdagangan orang (TPPO), menurut Maidina, perempuan kerap diposisikan sebagai komoditas yang dimanfaatkan untuk mendukung operasi jaringan pengedar narkotika. Ini menunjukkan bagaimana perempuan seringkali dieksploitasi secara berlapis dalam tindak kejahatan terorganisir.
Pada 2025, ICJR mencatat ada 13.709 kasus perdagangan orang. Sebanyak 11.245 kasus di antaranya melibatkan perempuan sebagai korban. "Angka ini menegaskan bahwa perempuan menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap eksploitasi, terutama dalam praktik-praktik kejahatan lintas sektor seperti narkotika dalam perdagangan manusia," kata Maidina.
Sebagai solusi, Maidina mengusulkan agar pemerintah kembali merevisi UU Narkotika. Aturan baru harus memastikan sstem hukum tidak lagi menghukum korban, melainkan memutus rantai eksploitasi yang terjadi akibat kebijakan yang keras dan tidak efektif.
"Apalagi melindungi kelompok yang paling rentan seperti perempuan. Revisi UU Narkotika harus menjadi momentum untuk meninggalkan kacamata penghukuman dan mengutamakan perlindungan hak asasi manusia, tata kelola, dan pengurangan dampak buruk," kata Maidina.
Koordinator Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) Anastasia Kiki sepakat kaum perempuan rentan diperdaya jejaring pengedar narkotika. Mirisnya, perempuan yang terlibat dalam jejaring narkotika kerap diperlakukan sama seperti para bandar atau pelaku utama.
Dalam kasus peredaran narkotika yang melibatkan perempuan, menurut Kiki, aparat penegak hukum semestinya menimbang unsur interseksional. Keterlibatan para perempuan harus dipandang sebagai kombinasi beragam faktor, semisal kemiskinan struktural yang mereka alami, tekanan sebagai ibu rumah tangga dan penopang ekonomi keluarga, atau faktor lainnya.
"Interseksonalitasnya adalah soal pengetahuan atau pendidikan terkait dengan modus-modus kejahatan yang berbalut TPPO dan juga masuk dalam jaringan narkoba. Jadi, perempuan dalam hal ini sangat rentan menjadi sasaran," kata Kiki kepada Alinea.id.
Lebih lanjut, Kiki mengatakan korban-korban perdagangan perempuan yang dijebak menjadi kurir atau pengedar narkotika lazimnya mengalami kemiskinan struktural terlebih dahulu. Mereka berada dalam situasi terjepit karena ketidakmampuan negara menjamin kesejahteraan rakyatnya.
"Tentu saja dalam proses-proses persidangan ini seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang utuh. Menurut saya, tidak benar kesalahan itu hanya dibebankan pada perempuan ini. Tetapi, ini juga pada sistem negara yang kurang melindungi perempuan," kata Kiki.


